Gemericik air di kamar mandi masih terdengar jelas. Belum ada tanda-tanda dari orang yang sedang membersihkan tubuhnya itu untuk segera keluar dari sana. Sekitar lima belas menit berlalu dan pemuda yang sudah puas menyegarkan badannya itu keluar dengan celana tiga perempat tanpa baju atasan. Rambutnya basah dan dia tutupi dengan handuk yang tersampir di kepalanya."Astaga, Ayah!" Jevano hampir terpeleset ke belakang saat melihat ada sosok pria yang duduk di kasur, menghadap langsung ke pintu kamar mandi. Lampu kamarnya juga belum dinyalakan, membuat penerangan di kamarnya menjadi sangat temaram, hanya ada cahaya bulan. Sudah seperti adegan film horor thriller saja.Pemuda itu menyentuh dadanya, merasakan detak jantung yang semakin cepat memacu karena kejadian barusan. Pacuan itu semakin kuat saat otaknya yang sangat pintar itu dengan setia menyegarkan memori tentang ayahnya. Huft, mungkin ini saatnya dia mendapatkan pelajaran kedislipinan dari ayahnya."Ada apa, Ayah?" tanya Jevano me
Mata Juwita berbinar ketika sampai meja makan. Dia melihat jajaran beberapa menu yang ada di atas meja. Hiasan dan suasana yang disiapkan oleh suaminya sungguh sangat menyentuh. Ada lilin-lilin yang dinyalakan untuk menemani makan malam mereka bertiga. Dia sampai tidak bisa berkata-kata."Mas? Ini semua?" tanya Juwita tidak tahu mau bilang apa.Jamal menoleh lalu mengangguk ringan. Dia tersenyum tampan dan mengulurkan tangannya. Dia pun disambut. "Udah turun ternyata. Silakan." Dia memperlakukan Juwita seperti seorang putri bangsawan. Dia mempersilakan istrinya untuk duduk.Jevano yang sudah duduk rapi sedari tadi di depan orang tuanya itu hanya bisa melongo. Apa yang baru saja dia lihat? Baru kali ini dia melihat ayahnya romantis dengan wanita seperti itu. Ya, memang selama ini dia tidak pernah melihat ayahnya mempunyai hubungan dengan wanita mana pun. Agak syok juga mengetahui kenyataan bahwa ayahnya yang tegas bisa jadi orang yang sangat romantis dan ... bucin? Astaga."Selamat mak
Tuan dan Nyonya Anggari pulang ke rumah. Saat itu, Jevano sedang membaca di perpustakaan kakeknya dengan sangat serius. Dia sampai tidak tahu bahwa kakek dan neneknya sudah kembali."Jevano!" Sapaan riang Tuan Anggari itu membuat Jevano kaget dan langsung berdiri dari duduknya. Tubuhnya serasa kaku, seperti maling terpergok warga. Dia pun lega saat melihat wajah senyum kakeknya di ambang pintu. Pria paruh baya itu membentangkan kedua tangannya.Jevano ikut tersenyum. "Kakek." Dia melangkah mendekat ke kakeknya dan mengijabahi ajakan pelukan pria tersebut."Astaga, Kakek tinggal berapa lama di sini dan kamu sudah berisi." Tuan Anggari menepuk pundak dan punggung cucunya, merasakan otot pemuda itu yang semakin kencang dan bervolume.Jevano hanya bisa terkekeh malu. Di balik pelukan kakeknya, dia bisa melihat sang nenek yang baru saja datang. "Nenek," sapanya sopan.Tuan Anggari melepaskan pelukannya dan menoleh ke belakang. Ternyata sang istrinya sudah ada di sana. "Gimana? Juwita di ma
Setelah beberapa saat Jevano dikacangin oleh kakek dan neneknya, akhirnya sang kakek menotis dirinya yang hanya diam merana sendirian."Oh, iya. Katanya kamu udah punya hp baru, Jev. Bagi nomer dong. Nanti kalau Kakek gabut, Kakek telepon kamu aja." Tuan Anggari telah melepas pelukannya dari sang istri. Mereka juga sudah duduk normal kembali. Ah, memang pasangan yang sudah berumur ini tetap awet mesraannya. Pria itu merogoh kantongnya dan mengeluarkan benda pipih tersebut kepada cucunya.Jevano maju dan menerima gawai kakeknya. Dia menelan ludah sejenak, Samsung fold. Astaga, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk benda ini. Untung saja dia juga tidak katrok. Dengan santai, dia membuka lipatan gawai itu. Layarnya menyala, menampilkan gambar dirinya yang sedang serius membaca di meja baca kakeknya. Kalau tidak salah, baju yang ada di foto itu adalah baju yang dia pakai lima hari yang lalu. Dia mendongak, melihat kakeknya."Ada apa, Jev? Ada yang salah sama hp Kakek? Apa nge-lag lagi,
