Seorang gadis cantik menuruni satu per satu anak tangga dengan begitu anggun. Rambut lurus hitam legamnya melambai tertiup angin yang berebut masuk dari pintu utama rumah bernuansa modern itu.
Ketika langkah kakinya menapaki anak tangga terakhir, dirinya dikejutkan oleh panggilan kakak pertamanya, Bima.
"Al!"
Gadis itu mengangkat kepalanya. Seketika senyum sempurna mengembang di wajah ayunya. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh semangat. "Kakak!" serunya menghambur ke dalam pelukan pria berjambang lebat, dengan rambut pendek sedikit ikal itu. Bima tertawa bahagia. Adik bungsu kesayangannya ini benar-benar merindukan dirinya. Mereka melepas rindu dalam pelukan penuh haru.
"Mana Kak Nita? Trus Baby J mana? Kok nggak diajak sih Kak? Nggak tau apa kalau Al kangen banget sama Si Endut itu?" Gadis bernama Alleya itu memajukan bibirnya, bersungut kesal karena tidak membawa keponakan tersayangnya.
Belum sempat dijawab oleh Bima, suara lain mengagetkan Alleya.
"Oh, jadi begitu. Jadi cuma Kak Bima aja yang kamu kangenin? Kakakmu yang tampannya melebihi Tom Cruise ini sama sekali tidak ada dalam hatimu?" Sosok pria tinggi putih berambut cepak ala Tom Cruise di film MI muncul dari ruang makan.
"Kak Ryan!!!" Alleya melonjak-lonjak kegirangan. Kakak-kakak tersayangnya berkumpul semua hari ini. Alleya menghambur ke pelukan Ryan. Hampir dua tahun mereka tidak saling bertemu. Rindu Alleya yang sudah setebal salju di Mount Everest, kini mulai mencair. Sekali lagi, senyum manis terukir sempurna di wajahnya. Mimpi apa dia semalam, hingga siang ini melihat kedua kakaknya sudah berdiri di hadapannya saat ini. Biasanya, ia harus merayu dulu dua bulan sebelumnya.
"Kak Ryan sendirian? Kak Melly mana?" Alleya celingukan mencari sosok iparnya yang tengah mengandung.
"Nggak, cuma kakak yang datang." Ryan menjawab lalu duduk di samping, Rita, wanita yang sudah melahirkan mereka bertiga.
"Ada acara apa ini? Semuanya pada kemari, padahal, Al belum telpon." Tatapan gadis cantik itu menyapu semua yang duduk di ruang keluarga, kecuali papanya yang belum hadir.
"Kata Mama, sebentar lagi ada yang mau nikah?" tanya Ryan sambil membuka bungkusan tas kresek hitam di depannya, lalu mulai mengambil satu, membuka bungkusnya dan melemparnya ke dalam mulut. "Ehmm, enak!" ujarnya mengomentari dodol yang dibawa kakak sulungnya.
"Menikah? Siapa? Kak Bima dan Kak Ryan kan sudah, malah sudah punya buntut dan akan berbuntut."
"Tau' tuh Mama. Kakak juga bingung, anak mama sama papa kan cuma dua. Kok ada yang mau menikah lagi?"ujar Bima mengunyah dodol yang sama yang dimakan Ryan.
"Ish, kakak nggak lucu!" Alleya melempar bantal kursi ke arah Bima.
Langkah kaki berirama terdengar mendekati mereka yang sedang asyik bercanda.
"Sudah pada datang, ya?" Rudy tersenyum lebar melihat ketiga anaknya sudah berkumpul bersama istrinya.
"Pa!" Baik Bima mau pun Ryan langsung bangkit dari duduk mereka dan berebut salaman dengan sang ayah. Rudy lalu duduk di samping Rita.
Alleya menatap ayahnya dengan pandangan curiga. Merasa diawasi oleh anak perempuannya, Rudy mengalihkan tatapannya ke Alleya.
"Apa benar yang dikatakan Kak Ryan, Pa?"
"Memangnya kakakmu bilang apa?"
"Ada yang mau menikah?" tanya Alleya penuh selidik.
Rudy menghela nafasnya, membenarkan letak kacamatanya.
"Papa tidak mau bertele-tele. Alleya, Om Abraham ingin menjodohkan anak semata wayangnya dengan kamu."
