Share

Bab 6: Mencemaskan Keyra

“Kemana mereka membawanya, Pak ?”

“Rumah sakit terdekat yang berada 100 meter dari kampus.”

Tanpa berpikir panjang, Afnan segera berjalan ke tempat parkir dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, jantungnya berdetak cepat dan terus merapalkan doa-doa, ia begitu khawatir dengan keadaan Keyra.

“Ya Allah, semoga Keyra baik-baik saja,” gumamnya. Sambil fokus menyetir.

Afnan terus berdoa dan berzikir selama perjalanan, terlihat dengan jelas pria berwajah tampan itu sangat cemas.

Sesampainya di rumah sakit, ia segera menuju loby dan menanyakan keberadaan pasien korban kecelakaan.

“Oh pasien korban kecelakaan di depan kampus, ada di ruang IGD.”

Segera Afnan menuju ruang IGD, sampai disana terlihat dokter sangat serius, ”Siapa keluarga pasien?”

“Saya, Pak,” balas Afnan dengan cemas.

“Tanda tangani berkas ini, operasi harus segera dilaksanakan, setelah itu kebagian Administrasi!” pinta dokter.

Tanpa berpikir panjang, Afnan menandatangani berkas, karena situasi darurat.

Lalu Afnan, pergi ke bagian Administrasi dan menyelesaikan pembayaran rumah sakit.

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berjalan tergopoh-gopoh.

“Dimana anak saya di rawat, pihak kampus memberitahukan, jika anak saya kecelakaan?” tanya seorang wanita sambil terisak menahan tangis.

Afnan mengeryitkan dahinya. ”Jadi yang kecelakaan anak ibu? Bukan Keyra?”

“Iya anak saya,” jawabnya.

“Oh..saya kira istri saya yang kecelakaan, sekarang anak ibu ada di ruang operasi, maaf saya telah menandatangani berkas operasi, karena untuk keselamatan pasien harus dilakukan dangan segera.”

“Terima kasih atas bantuanmu anak muda, aku akan mengganti biaya yang telah kamu keluarkan.”

“Tidak perlu, ibu tidak usah menggantinya. kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Afnan.

Afnan menarik napas lega, setidaknya dugaannya salah, tapi ia juga menertawai dirinya sendiri, kenapa ia begitu cemas dan mengkhawatirkan Keyra seperti orang yang kehilangan akal, tanpa mengecek kebenarannya. Setibanya di halaman parkir kampus, Afnan mencari keberadaan Keyra, dan yang di cemaskannya pun terlihat sedang berdiri di area taman kampus.

“Alhamdulillah Key, kamu tidak apa-apa,” ucap Afnan seraya meraih bahu Keyra. Hampir saja Afnan memeluknya, tapi ia sadar, kini beberapa pasang mata memperhatikannya, di antara mereka berbisik-bisik.

“Ustadz Afnan, apa hubungan anda dengan mahasiswa baru itu, bukankah dilarang menyentuh wanita yang bukan mahromnya?” tanya seorang mahasiswa dengan geram.

“Gadis ini namanya Keyra Aninda Dinata, dia istri saya,” jawab Afnan dengan tegas sambil meraih tangan Keyra dan menggenggamnya erat.

“Wah, para mahasiswi banyak yang patah hati dong,” celoteh seorang pemuda, di ikuti tawa pemuda lainnya.

Afnan menarik tangan Keyra dan membawanya ke area parkir kampus, lalu masuk ke dalam mobil.

“Ihh jangan tarik–tarik dong, Kak,” gerutu Keyra sambil berusaha melepas tangan Afnan.

“Masuklah, kita bicara di dalam mobil.”

“Ada apa sih, Kak?”

“Kamu Key, sudah bikin aku cemas, masih merasa tidak bersalah,” keluh Afnan

“Kenapa harus cemas, memangnya kenapa?”

“Aku kira kamu yang mengalami kecelakaan di depan kampus, jadi aku pergi ke rumah sakit.”

“Ha...ha...jadi Kak Afnan pergi ke rumah sakit, gara-gara mencemaskan aku?”

“Kok malah ketawa sih Key!” suara Afnan sedikit meninggi dan menatap tajam Keyra. ”Aku kira kamu marah, kenapa berlari kencang waktu aku berbicara, kamu marah ‘kan?” cerca Afnan

“Aku berlari kencang keluar auditorium, itu karena aku sudah kebelet, Kak. Aku menahannya dari waktu kakak memberi ceramah,” keluh Keyra sambil tersenyum.

“Astagfirulllah, Key...”

***

Di vila sudah tampak ramai, hari menjelang sore. Acara syukuran segera akan di mulai. Di dalam kamar Keyra terlihat manyun, ia menatap baju gamis warna putih gading yang diberikan Afnan padanya, dipantaskannya baju itu di tubuhnya.

