Tangan Ayu yang memegang kertas itu, perlahan gemetar.
“Siapa… Bagaimana…” Ayu hanya mampu berbisik sementara kepanikan mencekik lehernya.
“Aku tidak tahu siapa, tapi kertas seperti ini tertempel hampir di semua lantai. Aku mengambil ini dari lift, tapi aku menemukan banyak yang lain di lantai dua. Di ruangan kita.”
Kyoko menjelaskan dengan cepat, sementara Ayu berjalan menuju lift.
“Kau tidak perlu masuk. Aku…”
“Aku ingin melihat yang lain.” Ayu menepis tangan Kyoko yang berusaha mencegahnya maju, dan berlari menuju lift.
“Ayumi! Tidak perlu.” Kyoko mengejar, tapi Ayu berhasil menutup pintu lift, meninggalkan Kyoko di luar.
Ayu menatap ke depan dengan pikiran penuh dan riuh oleh segala hal membingungkan. Tapi kemu
“Lepaskan kataku!” Hide mengulang dalam bentakan yang tidak terlalu keras, tapi sudah terlambat.Bentakannya yang pertama, sudah menarik perhatian semua orang yang ada di lobi. Bahkan security terlihat datang karena mendengar keributan itu. Tapi mereka hanya memandang.“Kau ingin kehilangan tangan?!” Hide mendesis dan berjalan mendekat.Mori bisa merasakan bahaya, maka perlahan melepaskan tangan Ayu. Tapi matanya terus menatap Hide. Nyalinya cukup lumayan.“Kita pulang,” kata Hide, sambil meraih tangan Ayu.Tapi Mori menghadang dengan tubuhnya. Insting melindungi Mori juga cukup tinggi. Karena itu ia tidak bisa membiarkan Hide membawa Ayu. Tindakan Hide akan semakin memperburuk gosip yang saat ini telah beredar. Kepergian mereka berdua, seolah akan membenarkan gosip itu. Mori deng
Ayu melompat naik ke dalam bus pertama yang berhenti di halte, tanpa melihat ke mana tujuannya. Ayu duduk di dalam bus itu setelah membayar, dan entah untuk berapa lama. Ayu tidak peduli, ia hanya ingin menghilang dan melupakan semuanya.Sejak awal, apa yang diinginkannya adalah kemustahilan. Dan seperti dugaan, semua hanya akan berakhir dengan hinaan yang memang pantas diterimanya.Moralnya memang patut dipertanyakan saat ia memilih untuk mencintai Hide.“Ojōu ̄-san*, maaf. Tapi ini halte terakhir.” Ayu tersentak saat sopir bis yang ditumpanginya menghampiri dan membungkuk meminta maaf karena mengganggu.“Oh, ya. Maaf.” Ayu langsung berdiri dan balik membungkuk meminta maaf, karena tentu kehadirannya membuat sopir itu repot.“Maafkan saya sekali lagi,” kata Ayu, saat sampai di pintu bis, lalu turun.Ia memandang sekitar. Ayu belum pernah mengunjungi tempat dimana ia berada, tapi dengan mudah menemukan pet
“Aku sudah menemukannya.” Hide baru sempat menghubungi Ryu sesampainya di UGD.Saat di ambulans, Hide sibuk menyebutkan gejala apa saja yang dialami Ayu sebelum ia pingsan. Semua, tidak tertinggal satupun. Mulai muntah dan lebih sering terjatuh.“Syukurlah.” Ryu juga terdengar lega.“Kau akan membawanya ke Tokyo?” tanya Ryu.“Belum. Aku masih di rumah sakit.”“Oh, bagaimana keadaannya?” Ryu lupa apa alasan Hide ingin cepat menemukan Ayu.“Belum tahu, tapi firasatku buruk.” Hide sejak tadi tidak bisa duduk tenang.“Dia mungkin hanya lelah. Jangan terlalu khawatir seperti itu, kau itu selalu tidak masuk akal saat berhubungan dengan Ayumi.” Ryu tentu saja menyalahkan sifat posesif dari hide yang memang ke terkadang amat berlebihan“Lelah? Seharusnya kau tahu beban kerjanya bahkan tidak terlalu banyak akhir-akhir ini.”Hide menyebut hal yang membuat Ryu diam. Apa yang dikatakan Hide sangat benar. Beban kerja Ayu tidak terlalu banyak jika dibandingkan sebulan yang lalu.Sudah lama bagian t