Jeddder!!! Alleya bagai disambar petir di siang bolong yang panas, membuat mulutnya seketika terbuka, mata dengan bulu lentiknya membelalak lebar.
"Ap-apaaa... Appaa maksud Papa?" Otak dan mulutnya mulai tidak sinkron. Berkali-kali menggelengkan kepalanya, berharap ia salah dengar.
"Om Abraham ingin melamarmu untuk anaknya."
Alleya meneguk salivanya, membasahi tenggorokannya yang kering. Kali ini, ia tidak salah dengar.
Bima dan Ryan tergelak demi melihat wajah cengo milik adik perempuan, semata wayang mereka.
"Santai, Al. Menikah itu enak, dan denger-denger nih, anak Om Abraham itu gantengnya selangit, udah gitu, dia pengacara muda, yang punya karir bagus." Ryan menenangkan Alleya yang sudah menunjukkan ketidaknyamanannya.
"Tapi'kan...." Alleya tidak tahu harus bicara apa. Ia lantas menatap Rita, mamanya, meminta pertolongan.
"Alleya ketemuan dulu aja ya..." sahut Rita lembut menenangkan putrinya. Alleya hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan.
"Papa dan mama tidak akan memaksa. Tapi, alangkah baiknya jika kita bertemu dulu. Al kan belum lihat anaknya seperti apa?" ujar Rudy.
"Paaa..." Alleya benar-benar tidak menyangka akan mendapat kabar seperti ini. Menikah? Oh, Lord! Siapa yang nggak mau menikah? Tapi, tidak mendadak seperti ini juga kan?"
"Tenang, Al! Kalau dia berani macam-macam, dua abangmu tidak akan tinggal diam." Ryan memandang Alleya dengan serius, disetujui oleh Bima dengan anggukannya.
Alleya diam seribu bahasa. Berusaha mencari alasan yang sekiranya bisa menyelamatkan dirinya. Senyum tipis terselip di wajahnya, tatkala sebuah ide gila mencuat keluar dari otaknya.
"Al mau tapi ada syarat yang harus Papa, Mama setujui." Rudy dan Rita saling berpandangan, lalu sama-sama melihat Alleya dengan rasa penasaran.
"Syarat? Apa syarat Al?" tanya Rudy.
"Ijinkan Alleya memakai topeng mulai besok hingga hari pernikahan tiba."
Semua terkejut mendengar syarat aneh Alleya.
"Alleya! Apa kamu ingin menolak permintaan Om Abraham? Kan Papa sama Mama sudah bilang untuk ketemuan dulu." Bima menegur Alleya.
"Bukan menolak Kakak, hanya ingin melihat seperti apa pribadi orang itu. Kakak kan tahu adik kakak ini cantik, yakin deh dia pasti mau. Tapi, bagaimana kalau ternyata anaknya Om Abraham itu memiliki kepribadian buruk, trus Al nanti disia-siakan sama dia. Padahal, Al pengennya menikah sekali aja..." Alleya berusaha menjelaskan alasan idenya itu.
"Trus..." Ryan tidak sabar menunggu kelanjutan perkataan adiknya.
"Kalau dengan wajah Al yang buruk, dia bersikap dingin dan lainnya, setidaknya Al akan berusaha mengimbanginya, artinya bersiap deh bakal dapat perlakuan seperti apa. Tapi kalau ternyata dengan penampilan Al yang jelek ia masih mau menerima Al dan bersikap baik pada Al berarti dia memang orang yang baik. Tidak salah Papa memilihnya sebagai menantu. Begitu maksud Alleya, Pa."
Semua orang terdiam. Alleya menanti dengan sabar. Toh, idenya tidak merugikan siapa pun Yang jelas, dirinya tidak menolak permintaan teman papanya itu.
Rita masih tidak berkomentar. Ia sendiri merasa khawatir, takut putrinya itu malah akan disepelekan dan dihina oleh sahabat suaminya. Kepala wanita paruh baya itu menggeleng berkali-kali membuat hati Alleya mencelos.
Alleya mengalihkan pandangannya ke arah Bima dan Ryan. Kedua pria itu tampak menimbang-nimbang usul adiknya. Bagaimana pun, Alleya adik perempuan mereka satu-satunya. Jika sampai pria itu macam-macam, mereka jelas tidak akan tinggal diam.
Alleya kembali menatap Rudy, yang hanya duduk diam, membuat Alleya ragu, jika idenya itu akan disetujui oleh kedua orang tuanya.
