"Jani!' Lagi, dia memanggil untuk yang kedua kalinya karena kuabaikan.
Ya ampun ... apa dia tidak takut istri atau anaknya akan mendengar, lalu curiga?
Aku enggak bisa membayangkan kalau Teh Lina sampai tahu kalau aku pernah jadi WIL suaminya."Apa, sih?" sahutku ketus.
"Apa kabar?"
Bisa-bisanya tanya ada apa. Pakai basa-basi segala ini orang! Udah tahu segar bugar begini. Kalau sakit mana bisa pegang gagang sapu, ya kan?
Rasanya tidak perlu kujawab basa-basinya itu."Jan!"
"Apalagi?"
"Aku mau ngomong!"
"Ngomong apa? Itu kan, lagi ngomong?"
"Sini atuh!"
"Enggak bisa, bahaya!" sahutku cepat tanpa menoleh sedikitpun.
"Bahaya apa, Neng Jani?" Tiba-tiba suara Teh Lina menggema dari arah belakangku.
"Eng ... enggak ada apa-apa, Teh! Tadi saya nyapu ada paku. Bahaya kan, kalau keinjak. Bisa sakit yang kena!" jawabku gugup. Tanganku sampai gemetar saking kagetnya.
"Sakit mana sama lihat mantan yang bahagia sama pasangan barunya!"
Glekkk
Lagi-lagi ucapannya ... apa jangan-jangan Teh Lina udah tau semuanya, terus nyindir aku?
"Bercanda, Neng!" katanya sambil mengibaskan tangan.
Fiuh ... syukurlah!
Teh Lina lalu memutar bola matanya ke arah mantan pacarku. Eh, maksudnya suaminya, uhuk!
"Papi belum berangkat? Katanya mau jogging. Dah lah, Mami udah curiga ini mah, pasti akal-akalan Papi aja kan, supaya bisa keluar rumah? Hayo ngaku!"
Deg!
Jantungku berdegup kencang mendengar celotehan istri sang mantan yang ceriwis itu. Bener ini mah, Teh Lina pasti udah tahu!
"Enggak kok, Mi!" jawab Aa Hadi santai.
Aku mulai menciut. Menunggu kata-kata berikutnya yang akan keluar dari bibir Teh Lina.
Tapi bagaimana kalau Mas Pras dengar dan dia jadi terbangun?
"Papi tegaaaaa!!! Mami udah bikin sarapan, malah mau beli buburnya Mang Kardi. Alesan aja mau jogging, bubur lagi ... bubur lagi!" kata Teh Lina kesal.
Ya Tuhan ... akhirnya aku bisa bernafas lega. Kirain Teh Lina tahu semuanya. Ya ampun Teh, kenapa absurd banget sih? Dan itu soal bubur, jadi ternyata Aa Hadi masih menyukai bubur?
Sebenarnya kan, dulu itu dia nggak suka makanan lembek itu. Tapi setelah pacaran sama aku, dia ikut-ikutan suka. Malah setiap kali keluar untuk jalan-jalan, kami selalu mencari tempat makan bubur yang terkenal enak sebagai tujuan kami.
"Neng!"
"Ya, Teh?"
"Si kecil memang sudah pada bangun?"
"Belum Teh, masih tidur."
"Kok kamu belum mandi?"
"Belum sempet Teh, lagian—
" Nih, Teteh ajarin ya, kalau mau keluar rumah itu biar fresh biar enak dilihat sama orang. Anak masih kecil, masa udah buluk begini?"
"Masih banyak yang mau dikerjain sama Jani Teh, entar keringetan lagi!"
"Padahal mah, nanti gampang mandi lagi, Neng. Ya udahlah, Teteh masuk dulu, mau beberes!"
"Hihi iya, Teh." Senyum ketusku menguar melihatnya pergi. Aku lalu melirik mantan semprul yang menyibukkan diri dengan tanaman di depan rumahnya.
Ting Ting Ting
Suara tukang bubur Mang Kardi akhirnya beneran lewat juga. Kemarin aku sempat beli bubur ini dan ternyata rasanya memang enak.
"Jan, beli bubur?" Lagi-lagi dia basa-basi. Ya kali yang lewat bubur, belinya ketoprak!
