“Boneka apa?” Ayu menghindar, dan itu langkah buruk.“Boneka kelinci yang ada di kamarmu. Aku yang membelinya untuk…”Macet. Hide masih tidak bisa membahasnya, dan Ayu juga langsung menyibukkan diri dengan mengunyah, tidak memandang Hide sama sekali. Pembahasan tentang kehilangan itu seperti gajah di dalam ruangan—ada dan terlihat jelas, tapi tidak untuk dibicarakan.“Tidak seharusnya boneka itu ada padamu.” Hide memutar dan hanya membahas hal yang ingin diketahuinya.“Aku membelinya sendiri. Itu bukan milikmu.” Ayu nekat.Ini karena ia tidak bisa menjelaskan proses perpindahan boneka itu. Terlalu salah. Ayu menilai apa yang dilakukannya hari itu terlalu salah, memeluk Hide seperti itu salah, karena perasaannya tidak lagi sama seperti saat mencari penghiburan saat kecil dulu. Saat itu dirinya terlalu lemah, dan ingin melupakannya sekarang.“Kau membelinya di mana?” tanya Hide, jelas akan mengejar sampai Ayu mengaku.“Shibuya.” Ayu menjawab secepat mungkin.“Kapan?”“Mmm… Sebulan lalu.
“Menurutku kau harus lapor polisi! Dan itu saja belum cukup. Bajingan itu pantas untuk di kebiri!” Kyoko tidak berusaha menyaring kalimat, dan tangannya memperagakan gerakan mematahkan sesuatu menjadi dua. Tidak perlu ditanya apa yang ingin dipatahkan oleh Kyoko, terutama setelah ia menyebut kata kebiri.“Rencanaku juga seperti itu, tapi aku malas jika sampai terjadi keributan besar,” kata Ayu, sambil menempelkan name tag ke pintu masuk, setelah mengantri beberapa lama.Hari Senin membuat antrian sedikit lebih panjang. Semua orang memilih jam yang sama untuk datang, yaitu lima menit sebelum jam kerja dimulai.“Tapi jijik sekali jika sampai dia masih berada di kantor ini bersamamu. Entah apa lagi yang dilakukan padamu nanti,” kata Kyoko, sambil bergidik.Ayu menghela nafas. Tentu saja sangat setuju dengan pendapat itu. Ayu tidak tahu bagaimana harus menghadapi pertemuannya dengan Endo setelah ini. Ayu bahkan tidak yakin bisa tahan bertemu dengannya. Membayangkan pertemuan dengan Endo s
“Kouki Endo? Tunggu!”Polisi yang mencatat laporan Ayu, mengernyit dan menatap tulisan tangannya sendiri. Ayu tentu juga ikut bingung.“Aku seperti pernah mendengar nama ini, tapi lupa dimana. Maaf, sebentar.”Ayu mengangguk, menatap bagaimana polisi itu membuka berkas-berkasnya.Ayu berpaling menatap Kyoko, yang tentu juga hanya bisa mengangkat bahu tidak mengerti. Ayu kemarin berencana untuk melaporkan Endo sendiri ke HRD, tapi untuk polisi Ayu meminta Kyoko menemaninya. Meski kantor polisi, tempat ini tetap asing untuknya. Kini baru separuh jalan melaporkan, ternyata ada keanehan lain"Apa yang kau laporkan Kouki Endo yang tercatat bekerja di sini Shingi Fusaya? Perusahaan properti." Polisi itu akhirnya mengambil satu berkas, dan membaca data di sana.Ayu menggaangguk."Ha… ha…" Polisi itu tiba-tiba tersenyum, dan mengangguk-anggukkan kepalanya."Ada apa?" tanya Ayu.Polisi itu tampak puas dan mengerti tentang sesuatu, sementara Ayu tidak mengerti sedikitpun."Rupanya dia takut." P
Ryu mondar-mandir di depan ruang UGD, sementara tangannya terus saling meremas. Hide sudah masuk ke ruang UGD sejak satu jam lalu, dan sampai sekarang tidak ada kabar apapun yang datang padanya.“Ini.” Inoue yang datang sepuluh menit lalu, menyerahkan ponsel kepada Ryu.“Siapa namanya?” tanya Ryu.“Yato Maeda,” kata Inoue.“Maeda-san?” Ryu menempelkan ponsel ke telinga.“Kau siapa? Kenapa menghubungiku malam begini?”Terdengar jawaban sedikit kasar. Saat ini pukul sepuluh. Terpaksa menerima panggilan dari orang yang tidak dikenal tentu menyebalkan.“Ryusuke Sato. Kuryugumi.”“Siapa… Oh?” Terdengar keributan di seberang dan Ryu mendecak dengan tidak sabar. Tidak tersisa kesabaran dalam tubuh Ryu saat ini.“Sato-san, maaf tidak mengenali Anda. Apa yang bisa saya bantu?” Maeda memperbaiki kalimatnya menjadi sangat sopan.“Ada kejadian, dan saat ini Sandaime sedang berada di ruang UGD Saiseikai. Milikmu.”“Oh, astaga! Sandaime… Apa…”“Diam!” Ryu tidak ingin melayani seruan kepanikan saat
