“Ini yang terakhir?” tanya Ayu, sambil melangkah turun dari mobil, lalu memandang bangunan yang ada di depannya.
Bangunan besar yang berbentuk seperti gereja dengan menara dan desain ala Eropa berwarna kemerahan. Tapi Ayu tidak membaca nama gereja pada papan nama yang tertempel di gerbang. Papan nama itu bertuliskan Akarui Hizashi, yang kurang lebih berarti sinar matahari yang terang.
“Ya, kita masuk dulu.” Yui membuka gerbang besi dan masuk seakan tempat itu sudah sangat akrab.
Ayu mendapat jawaban apa fungsi dari bangunan itu setelah melihat apa yang ada di halaman bangunan yang luas itu. Anak-anak berlarian dan bermain menangkap dedauna yang sedang banyak berguguran. Ayu melihat sapu tergeletak di dekat kaki mereka, terlalu sibuk bermain dari pada mengerjakan tugasnya.
“Ini… pan
“Kau yakin tidak mengalami pusing atau mual?” Kyoko bertanya, saat ia melihat Ayu menyilang kedua gejala itu.“Tidak sama sekali.” Ayu menggeleng, lalu beralih ke pertanyaan berikut.Ayu sedang duduk di ranjang rumah sakit, mengisi kuesioner untuk mengerucutkan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya. Ia sudah menjalani pemeriksaan—CT scan dan lain-lain, seperti saat bersama Hayashi Sensei tadi. Tapi hasilnya negatif.Hayashi Sensei sudah mengkonfirmasi tidak ada penyakit tumor lagi yang tumbuh—untuk kedua kalinya. Jadi ia menyimpulkan ada sesuatu yang lain menimbulkan mimisan itu, hanya belum tahu apa.Karena itu Hayashi meminta Ayu menjawab pertanyaan yang dikirimkannya agar bisa lebih mengerti keadaan tubuh Ayu. Cara yang sedikit aneh, tapi perlu karena Hayashi masih ada di Tokyo, tidak
“Tapi itu bohong. Aku hanya mengaku hamil.” Ayu menyahut sambil menggeleng. Ia merasa dokter yang ada di depannya itu sedang menggoda karena kebohongan yang keterlaluan itu.“Bagaimana?” Rin tentu saja kebingungan dengan reaksi Ayu. Ia mengerti Ayu mungkin sulit percaya, tapi pengakuan itu tentu saja aneh. Ia tidak tahu Ayu pernah berpura-pura hamil.“Ya, dia tidak meminta mochi atau apapun.” Hide ikut bicara, menyuarakan ketidakpercayaan.“Apa?”Ayu dan Rin bertanya pada saat bersamaan, karena tanggapan Hide itu bahkan lebih aneh lagi.“Dia tidak mual atau apapun, dia tampak normal.” Hide masih bisa memperbaiki agar Ayu tidak bertanya tentang mochi lebih jauh.“Kehamilan tanpa mual sangat bisa terjadi. Kemungkinan Tanaka-san mengalami keha
“Kau akan pergi?” Ayu bertanya, karena melihat Hide masih mempertahankan kemejanya, meski jasnya telah terbuka. Ia belum akan tidur. Ayu sendiri malah sudah membuka selimut. Hari ini sangat melelahkan untuknya, terutama setelah harus menjalani perubahan emosi yang ekstrim dari ketakutan menjadi gembira.“Ya, aku harus bicara pada Ryu. Ada beberapa penyesuaian pekerjaan yang harus aku bahas dengannya.”Hide duduk di samping Ayu.“Apa aku perlu menemanimu tidur terlebih dulu? Aku akan menundanya.” Hide menawarkan karena melihat kekecewaan di matanya.Ayu berpikir sejenak, lalu mengangguk. Ia memang menginginkan itu.“Tapi apa kau yakin tidak masalah? Apapun yang kau bicarakan dengan Ryu itu, apakah bisa ditinggalkan?”Hide mengangguk. “Tentu saja bisa. J
“Ada apa dengan mereka?” Kyoko bertanya pada Ayu, sambil mengarahkan matanya pada Hide dan Ryu yang tidak saling bicara selama sarapan tadi.Kini setelah meja untuk sarapan telah menyingkir, juga masih sama Hide tidak bicara sepatah katapun pada Ryu—atau sebaliknya.Padahal biasanya, walau hanya sekedar bertanya tentang pekerjaan dan kegiatan yang akan dilakukan siang nanti, mereka pasti akan bicara. Tidak diam seperti itu. Ayu juga bisa melihat itu. Yui memang lebih banyak diam seperti biasa, tapi Hide dan Ryu tampak aneh.“Apa kalian bertengkar?” tanya Ayu, sambil meminum tehnya. Menatap Hide dan Ryu bergantian.“Ya.”“Tdak.”Hide yang menjawab iya, sedang Ryu menjawab tidak. Dua kalimat tidak kompak itu hanya semakin memperlihatkan ada sesuatu yang