Tak kujawab pertanyaannya dan berlanjut memesan dua porsi bubur untuk Nindi dan Hamdi.
"Dua aja Teh, nggak tiga?" tanya Mang Kardi.
"Dua aja Mang!" sahutku.
"Kenapa dua? Berarti cuma buat anak kamu atuh? Bukannya kamu suka banget dulu sama bubur?" Aa Hadi mulai kepo.
Gimana aku bisa mesen bubur kalau ada dia di sini? Yang ada malah teringat hubungan kami dulu. Mau bilang buat Mas Pras? Aku yakin dia tahu kalau suamiku sudah berangkat pagi-pagi sekali.
"Udah enggak suka Pak! Trauma saya makan bubur!" jawabku sekenanya.
Lagipula, kenapa juga dia masih ingat sama makanan kesukaanku itu?
Mudah-mudahan nih, Mang Kardi nggak ember mulutnya dan ngadu ke Teh Lina soal percakapan absurd-ku dengan suaminya."Aa beliin satu lagi ya? Aa yang tambahin!" katanya menawarkan.
"Eng ... nggak usah Pak. Ini cukup! Anak saya itu masih kecil, sayang kalau nggak habis. Nih Mang, saya bawa sambelnya satu ya. Takut nggak habis, tinggal saya tambahin sambel!" sahutku sambil menyambar sebungkus sambal yang ada di dalam plastik kecil-kecil.
"Katanya trauma sama bubur, kok bawa sambelnya juga Bu?" Tiba-tiba Mang Kardi nyeletuk, membuat aku seperti kehilangan wajah menahan malu. Rupanya dia menyimak percakapan kami.
Dasar tukang bubur kelewatan!
Ya ampun ... apa aku terlihat menyedihkan dimatanya?Sampai di rumah segera kusuapi Hamdi dan Nindy. Tak lupa sambal kusiapkan bila nanti Hamdi tak menghabiskan bubur seperti biasanya.
Tapi ternyata, harapan tidak sesuai kenyataan. Mereka menghabiskan bubur itu tanpa bersisa sedikitpun! Dengan hati nelangsa, kurapikan sterefoam bekas mereka dan meninggalkan sambal yang termenung menunggu dibuka. Nasib ...
***
"Assalamualaikum, Neng Jani sudah tidur belum?"Suara khas Teh Lina yang keras menggema dari luar. Kulihat jam sudah menunjukan jam sembilan malam lewat. Anak-anak juga sudah tidur.
Ada apa Teh Lina malam-malam begini datang ke rumah?
Gegas aku beranjak dan membuka pintu. Aku sengaja tidak menyahut lebih dulu agar Hamdi tidak terbangun. "Wa'alaikumusalam, ada apa Teh?" tanyaku pada Teh Lina yang datang dengan kantong plastik berwarna putih di tangannya. "Ini, Papinya anak-anak bawa anggur hijau banyak, Teteh bagi dua sama kamu. Kamu doyan nggak?" Mataku berbinar-binar mendengarnya. Setelah kresek itu berpindah tangan, kuperkirakan ada sekitar dua kilogram anggur di dalamnya. Sudah lama sekali tidak makan buah kesukaanku itu. Selain mahal, tidak ada yang suka selain aku di rumah. "Ya ampun Teh, Jani doyan banget. Ternyata A—" "Apa, Neng?" Teh Lina memicing. Duh, hampir aja keceplosan! "Anu Teh, kok bisa banyak begini? Kan harganya mahal?" Aku mencoba mengalihkan. "Katanya sih, temennya lagi panen anggur. Makanya Papi dikasih banyak, bukan beli!" jelasnya. "Alhamdulillah ya Teh, Jani kebagian rezekynya Teteh!" kataku dengan mata berbinar. Ah, aku jadi merasa bersalah sama Teh Lina. Ini pasti ulah Aa Hadi ya