“Apa kau baru saja mengatakan apa yang terjadi pada Ayumi?!”Ryu mendesis dan melotot, saat mendengar bagaimana Inoue mengakhiri panggilan dengan menyebut nama rumah sakit tempat mereka berada.“I..iya..” Inoue tergagap. Ia memutuskan sendiri tadi. Dia patuh, tapi perintah Ryu bebannya tidak seberat perintah Hide.“Kau gila! Bagaimana kau akan menjelaskan kepadanya apa yang terjadi?! Kau akan jujur mengatakan semuanya? Kau ingin mati di tangan Hide?” Ryu mengingatkan Inoue tentang apa yang akan terjadi jika sampai keputusan yang menyangkut Ayu ternyata salah. Ayu terlalu berbahaya untuk disentuh tanpa izin Hide.“Tapi… dia harus tahu keadaan Sandaime. Mereka tadi mengatakan bersiap untuk keadaan terburuk. Ayu-san adalah…”“DIAM! Dia akan hidup! Jangan mengatakan seolah Hide akan mati!” bentak Ryu.Dia jarang terdengar maupun terlihat marah, tapi keadaan ini mendorongnya sampai ke titik dimana ia merasa putus asa.Ryu kembali harus mengusap wajah, menenangkan diri. Ia bisa memahami das
Ryu memandang kaki langit yang menampakan fajar musim semi dengan muram. Pemandangan itu, tentu tidak mampu menghiburnya. Terutama setelah ia hampir tidak tidur semalaman. Lelah dan penat.Ryu sibuk membuat alasan yang menyebut Hide akan berada di luar negeri selama beberapa saat, untuk memundurkan seluruh jadwal—termasuk sopir yang ditunjuk olehnya, agar tidak membuat Masaki curiga. Menyembunyikan sesuatu dari pria tua berinsting tajam tidaklah mudah.Dan tujuannya untuk mencari udara segar di atap rumah sakit untuk membantu menyegarkan dan menenangkan pikirannya telah gagal. Kepalanya tetap berisi kegelisahan.“Bagaimana keadaannya?” tanya Ryu, berbalik saat mendengar langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Ia memanggil Inoue tadi.“Lebih stabil, sudah tidak lagi ada dalam masa kritis, tapi masih tetap harus menunggu perkembangan sampai sadar. Asalkan sadar maka Sandaime akan baik-baik saja setelahnya.” Inoue mengulang semua yang didengarnya dari dokter tentang keadaan terakhir
Ayu meragukan keterangan Inoue karena dia tahu angka kejahatan di Jepang dengan menggunakan senjata api sangat rendah. Saat ini hampir mustahil bagi orang untuk memiliki pistol—dan teman-temannya, di negara ini. Saat Inoue menyebut perampokan dengan senjata api, Ayu langsung skeptis. “Perampokan? Bagaimana bisa?” Ayu menurunkan sumpitnya. Ingin penjelasan lebih mendetail. “Maaf, tapi saya sendiri juga tidak begitu jelas. Saya tidak sedang bersama Tanaka-san saat kejadian. Saya hanya mendengar penjelasan dari orang lain.” Inoue menghindar dengan mulus. Dia kini tidak perlu menjawab pertanyaan apapun yang berkenaan dengan kejadian itu. Cukup dengan mengatakan tidak tahu. “Oh… begitu rupanya.” Ayu tentu kecewa, tapi memang tidak bisa memaksakan Inoue bicara jika alasannya tidak tahu. “Lalu bagaimana kelanjutannya? Apa sudah dilaporkan pada polisi? Siapa yang melaporkannya? Bagaimana dengan saksi? Siapa tersangkanya? Katakan padaku!” Ayu mungkin tidak lagi bertanya tentang kejadian it
“Apa aku harus memberinya cuti tanpa batasan hari?” Ryu bergumam, saat melihat Ayu tertidur di sofa yang ada di kamar Hide. Hari ini batas akhir cuti Ayu, besok dia harus kembali masuk. “Akan mencurigakan,” bisik Inoue. Berhati-hati agar Ayu tidak terbangun. Tentu ia akan melihat Ryu jika bangun nanti. Dan itu yang sedang berusaha mereka cegah dengan datang tengah malam saat Ayu tertidur. “Ya, tapi aku tidak tega juga.” Melihat Ayu yang terus berada di samping Hide, membuat Ryu berniat untuk membantu. Tapi sulit juga memberi bantuan tanpa terlihat aneh. Masa cuti Ayu tidak boleh lebih dari yang lain, atau Ayu sendiri juga akan curiga. “Ayu-san mengatakan ia akan datang saat malam.” Inoue menyebut rencana Ayu yang diucapkannya tadi sore saat dirinya datang. “Hmm… Kalau begitu aku akan memastikan tidak ada target tambahan untuk Mori dan yang lain.” Ryu hanya akan memastikan mereka tidak perlu lembur. “Dan sampai kapan keadaan ini harus berlangsung? Lebih baik kau segera bangun!” R