Suasana dalam ruangan berwarna pink itu tampak muram, sangat tidak sesuai dengan tema.Hide menunduk diam, Ryu juga sama. Bahkan Yui—yang sejak tadi mencela dan mengungkit semua kesalahan Hide, juga terlihat diam akhirnya.Mereka semua mengenal Hayato pada satu titik, dan mereka semua tahu seperti apa pria itu. Kepergiannya tidak akan pernah mudah untuk siapapun. Ditambah kenyataan ia harus pergi dengan cara yang mengerikan.“Kenapa kau kembali mengungkit hal ini? Kau kemarin sudah menyerah. Kau membiarkan Ayu menikah.” Yui masih tidak mengerti kenapa Hide harus membahas hal ini lagi.“Dia bercerai.” Ryu menyahut, masih dengan mata menatap meja.“Pantas saja. Setelah itu kau kembali berharap padanya? Kau berharap terlalu tinggi. Selera Ayu tidaklah rendah seperti itu. Aku yakin dia tidak akan mau memilihmu meskipun meninggalkan suaminya,” ejek Yui, sambil menyeringai menatap Hide.“Dia sudah memilihku.” Hide membalas dengan puas. Ejekan itu setidaknya membuatnya melupakan Hayato sejen
“Kau menandai apa?” tanya Kyoko, saat melihat Ayu memberi lingkaran pada kalender yang ada di mejanya.Mereka mulai masuk dan bekerja di kantor baru kemarin, tapi hari kedua ini mereka masih tidak terlalu sibuk. Karenanya Kyoko heran melihat Ayu begitu tekun memandang ponsel dan kalender.“Festival musim panas dan pertunjukan kembang api!” Ayu menjawab dengan bersemangat.Dua hal yang membuat Ayu selalu menantikan datangnya musim panas, festival dan juga pertunjukan kembang api.Dua hal yang sudah lama tidak dinikmatinya karena menikah dengan Kaito, dua hal yang—dipastikan oleh Ayu akan dinikmatinya tahun ini.Karenanya, sejak tadi Ayu mencari jadwal perayaan festival musim panas dan juga pertunjukan kembang api, lalu memberi tanda pada kalender agar tidak melewatkannya."Mas
“Fujita!” Hide memanggil saat melihat Kyoko hanya berjalan sendiri---tanpa Ayu, menyusuri trotoar yang akan membawanya ke stasiun. Hide masih sempat menguntit, kesibukannya belum kembali normal. “Oh.” Kyoko menghentikan langkah. “Ada pria yang membawa Ayumi pergi.” Kyoko menyeringai, menebak apa yang diinginkan Hide. “Membawa? Menculik?” Hide sudah meraba ponsel untuk melepaskan apapun yang diperlukannya untuk menemukan Ayu. Bayangan terburuk Hide, Masaki mengetahui keberadaan Ayu. “Astaga! Gelap sekali tebakanmu!” Kyoko menggeleng, Tidak percaya Hide baru saja menyimpulkan penculikan hanya dari kata membawa. Kyoko tadi hanya separuh menggoda, tapi ternyata berbelok ke arah yang amat gelap. “Lalu apa maksudmu membawa? Jangan bercanda!” Hide langsung membentak. “Aku tidak yakin apakah ingin bekerja padamu atau tidak. Temperamenmu buruk sekali.” Kyoko memutar bola matanya. “Aku tidak peduli kau ingin bekerja padaku atau t
“Kau itu bicara apa?” Ayu kebingungan, dan berusaha melepaskan diri. Pertanyaan Hide tentu saja terdengar begitu aneh untuknya. Tidak berujung maupun berpangkal. “Aku ini hanya ingin bertanya tanpa konteks. Kau memilih yang mana?” Ini adalah titik ternekat Hide. Dia harus mendapat jawaban. “Lepaskan aku dulu,” pinta Ayu. Berada dalam pelukan Hide, tidak akan membuatnya bisa berpikir dengan jernih tentang apapun. Hide melepaskan pelukan, tapi masih menggenggam tangan Ayu dan menatapnya. Menunggu jawaban. “Kenapa ini penting?” Ayu tentu saja curiga, terutama melihat bagaimana Hide begitu menunggu jawabannya itu. “Aku hanya ingin tahu.” Hide sedikit mengeratkan genggamannya. Ayu masih mengerutkan kening ti