"Elvy Sukaesih?" bisikku.Sukaesih itu nama ibuku di kampung. Tapi yang suka menambahkan nama Elvy di depannya ....?Aa Hadi???Mataku sampai melotot, saat ingat kalau dialah yang sering menambahkan nama belakang ibu. Jadi, apa benar paket kiriman paket ini dari Aa Hadi?Segera kubuka paket itu karena penasaran sekali dengan isinya. Setelah dibuka, isinya adalah daster model kekinian. Ada sekitar delapan stel daster terusan dengan bau khas pakaian baru dari plastik pembungkusnya."Daster? Banyak banget?" gumamku sambil terus melihat isi di dalamnya.Kucari lagi data pengirim pada plastik pembungkus paket. Di sana tertera nomor handphone-nya.Aku mulai curiga lagi. Kalau benar ibuku yang mengirim, mana ada dia punya handphone? Karena dia tetap tidak bisa menggunakannya meski telah diajari adikku, Anjeli berkali-kali. Segera kuambil ponsel dan menghubungi nomor itu."Halo?" tanyaku sedikit ragu."Halo, ini pasti Anjani. Sudah terima paket dari Aa?" sahut suara di ujung telepon.GlekkB
Siang itu setelah selesai cuci piring dan masak, akhirnya seluruh pekerjaanku kelar juga. Kulanjut mandi sebelum menjemput Nindy dan Hamdi dari rumah Teh Lina, rumah mantan pacarku. Kalau aku kesana sebelum mandi, bisa-bisa Teh Lina ngomel-ngomel lagi nanti.Semenjak tinggal berdekatan dengan Teh Lina, pekerjaanku lebih cepat selesai. Dia akan dengan senang hati menawarkan diri mengajak kedua anakku bermain di rumahnya.Selain suka anak kecil, Teh Lina juga tidak mengerjakan apa-apa lagi. Karena dia memiliki ART yang pulang pergi untuk membantu tugas berat seperti mencuci dan yang lainnya.Pejerjaan Teh Lina hanya masak di pagi dan sore hari.Selesai mandi, segera aku bergegas ke rumahnya untuk menjemput anakku. Tapi baru sampai teras, dia keluar sendiri dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya."Hamdi sama Nindy tidur Neng, sini masuk dulu ...!" ajak Teh Lina.Aku mau masuk tapi ragu. Meski sudah akrab dan Teh Lina sering bolak-balik, tapi belum sekalipun aku masuk ke dalam rumah
"Ma, ini pakaian siapa banyak banget. Mama jualan?" tanya Mas Pras saat mendapati dua tumpuk daster di keranjang baju. Padahal sudah kusembunyikan, tapi dia tetap tahu."Punya aku Pa, sebagian dikasih Teh Lina. Sebagian dikirim dari Ibu ....""Alhamdulillah, berarti tahun ini nggak usah beli daster ya, Ma? Bisa dialihkan ke yang lain kan?" celotehnya kegirangan, tanpa rasa bersalah sedikitpun."Ya ampun Pa, udah beli baju sama daster setahun sekali, masa mau dihapus juga. Berarti lebaran ini, ya aku beli gamis dua dong, Pa!" gerutuku sebal.Kesal sekali dengan sifatnya yang terlalu hitung-hitungan itu. Andai saja dia tahu, siapa yang memberi daster baru itu, apa dia akan sadar, kalau aku lebih berharga di mata lelaki lain?Kutinggalkan Mas Pras ke dalam kamar. Dia tahu, marahku adalah diam. Jika diganggu akan semakin lama aku mendiaminya. Makanya, dia takkan berani bicara lagi.Kenapa akhir-akhir ini aku selalu kesal dengan sikap suamiku?Padahal, dulu aku tak pernah masalah, selama d
"Jadi daster itu bukan Ibu yang kirim?" Pertanyaan Mas Pras semakin membuatku gugup."Bukan, Pras!""Coba atuh Neng, dilihat lagi nama pengirimnya!" titah Teh Lina."Bagaimana ya Teh, mana plastiknya sudah Jani buang?" kataku beralasan. "Kalau paket nyasar, bisa bahaya Ma! Bagaimana kalau diminta ganti rugi karena sudah buka paket?"Lagi-lagi Mas Pras bikin aku kesal. Udah tau aku lagi marah, tetap saja pelitnya keluar!"Mama kan, nggak tahu, Pa!""Makanya Ma, jangan asal buka. Aplikasinya aja nggak punya!"Ck, lihat aja, setelah Ibu pulang nanti. Akan ku tambah diamku selama sebulan, biar tau rasa! dengkusku kesal.Gara-gara paket dari Aa Hadi, malam harinya, aku sampai tidak bisa tidur. Selain Mas Pras terlihat curiga, aku juga kepikiran karena belum bisa bicara mengenai Aa Hadi pada Ibu.Dan Mas Pras, lelaki disampingku itu terus mewanti-wanti agar aku tidak menggunakan daster itu dulu, selama satu bulan.Huh! Takut banget kena denda dan disuruh bayar sepertinya!Kulirik jam di di