Malamnya, Jamal sekeluarga benar-benar pindah rumah setelah selesai berkemas. Tuan dan Nyonya Anggari melepaskan kepergian mereka di depan rumah. Sebenarnya mereka sangat berat sekali untuk melepaskan keluarga kecil anak semata wayangnya ini. Mereka baru saja merasakan suasana keluarga yang utuh. Sudah lama mereka ingin mempunyai anggota keluarga tambahan yang bisa meramaikan rumah mereka. Akan tetapi, mereka juga tidak bisa apa-apa karena kemauan anak mereka yang ingin hidup lebih mandiri dengan keluarganya."Sering-sering main ke sini, Jevano," pinta Nyonya Anggari sambil memeluk cucunya. Sempat ada rasa menyesal karena dulu dia terlalu meremehkan pilihan Juwita. Dia pikir, status sosial yang tidak sama akan membuat dirinya keki dengan cara bersosialisasi Jamal dan Jevano. Ternyata dia salah. Bahkan Jevano tidak terlihat keki meskipun cenderung pendiam. Bahkan entah mengapa, dia selalu ingin menghabiskan waktu untuk berbicara dengan cucunya ini. Seperti ada daya tarik tersendiri dar
Juwita mendahului Jamal dan Jevano untuk masuk ke dalam rumah. Dia membawa tas peralatan jahit mini yang tadi dia pakai di rumah orang tuanya. Sedangkan duo ayah anak itu masih berada di garasi untuk berbagi barang bawaan."Itu seragam kamu?" tanya Jamal sambil berisyarat dengan dagu ke tas kertas tebal yang berisikan tiga kantong kain hitam yang ada reslitingnya.Jevano terpaku sejenak mengamati benda yang dimaksud ayahnya. "Kok Ayah tahu?"Jamal tersenyum. Dia mengelus kepala anaknya. "Hidup kamu sekarang berbeda, Jevano. Sekarang hidup kamu enggak murah. Seragam kamu pun enggak akan dibungkus plastik meskipun baru." Dia masuk terlebih dahulu dengan membawa dua tas yang berisikan baju mereka bertiga.Jevano tertegun. Dia masih heran, bagaimana ayahnya tahu semua itu? Ayahnya saja anak rantau dan tidak mempunyai apa-apa ataupun siapa-siapa. Bagaimana bisa ayahnya menotis barang seperti ini? Sejenak, dia terlupakan bahwa ayahnya dulu adalah pekerja kantoran. "Ah, mungkin pernah lihat
Pukul setengah tujuh pagi, alarm berbunyi dengan begitu nyaringnya. Mata Juwita terbuka. Tidurnya terusik dengan suara lantunan musik instrumen yang dia pasang. Dia meraih gawainya dan menatap layar dengan mata yang setengah tertutup. Lalu, saat dia melihat angka, "Astaga, telat!"Dengan kekuatan super yang dia miliki, Juwita langsung bangkit dan melompat dari kasurnya. Dia segera menuju ke lantai atas, tempat suami Jamal dan Jevano tidur. Ya, selama ini Jamal dan Juwita masih tidur di kamar yang terpisah. Akan tetapi, mereka selalu berhasil menyembunyikannya dari Jevano. Triknya memang gampang, Jamal dan Juwita selalu tidur lebih telat dari pada anak mereka dan bangun lebih cepat. Sebuah keharusan agar Jevano tidak curiga.Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Telat bangun memang sebuah petaka. Saat Juwita menapakkan kakinya di
Jamal sudah sampai di basement perusahaan keluarga Anggari, ANG Group. Terima kasih kepada google maps yang sudah memandunya dengan selamat setelah keluar dari jalan alternatif. Dia turun dari mobil dan meneliti area sekitar. Sangat asing. Tentu saja, karena dia belum pernah ke sini sama sekali. Ini adalah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di perusahaan mertuanya."Pak Jamal?" sapa seseorang yang mendatanginya.Jamal menoleh. Di depannya ada seorang pria yang terlihat lebih tua, sedang tersenyum ramah kepadanya. "Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?" Dia menjabat tangan orang itu yang terlebih dulu mengulurkan tangannya."Saya Hartanto, manager utama Tuan Anggari. Saya diminta untuk mengantarkan Anda ke ruangan beliau sebelum rapat." Jamal mengangguk, ternyat