Tapi Kaito malah mendecak—semakin marah. “Aku sudah mengatakan padamu tadi, Aku ingin memperbaiki pernikahan kita. Aku ingin kita tetap bersama. Tidak ini alasan yang cukup?” Kaito mulai membentak. “Dan kenapa kau tidak langsung setuju dan gembira? Seharusnya kau gembira kita bisa bersama lagi. Aku sudah bersedia mengorbankan kekayaan dan nama untukmu!” Ayu meremas mantelnya semakin kencang, kali ini karena menyesal. Menyesal telah meminta mereka berdua untuk keluar dari rumah Nakamura, karena malah membuat Kaito menganggap permintaan itu sebagai beban, bukan jalan keluar. Saat Kaito menyebut pengorbanan, Ayu jelas saja marah. “Kenapa kau malah sekarang mempertanyakan apapun keputusanku untuk bersamamu? Jangan katakan jika ini semua adalah alasan saja, lalu yang sebenarnya kau benar-benar sudah gila, dan mencintai pamanmu itu,” tuduh Kaito. “KAITO-KUN!” Ayu berseru marah dan berdiri. Mengabaikan kepalanya yang berdenyut, Ayu bersandar pada adrenalin dan memandang Kaito tajam. “K
Ayu membuka mata dan langsung tersentak bangun. Teringat sesuatu yang penting. Malam kemarin, Ayu masuk dalam keadaan letih luar biasa—karena keadaan kepalanya, dan makan secepat mungkin.Ramen buatan Hide lezat dan hangat, Ayu menghabiskan semuanya. Lalu setelah itu Ayu tidur. Tidur dengan amat nyenyak tanpa mimpi sedikitpun, dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Ayu masih malas dan memutuskan untuk berpikir sambil memejamkan mata, karena alarmnya belum berbunyi. Dan saat itulah kesadaran menghampiri Ayu. Satu pikiran yang kemarin dia lupakan. Hanko dan juga surat perceraian.Ayu menyibak selimut, meninggalkan futon-nya tergelar di lantai, berjalan menyusuri lorong rumah. Saat ini masih sangat pagi, karena suasana masih belum terlalu terang saat melewati taman di bagian tengah. Tapi Ayu tidak peduli. Kemarahan yang tadi malam tidak sanggup muncul karena sakit kepalanya, kini mendidih.“OJI-SAN!”Ayu menggeser pintu shoji kamar Hide sampai membuka dengan kasar, dan saat itu juga ke
Ayu merasa jengah. Sangat jengah, karena dokter kandungan yang mereka kunjungi ternyata cukup sibuk. Ayu tidak keberatan mengantri, tapi saat harus mengantri bersama ibu hamil yang lain, Ayu menjadi sangat canggung. Dalam keadaan menunggu, tentu akan ada obrolan ringan tentang berapa usia kehamilan, anak ke berapa, nama anak, dan juga berapa lama telah menikah. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin dijawab oleh Ayu, karena dia tidak mengharapkan anak yang saat ini dikandungnya untuk ada. Ayu tidak pernah berpikir untuk memberi nama julukan kepada anaknya, dan sedikit tidak peduli berapa usia kehamilannya. Dan yang jelas Ayu tidak akan bisa menjawab berapa usia pernikahannya dengan Hide karena mereka tidak menikah. Nama Ayu yang sudah kembali menjadi Tanaka mengaburkan kenyataan itu. Dengan otomatis mereka dianggap sebagai suami istri. Untungnya Hide sangat ahli untuk menebar aura gelap di sekitar tubuhnya. Jadi setelah beberapa jawaban singkat dan dingin—yang tentu berupa kebohonga
“Aku ingin bersyukur untuk itu, karena mungkin itu yang terbaik.” Hayashi mengusap wajahnya terlihat lebih lega, tapi tidak dengan Hide.“Saya… beberapa hari lalu mencoba mengingatkan Ayu tentang itu.” Hide mengucapkannya dengan sangat perlahan, karena tahu apa yang diperbuatnya adalah salah. Terdengar Hayashi mendesis.“Itu sangat ceroboh, Tanaka-san. Aku bukan ahli jiwa tapi kau tidak boleh mengusik ketenangan itu. Kau juga ikut bersusah payah memberi ingatan baru padanya. Jangan merusaknya.”Hide mengangkat kepalanya. “Tidak bisakah, Anda…”“Kau tahu itu tidak mungkin. Aku dokter, bukan pembawa keajaiban. Aku mengambil tumor dalam kepala Ayu, dan itu saja. Segala ingatan kacau dan lainnya, adalah efek samping dari trauma, Tanaka-san. Itu bukan lagi keahlianku. Kau harus bicara pada psikiater, bukan aku.” Hayashi kembali terlihat menyesal.“Apa kau sudah menemui psikiaternya?” tanya Hayashi.Jawabannya adalah belum, dan Hide memilih untuk tidak menjawabnya. tapi Hayashi tahu apa mak