Dehaman Rudy memecah keheningan di ruangan itu. Alleya mengangkat kepalanya, menatap bibir pria paruh baya di seberangnya. Alleya merasa seperti sedang menanti pengumuman ujian skripsi.
Rita kembali menghubungi putrinya, namun hingga panggilannya yang ke sepuluh, tidak juga di angkat Alleya. Perasaannya mulai cemas. Pergi kemana anak gadisnya itu. Bima dan Ryan juga belum menampakkan batang hidungnya. Kelihatannya mereka masih belum bangun dari tidurnya. Riita sudah menyiapkan gaun mana yang akan dipakai di acara makan malam nanti. Alleya buru-buru memarkirkan mobil kecilnya di garasi luas rumah orang tuanya. Ia melangkah masuk dengan tergesa. Dirinya hampir lupa, jika pertemuan dengan pria yang akan dijodohkan dengannya, diadakan hari ini. "Mama!" Sapanya ketika tampak di ruang tamu sosok mamanya yang tengah menggengam erat ponsel di tangan kanannya. "Alleya!! Kemana saja kamu ini?" tegur Rita setengah kesal. "Maaf, Ma. Toko tadi sedang ramai, jadi Al hampir lupa dengan acara nanti malam," jawab Alleya, menundukkan kepalanya, merasa bersalah. Rita men
Alleya menatap meja yang penuh dengan hidangan jawa. Dengan semangat empat lima, Alleya mengambil menu kesukaannya dan mulai menikmatinya dengan sepenuh jiwa. Ia tidak memperhatikan kedatangan Aditya. Semua orang di meja itu menikmati hidangan yang tersaji, kecuali Aditya yang masih berusaha menerima kenyataan yang ada. "Mari, Nak Aditya. Jangan menunggu makanannya menjadi dingin," ajak Rudy kepada Aditya yang menatap kosong piringnya. "Oh, eh, iya Om,"Aditya menjawab dengan salah tingkah diikuti tatapan tidak suka Ryan dan Bima. Ia mulai mengisi piringnya dengan sedikit nasi dan beberapa sayur. "Sedang diet ya?" tanya Bima menyindir Aditya. "Hah? Oh, nggak Kak. Tadi di rumah sudah sempat mengisi perut dan sekarang masih agak kenyang." Aditya keder juga melihat tatapan tidak suka kedua kakak calon istrinya itu. Apakah sikapnya tadi sudah
Alleya hanya diam saja saat mobil Aditya meluncur meninggalkan restoran tempat mereka makan siang bersama hari ini. "Setiap hari, aku akan mengajakmu makan siang bersama. Jadi, tidak perlu aku jemput seperti tadi. Jam 12 tepat, aku sudah berada persis di depan rukomu, dan aku harap dirimu sudah ada di sana." Alleya sebenarnya malas menanggapi perkataan Aditya, tapi demi tata krama, ia membalas dengan anggukan kepala tanpa bicara apa-apa. Aditya terus membawa mobilnya, mengantarkan Alleya kembali ke rukonya. Alleya membanting pintu ruangannya. Huuh! Dasar sok ganteng! Andai bukan permintaan papa mamanya, ia tidak ingin menerima ajakan Aditya untuk makan siang bersama. Anak tetangga yang sedang kelaparan di jalan? Sialan! Pekik Alleya, sambil melepas topeng bopeng dari wajahnya. Ia mengipasi dirinya dengan majalah mode bulan ini. Jika tidak sedang dalam rangkaian peny
Kau bukan levelku. Perkataan Aditya terus terngiang-ngiang di telinga Alleya. Iaberguling-guling di atas pembaringannya. Kau bukan levelku! Emosi Alleya meletup-letup di kepalanya. Ia menutup wajahnya dengan bantal sambil menghentak-hentakkan kakinya di atas pembaringannya. Kau bukan levelku!! Aaaaaaarrrrrggghhhh! Alleya berteriak. Ia lantas menghentikan aksinya. Bangun dari tidurnya, meraih secarik kertas dan pena, yang ada di atas meja kecil di samping pembaringannya, menuliskan nama Aditya di kertas itu, dengan penulisan huruf kapital. Ia lalu berjalan membuka laci meja kecil, mengeluarkan selotif bening besar, kemudian menempelkan kertas itu di atas gulingnya. Ia mengikat gulingnya dengan syal yang kebetulan berada di samping bantal, lalu menggantungkan kain syal yang sudah sedem