"Jani udah hubungi Mas Pras, tunggu dulu ya Bu!" kataku pada Ibu agar dia merasa tenang. Padahal, Mas Pras belum membaca pesanku sama sekali, masih centang satu. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia sulit sekali dihubungi."Deuh Teh, hese (susah) ya, enggak punya tetangga mah. Sekalinya punya, ada bonus masa lalunya!" sindir Ibu penuh kemenangan.Aku diam saja mendengar celoteh Ibu, sambil terus menepuk punggung Hamdi yang kegerahan karena kipas angin yang mati.Kulihat juga Nindy mulai tak nyaman, mungkin gerah juga. Ibu dengan sigap membuka pintu dan jendela yang tadi kututup rapat agar ada udara segar yang masuk."Assalamualaikum ...." Teh Lina pagi ini datang sambil menyodorkan sepiring makanan yang dibuatnya. Kali ini, dia buat kue lupis ketan ."Waalaikumusalam ...," jawabku sambil mengambil piring dari tangan Teh Lina. Karena seringnya dia mengantar makanan, aku jadi tidak basa-basi lagi dan langsung menampi (menerima) pemberiannya."Belum mandi Neng?" tanyanya, lengkap dengan lir
Dua jam sudah Ibu pergi dengan Aa Hadi dan belum juga kembali. Selesai mandi, aku hanya bermain dengan Nindy dan Hamdi.Kata Teh Lina, aku enggak perlu masak. Dia sengaja bikin makan siang yang banyak biar kami bisa ikut mencicipinya.Ah, Teh Lina ... aku hanya bisa berdoa semoga kamu selalu sehat dan bahagia. Dan rahasia ini, tetaplah menjadi rahasia kami, agar Teteh tidak merasakan sakit hati lagi, batinku.Tak lama, suara derum mobil Aa Hadi terdengar jelas. Beberapa saat kemudian, Ibu datang membawa beberapa paper bag. Gegas kukunci pintu untuk sementara waktu, karena aku kelewat penasaran dengan apa yang terjadi pada mereka selama perjalanan.Setelah itu, kami masuk ke dalam kamar belakang, lalu Ibu pun mulai bercerita.Kata Ibu, Aa Hadi tak hentinya meminta maaf padanya. Seperti yang dia ceritakan, kalau dia dulu tidak mencintai istrinya.Berarti sekarang udah cinta atuh? Duh A, Jani patah hati boleh enggak?Selain itu, Ibu juga bercerita panjang lebar mengenai apa saja yang ter
"Mana Ibu tahu? Ibu cuma tahunya kamu teriak aja," kata Ibu.Syukurlah, pikirku. Ibu tak perlu tahu apa yang terjadi dalam rumah tanggaku. Segera kuturuti permintaan Ibu, agar dia tetap nyaman berada disini.***Dengan berat hati, kuturuti permintaan Ibu agar aku bisa menyelesaikan masalah dengan Mas Pras malam ini juga.Tentu saja, dia cukup terkejut melihatku kembali. Karena selama ini, kalau aku marah bisa lama dan mendiami-nya sampai berhari-hari."Maafkan Papa ya Ma ... Papa kan cuma mau—""Udah enggak usah ngomong yang bikin aku tambah kesal. Lain kali saja bahasnya. Aku mau tidur, jangan lupa besok uang dilebihin!"Sengaja kusela ucapan suamiku. Biasanya dia hanya minta maaf dan tetap tidak mau menerima kalau dia memang salah. Karena itulah, lebih baik kusela pembicaraannya daripada aku tambah kesal.Menjelang siang, kuantarkan beberapa bungkus pepes ikan mas ke rumah Teh Lina sebagai ucapan terima kasih atas bantuan dia dan suaminya.Menurut Teh Lina, suaminya pasti senang sek