Ayu dipindahkan ke ruang rawat begitu Hayashi menghubungi rumah sakit itu. Dan karena ia menegaskan Ayumi adalah pasiennya, tidak ada yang berani menyentuh hasil tes Ayu sebelum ia datang.Nama Hayashi sebagai dokter senior, cukup untuk membuat segan, dan dokter yang ada di rumah sakit itu, memilih untuk menunggunya. Karenanya Hide juga tidak menuntut saat ia harus menunggu di ruang rawat selama beberapa lama untuk mendengar hasil diagnosa.Tapi memang kegelisahan membuatnya hampir gila. Dan keadaan itu diperburuk karena ponselnya sejak tadi tidak berhenti bergetar.Hide tidak bisa mematikan ponsel itu karena menunggu kabar dari Ryu. Juga tidak bisa memblokir nomor yang menghubunginya, karena itu adalah Kyoko. Hide tidak menyimpan nomornya, tapi Hide mengenali karena nomor itulah yang menghubunginya untuk menggambarkan keadaan di Shingi Fusaya tadi pagi.Hide bukan takut pada amarah Kyoko, tapi Hide tidak ingin Kyoko melapor pada Ayu. Langkah yang pada akhirnya akan membuat Ayu marah
Mulut Ayu terasa pahit, mungkin karena ketakutan. Ketakutan karena berada di tempat asing.Tapi ketakutan itu hanya sekejap. Seasing apapun tempatnya berada, Ayu tidak lagi mempermasalahkan. Itu karena ada Hide yang sekarang tampak tertidur menelungkup di dekat tangannya. Tangan itu kemungkinan baru saja terlepas dari genggaman Hide, karena dekatnya jarak antara tangan itu. Tempat dimana ada Hide tidak mungkin tidak aman.Namun, senyum di bibir Ayu ikut berubah pahit. Ayu tidak tahu kenapa mereka ada di rumah sakit, tapi Ayu masih ingat kenapa mereka ada di rumah sakit yang sangat asing. Ayu masih mengingat semua apa yang terjadi di Shingi Fusaya.Ayu memejamkan mata. Tentu saja ingin menangis. Tapi Ayu menghela nafas beberapa kali untuk menahan air matanya. Ayu bosan menangis. Dan tidak seharusnya dia menangis atas pilihannya sendiri.Ayu mengangkat tangan, dan menyentuh helai rambut Hide, hanya sentuhan samar, tapi Hide tersentak dan menyambar tangan Ay
“Rambutku… mereka akan membuatku botak!” Ayu mengeluhkan hal yang dulu paling dibencinya. Menunggu saat rambutnya tumbuh, dan harus memandang kepalanya yang botak setiap kalinya. Menghadiri festival musim panas tanpa rambut adalah mengerikan.“Oh… ha… ha…” Hide mungkin sudah terlalu lama hidup dalam ketegangan, sampai apa yang diucapkan Ayu malah membuatnya tertawa. Hal remeh yang sama sekali tidak terduga.Hide juga sekaligus lega, karena paling tidak kekhawatiran Ayu telah berpindah. Ketakutan akan penampilannya yang akan menjadi jelek tentu saja jauh lebih baik dari pada Ayu yang ketakutan dan putus asa.“Kau menertawakanku?! Kau membayangkan aku botak dan tertawa?!” Ayu mendorong Hide sementara menghapus air matanya dengan jengkel. Kemarahan semacam ini tidak akan membua
Menit demi menit yang dihabiskan Hide di depan ruang operasi itu adalah mimpi buruk, mimpi yang amat buruk. Hide belum pernah merasa putus asa seperti ini. Dan ia harus menjalaninya kurang lebih selama tiga jam.Selain oleh beban segala resiko, Hide kini terpancang pada hasil biopsi nanti. Kemungkinan yang disebutkan oleh Hayashi kemarin.Kemungkinan terburuk dari keadaan Ayu.Hide menghempaskan tubuhnya di kursi, memejamkan mata, sekuat tenaga berusaha mengikuti saran Hayashi untuk tidak memikirkannya terlalu berat.Hayashi bahkan tadi pagi memberikan rencana pengobatan yang sangat terperinci, untuk meyakinkan jika apapun hasilnya bukan berarti jalan buntu, tapi Hide tidak ingin memasukkan kemungkinan itu dalam kepalanya. Pengobatan itu mungkin memiliki kemungkinan untuk sembuh, tapi hanya kemungkinan bukan kepastian. Ketidak
“Kau benar-benar ingin melakukan pembantaian di tempat terbuka?” Masaki berseru dan Hide akhirnya menurunkan katana di tangannya.Sedikit kecewa tidak ada darah yang tertumpah. Dia boleh membunuh, tapi tidak di depan banyak saksi. Peraturan yang sementara ini dianggap menyebalkan oleh Hide.Hide menunduk saat Masaki didorong mendekatinya, tapi ia sempat melirik wajah baru di belakang Ayahnya. Asing, dan mungkin umurnya tidak jauh berbeda dari Masaki. Tapi memang lebih tegap, dan masih terlihat sehat.Hide sedikit heran. Jika ayahnya ingin mengganti Matsuda, seharusnya dia mengambil pegawai yang lebih muda, bukan malah yang sudah berumur seperti itu. Hide tidak yakin pria itu mampu mengangkat ayahnya, apabila terjadi sesuatu.Tapi sekarang bukan saatnya untuk mempertanyakan keputusan Masaki itu. Pembuluh darah di se