Hide menatap sekitar, mencari dengan mata menyipit karena suasana sekitarnya remang-remang. Beberapa orang menatapnya—karena memang sosoknya menjulang lebih dari yang lain. Orang yang mengenalinya, langsung membungkuk. Sejenak berhenti bergoyang, mengabaikan musik menghentak yang terdengar.Klub tempatnya berada terletak tidak jauh dari rumah utama Kuryugumi, tentu ada beberapa orang yang mengenalinya. Tapi tentu Hide tidak membalas maupun peduli. Matanya hanya terfokus pada satu orang yang memang dicarinya.Orang yang saat ini tampak berdiri dikelilingi paling tidak tiga wanita yang tertawa riang sambil menyodorkan minuman padanya.“Sudah lama aku tidak melihatmu seperti ini,” kata Hide.“EII! Kau datang! Lihat!” Ryu berseru gembira sambil mengangkat gelasnya yang berisi minuman. Melihat warnanya
Ryu menarik leher Kyoko dan melumat bibirnya tanpa ragu, dan tentu saja amat bahagia, karena Kyoko tidak melawan sama sekali. Ryu terus menarik tubuhnya mendekat.“Lebih baik kau lepaskan tanganku, segera. Sebelum kau kehilangan hidung dan bibir.”Ryu langsung membuka mata saat itu juga, karena suara yang didengarnya berat—bukan suara Kyoko.Yang dilihatnya memang bukan Kyoko. Adalah Hide yang tengah berbaring di samping Ryu, menatapnya dengan jijik. Sementara lengan Hide berada dalam genggaman Ryu dan sedikit basah. Sudah sangat jelas benda apa yang menjadi korban mimpi dan bibir Ryu, lengan Hide.“WUAA!” Ryu berteriak dengan horor di wajahnya, sementara mendorong wajah Hide, sementara ia sendiri berguling menjauh.“Apa… Kenapa kau …”Ryu bangkit da
Suara nyanyian regu paduan suara yang ada di atas panggung, merdu menggema di ruangan luas yang ada di area yayasan milik Nakamura.Acara istimewa, untuk merayakan pensiunnya ketua yayasan. Hal yang pantas dirayakan, karena ia pensiun lebih cepat untuk menempati jabatan baru sebagai menteri pendidikan.Maka tidak satupun orang di panggung—maupun di ruangan itu berwajah muram. Semua ikut bergembira merayakan, karena apa yang diraih ketua yayasan itu adalah tingkat baru dari kesuksesan. Kaname Nakamura, berhasil membawa kejayaan keluarga Nakamura dan yayasan itu ke level yang lebih lanjut.Prestasi yang mendatangkan jutaan pujian, dan mencerahkan masa depan yayasan itu, terutama karena pengganti Kaname adalah Kaito yang digadang akan melebihi ayahnya, karena dianggap membawa pikiran lebih segar dalam bidang pendidikan, dan saat ini b
Hide menatap kertas yang ada di tangannya, menimbang apa yang harus dilakukannya dengan dokumen itu. Cukup lama, sampai ia terperanjat oleh Ryu yang menghambur masuk ke ruangannya.“Sudah keluar! Hasilnya sudah ada!” Ryu berseru sambil mengacungkan amplop berwarna putih.“Kau bisa mengirimkannya padaku. Untuk apa kau sampai kembali ke Osaka?” Hide heran.“Aku punya urusan, jadi sekalian. Cepat! Buka itu!” Ryu mengibaskan tangan, menunjuk amplop yang diserahkannya pada Hide.“Kau belum membukanya?” Hide meraih pisau pembuka amplop, dan merobek penutupnya yang masih tersegel. Ia mengira paling tidak Ryu sudah mengintip hasilnya.“Belum. Aku ingin melihatnya bersamamu. Cepatlah!” Ryu semakin tidak sabar.“Sudah aku katakan padamu, aku pasti be