“Aku akan mengantarmu hari ini,” kata Hide, mengikuti Ayu keluar dari rumah.“Hm… ya. Eh? Untuk apa?”Ayu harus mengatur kata-kata yang keluar dari bibirnya dengan lebih baik, karena tadi lidahnya sedikit ngawur. Pengaruh dari otaknya yang mendadak berkabut, saat melihat Hide keluar dari rumahnya dengan memakai setelan jas lengkap yang rapi.Selama beberapa minggu di rumah itu, tentu saja Ayu tidak pernah melihat Hide memakai jas. Ia selalu memakai pakaian kasual yang pas di tubuh.Ayu biasanya lebih menyukai keadaan yang berantakan itu, tapi melihatnya rapi memakai jas dengan rambut tersisir—juga wajahnya tampak bersih, membuat jantung Ayu melompat dengan tiba-tiba. Seperti kelinci kelaparan yang melihat wortel, bersemangat—terlalu bersemangat.“Aku ada keperluan di
“Kondo–san, bisakah kau keluar sebentar?” Ryu meminta dengan amat sopan, kepada pria yang membungkuk itu. Memintanya keluar dari tangga darurat itu. Tadinya mereka akan melakukan meeting di atas, tapi karena ada panggilan mendadak, Hide berbelok sebentar ke tangga darurat. Panggilan itu cukup lama, dan Kondo yang ingin segera menjelaskan keadaan, meminta menyusul ke tangga darurat. Tapi ternyata itu ide buruk. Ryu bisa merasakan pandangan mata Hide yang mungkin sekarang ingin membunuhnya. Mereka tidak bisa keluar dari masalah itu dengan mudah. Ayu melihat semuanya. Ayu ikut memandang bagaimana Kondo keluar dari pintu darurat. Meninggalkan Ryu dan Hide yang kini saling memandang. Ryu mengangkat bahu tapi tidak bicara. Tentu menunggu Hide yang menjelaskan. Dia yang berhak untuk menjelaskan.
Hide berbaring di tatami, dengan tangan menekuk di bawah kepalanya sebagai bantal. Masih tertidur. Ayu sama sekali tidak heran—mulai terbiasa dengan keadaan Hide di dekatnya, tidak juga malu, karena jarak Hide cukup jauh, sekitar setengah meter. Ayu melihat nampan berisi makanan tidak jauh dari tempat Hide berbaring. Nasi kari yang sudah sangat amat dingin. Hide membawanya untuk makan malam, tapi tidak ingin membangunkan Ayu, dan akhirnya menunggu sampai tertidur. Ayu mengeluh dalam hati. Sulit untuk terus marah pada Hide, saat ia punya kebiasaan melakukan hal manis tanpa perlu berusaha. Kebiasaan Hide untuk memanjakannya memang sedikit diluar akal. Ayu bergeser dan berbaring miring menghadap ke arah Hide. Gerakan pelan, tapi Hide terbangun karena memang tidak mungkin ia akan tid
“Maaf, Anda tidak bisa masuk.”Penjaga yang ada di lobi langsung berdiri dan mencegah saat ada seorang wanita yang mendekati palang pintu masuk ke area kantor Shingi Fusaya. Wanita yang tampak kebingungan sementara mengelus perutnya yang telah besar. Kandungan berusia tua.Saat ini pukul sepuluh malam, seharusnya tidak ada pegawai yang masuk lagi. Kalaupun ada, kemungkinan mereka akan keluar dari kantor karena selesai bekerja lembur, bukan masuk.“Aku memang tidak bisa masuk karena dompet yang berisi name tag milikku tertinggal di dalam. Bisakah tolong kau mengambilnya? Aku juga meninggalkan kartu ATM di dompet itu, padahal aku harus mengambil uang sekarang juga.” Wanita itu mencengkram lengan petugas security yang menghampirinya dengan wajah memelas dan memohon.“Oh, tertinggal di mana?” Pe