“Kamu harus memakainya, karena ini acara pengajian, dan banyak anak-anak pondok pesantren yang hadir,” suruh Afnan yang berdiri di belakang Keyra, terlihat pantulan wajah suaminya yang sudah mengenakan baju koko warna senada dengan gamis yang masih di pegang Keyra.

“Baik, aku akan memakainya. Keluar sana, aku mau ganti baju!” perintah Keyra.

Tanpa menjawab, Afnan melangkah keluar kamar. Lalu Keyra pun mulai mengganti bajunya dengan gamis, serta kerudung warna yang sama. Ia melihat pantulan wajahnya di cermin, dipolesnya bedak tipis di wajahnya dan lipstik warna pink lembut di bibirnya, riasan yang natural, tapi tetap membuat Keyra terlihat sangat cantik.

Tok!..tok!... terdengar pintu di ketuk pelan, Keyra menuju pintu membuka pintu kamarnya.

“Papi,” seru Keyra sambil memeluk Pak Praja yang berdiri di ambang pintu dengan senyum semringah.

“Kamu cantik sekali Key,” puji sang ayah kepada putrinya yang kali ini berpenampilan berbeda dari biasanya.

“Terpaksa Pi, aku pakai baju seperti ini, Kak Afnan yang menyuruh,” gerutu Keyra seraya menggandeng Papinya dan mengajaknya ke dalam kamar.

Kini keduanya duduk di sofa.

“Mula-mula terpaksa, tapi suatu saat kamu akan sadar, bahwa cara berpakaian seperti inilah yang benar.”

“Cukup Pi, aku sudah banyak mendengar ceramah dari kak Afnan, jangan di tambah lagi,” keluh Keyra.

”Sekarang kita bahas tentang tanah 1000 meter yang Papi hibahkan pada Kak Afnan.”

Praja hanya tersenyum, wajah rentanya masih terlihat tenang, ketika Keyra mencercanya. ”Bukan pada Afnan, tapi pada pondok pesantren Amanah,” jelas Praja.

“Sama saja Papi,” protes Keyra, wajah gadis belia itu tampak kesal.

“Tidak sama. Lagi pula Afnan juga tidak membutuhkan tanah 1000 meter, dia sudah punya perkebunan seluas ini. dan jangan cemaskan soal tanah, masih ada 4000 meter itu untukmu.”

“Heummm,” desah pelan Keyra.

“Hayo, ke bawah, acara akan segera di mulai,” ajak Praja.

Keduanya melangkah turun ke lantai bawah. Mata Keyra tertuju pada Lathisa yang mengenakan gamis dengan warna putih gading model hampir sama denganya.

“Bagaimana Key, kamu suka dengan gamis yang aku pilihkan untukmu, aku sengaja memilih warna yang sama untuk kita bertiga, baguskan,” celoteh Lathisa.

“Hemmm bagus sih, tapi aku kurang suka dengan warna putih gading , lain kali, jangan pilihkan aku baju, kamu pilih bajumu sendiri,” balas Keyra.

“Maaf key...” Lathisa merasa tidak enak dengan nada bicara Keyra yang ketus. Para tamu sudah berdatangan, kebanyakan dari mereka yang datang adalah anak-anak usia sekolah. Para santriawan dan santriwati mulai melantunkan ayat suci dan bersholawat. Doa dipanjatkan untuk pernikahan Afnan dan Keyra. Sekitar dua jam acara sudah selasai, dilanjutkan shalat magrib berjamaah. Lalu dilanjutkan makan malam.

“Keyra , Afnan,” panggil Praja pada putri dan menantunya.

“Iya Papi,” jawab Keyra seraya mendekat Papinya diikuti Afnan.

“Papi juga ingin mengadakan pesta resepsi pernikahan untuk kalian, bagaimana, kalian setuju ‘kan?”

“Tidak Pi, aku tidak mau ada pesta resepsi, iya ‘kan Kak Afnan, kamu tidak menyukai pesta resepsi yang meriah ‘kan?” ucap Keyra menatap lekat Afnan.

“Iya Pak Praja, acara syukuran ini saya rasa sudah cukup,” balas Afnan.

“Baiklah, aku hanya mengikuti kemauan kalian, jadi uang yang sudah aku siapkan untuk pesta, aku sumbangkan ke Yayasan Panti Asuhan Amanah milikmu Afnan.”

“Apa! Kak Afnan punya Yayasan Panti Asuhan juga?”

“Iya, kamu belum cerita pada Keyra, Afnan,” Praja menjawab pertanyaan Keyra sekaligus bertanya pada Afnan.

Afnan hanya tersenyum, sedangkan Keyra sekali lagi dibuat terkejut, ternyata suaminya bukan pria biasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status