“Tidak mengherankan.” Hide kini mengerti kenapa tiba-tiba Kaito mengirimkan surat perceraian itu.Dia membutuhkan status perceraian untuk mengesahkan pernikahannya dengan Karin. Dan jelas pria sampah itu tidak mengatakan apapun pada Ayu tentang pernikahan, karena tidak mungkin Ayu akan bersikap biasa saja saat tahu.Dan akan lebih baik jika terus seperti itu. Jika sampai sedikit saja Kaito mengatakan tentang pernikahannya dengan Karin, Hide akan mempertimbangkan untuk merobek bibirnya. Ayu tidak mungkin bisa menerimanya dengan mudah. Dikhianati dua orang sekaligus adalah amat sangat buruk.“Tapi untuk apa dia menemui Ayu?” Hide kembali bergumam. Tidak mengerti kenapa Kaito merasa perlu menemui Ayu jumat kemarin. Seharusnya dia bergelut saja dengan ular betina mata duitan itu.Tapi kemudian Hide menggelengkan kepala, tidak peduli dan tidak ingin berpikir tentang masalah yang memusingkan lainnya.Bukan urusannya jika pria bernyali tak lebih besar dari debu itu ingin bergaul dengan bunga
“Eh…” Ayu melepaskan tangan Hide, sambil mengutuk dalam hati. Itu tadi tidak sengaja.“Ada apa?” Hide tentu saja juga kebingungan, sama seperti Ayu yang tidak menyangka tangannya akan lancang.Ayu memang ingin melarang Hide berangkat tapi seharusnya tidak sampai seperti itu. Ayu ingin Hide menunda keberangkatan, karena tidak ingin semua makanan yang telah disiapkannya menjadi percuma. Segala kerja kerasnya menyiapkan acara di ruang tengah tidak akan berguna jika Hide berangkat begitu saja.“Hmmm…” Ayu hanya bergumam ragu, sambil menyelipkan rambutnya di belakang telinga.“Ada apa denganmu?” Hide tentu saja paham jika Ayu sedang menyimpan sesuatu karena kegelisahan itu.Tapi kemudian Ayu menggeleng. “Aku… aku hanya ingin tahu kapan kau akan kembali.” Ayu berusaha terdengar senormal.“Mungkin dua atau tiga hari lagi. Itu saja yang ingin kau ketahui?” Hide merasa jika tidak seharusnya Ayu gelisah jika hanya ingin tahu tentang itu.Ayu mengangguk, lalu dengan canggung mengundurkan langkahn
Hide turun setelah orang yang sedari tadi berdiri di depan pintu masuk, berlari dan membuka pintu mobil untuknya. Hide bisa membuka pintu sendiri, tapi memilih menunggu karena masalah kepantasan. Hide melepaskan kacamata hitam dan mengancingkan jas agar penampilannya lebih rapi, lalu berjalan masuk. “Tanaka-sama*.” Ada orang yang menyambutnya, membungkuk. “Anda sendirian?” tanyanya dengan heran, karena melihat tidak ada siapapun di belakang Hide. “Inoue tidak akan datang, dan Sato akan datang nanti,” kata Hide. Pria yang menyambutnya tersenyum paham. “Silakan,” katanya. Sambil mengantar Hide ke arah lift. Pertemuan yang akan dihadirinya mengambil tempat di ruang konferensi yang ada di lantai atas gedung itu. Jika bisa, Hide ingin sekali mewakilkan pertemuan ini, tapi sayang yang kehadirannya diwajibkan. Paling tidak untuk memastikan dirinya masih hidup. Dan memang masalah yang akan dibahas hari ini memang cukup penting. Hide tidak peduli sebenarnya, tapi ini adalah kewajibanny
“Lalu kenapa? Semua wanita biasa menderita di rumah mertua, tapi tidak semuanya meminta berpisah!” Masaki mendesis.“Dia menerima penghinaan dan perlakuan buruk! Dan keluarga itu tidak pantas untuk mendapatkan apapun. Kita tidak membutuhkan mereka!” Hide masih membalas.“Jangan menjadi cepat bodoh seperti itu! Nakamura mungkin saat ini tidak punya koneksi politik, tapi kau tahu sendiri namanya sudah beberapa kali muncul sebagai kandidat menteri dari Ichizoku* lain. Cepat atau lambat nama mereka akan muncul.”“Aku tidak akan pernah mendukung mereka!” Hide menyahut kasar, sebelum bisa menahan diri. Mendengar ayahnya mempertimbangkan untuk mendukung seseorang yang berasal dari keluarga setan itu, Hide tidak mungkin menyetujuinya.BRAK!Masaki membanting sumpit sekaligus memukul meja.“Berani sekali kau! Aku masih hidup, dan kau sudah berani bermimpi untuk memutuskan? Masih aku yang menentukan keputusan itu.”“Tidak seperti itu, maafkan saya.” Hide langsung kembali membungkuk, mengakui ke