Alleya terpaksa mengijinkan Aditya ikut dalam acara joggingnya minggu ini. Niat hati ingin nongkrongin tetangga ujung blok, malah ia harus kembali melakukan penyamaran karena kedatangan Aditya yang tiba-tiba. Sebenarnya ia ingin meninggalkan Aditya yang masih syok, karena terkejut melihat dirinya yang menggunakan masker tepung. Akan tetapi, Rita, sang mama, memaksa agar dirinya menunggu Aditya, dan mengajak calon mantunya itu ikut berjogging bersama. Ditengah rasa kesalnya, Alleya mendadak senyum-senyum dan tertawa sendiri. Bayangan wajah Aditya yang begitu terkejut saat melihat wajah putihnya, terus membayang di benaknya. Dia benar-benar tidak menyangka, jika pria sok tampan di depannya ini, ternyata seorang yang penakut. Merasa dirinya menjadi bahan tertawaan oleh Alleya, Aditya langsung memutar badannya menatap Alleya dingin. "Puas tert
Aditya sedang mengantri tiket menonton bioskop yang mulai mengular sejak dirinya bergabung dalam barisan antrian. Sedangkan Alleya duduk manis menunggu sang kekasih yang sedang berjuang mendapatkan tiket untuk mereka berdua. Antrian segini banyak, kapan filmnya akan mulai diputar, rutuk Aditya yang berdirinya mulai gelisah. Alleya mengetuk-ketukkan ujung ponselnya ke keningnya. Ia sedang memikirkan, dari sekian banyak rencana yang ia dapat dari Nia, mana yang akan ia praktekkan hari ini. Kesempatan terbuka lebar tapi dirinya justru belum siap mengeksekusi salah satu dari sekian banyak rencana yang sudah ia dapatkan dari asisten tokonya. Lihat saja, aku akan membuatmu mundur teratur, hingga akhirnya membatalkan rencana perjodohan mereka. Alleya terkekeh-kekeh sendiri membayangkan hal itu, membuat Aditya yang masih mengantri dan melihat Alleya, menatapnya tajam tanpa berkedip. Su
"Mama...!" panggil Alleya pagi itu. Rita yang sedang sibuk mencabuti rumput yang mengganggu beberapa tanaman hias kesayangannya, menengok ke belakang mencari bayangan putrinya. "Ada apa? Pagi-pagi kok sudah berteriak-teriak mengejutkan orang." Rita melihat putrinya yang berjalan ke arahnya, tampak sedang kebingungan. "Mama, lihat topeng Al tidak?" Alleya gusar setengah mati. Ia sama sekali tidak menemukan topengnya, padahal satu jam lagi si balok es akan datang menjemputnya. "Lah, semalam Al taruh di mana? Mama nggak lihat. Bukannya Al melepasnya di kamar mandi kamar Al?" Rita meletakkan rumput-rumput hasil berkebunnya ke tong sampah. "Iya, semalam Al taruh di washtafel kamar mandi, tapi kok sekarang tidak ada," gumam Alleya. "Coba dicari sekali lagi. Jangan-jangan sudah Al simpan di laci tapi Al lupa." Rita mengajak
Rita bergegas masuk kembali ke kamar Alleya. Ia mencari topeng yang menurut Alleya, semalam ia letakkan di washtafel kamar mandi. Seluruh sudut ruang dalam kamar Alleya ia periksa, lemari ia buka, tumpukan buku-buku pun tidak luput dari sasarannya, namun hasilnya nihil. Satu jam lebih dirinya mencari tapi tak kunjung menemukan topeng itu. Rita terduduk di sisi pembaringan Alleya. Ia sekali lagi mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruang, mungkin saja ada bagian yang terlewatkan, tetapi tetap saja hasilnya nihil. Dengan berat hati, Rita keluar dan menutup kembali kamar Alleya. Ia tidak dapat membayangkan betapa kecewa Alleya, saat putrinya itu tahu, jika dirinya tidak berhasil menemukan topeng buruk rupa yang dimaksud. Suara mesin mobil dimatikan tertangkap oleh indera dengar Rita, yang kemudian melangkah cepat mendekat ke garasi. Dilihatnya Alleya keluar dari mobil dengan wajah kuyu dan tidak