Aku langsung mendongak karena tak mengenali sepatu itu. Lalu Kulihat sesosok pria yang tadi kutemui sedang berdiri menatapku.
Aku langsung bangkit dan berdiri. Mengusap air mata dengan menekuk jari telunjuk. Menyelipkan rambutku ke belakang telinga yang kurasa tadi sedikit acak-acakan. Bima tak boleh melihat keadaanku yang kacau seperti ini.
"Sedang apa kau di sini?" Aku balik bertanya.
"Pulang. Itu mobilku." Dia menunjuk dengan dagu ke samping mobil yang kami bawa tadi.
Aku hanya ber oh ria saja. Tak ingin bertanya lebih jauh.
"Kau sendiri? Kenapa menangis?"
"Aku? Siapa yang menangis? Aku baik-baik saja." Aku berdusta agar dia tak bertanya lagi.
Dia menatapku heran. Raut wajahnya jelas tak percaya pada pengakuanku.
"Kenapa sendirian? Mana suamimu?"
"Oh, itu... dia...."
"Aku di sini. Ada perlu apa mencariku?" Suara bariton itu tiba-tiba muncul dari balik punggungnya.
Aku langsung menekuk wajah begitu melihatnya. Meski di depan orang lain aku baik-baik saja, tetap saja tak bisa kusembunyikan rasa sakit ini begitu berhadapan langsung dengannya.
"Oh, maaf. Aku Bima. Teman SMP Dwi." Bima mengulurkan tangannya pada suamiku.
"Haikal. Suami Dwi." Mereka kini sedang berjabat tangan. Saling menggenggam dan menatap satu sama lain.
"Aku mau pulang!" Aku langsung menyela acara perkenalan mereka. Tak mau sampai orang lain terlibat jauh tentang masalah yang baru saja aku alami.
Sejurus kemudian suamiku menekan tombol pada kunci mobil, aku langsung masuk tanpa berpamitan pada Bima.
*
"Kau kenapa lagi?" Bang Haikal bertanya begitu sampai di rumah.
Tak sepatah kata pun yang kuucapkan di sepanjang perjalanan. Dia menahan tanganku saat hendak membuka pintu kamar.
"Abang yang kenapa? Kemarin Abang bilang tidak sengaja bertemu dengannya. Apa sekarang juga begitu?" Aku mengungkapkan perasaan tanpa basa-basi.
"Apa maksudmu? Atau kau...." Dia terlihat memikirkan sesuatu. "Kau juga melihat Kania di sana?"
"Lihatlah. Abang bahkan tidak sadar kalau aku berdiri di samping Abang karena terlalu fokus menatap wajahnya." Lagi-lagi aku tak bisa menahan tangis.
Dia terkejut mendengar ucapanku. Kemudian mengusap kasar rambutnya seperti sedang frustasi.
"Jadi itu bukan khayalan? Kau benar-benar melihatnya?" Kata-kata itu terdengar begitu menyakitkan.
Sebuah khayalan, katanya? Benar saja. Selama ini suamiku benar-benar tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Dan itu membuatku hatiku semakin hancur.
"Abang janjian dengannya? Abang sengaja menyuruh dia datang agar kalian bisa bertemu, kan?" Aku menuding tanpa berpikir lagi.
"Kau bicara apa? Sudah kubilang aku tak pernah lagi berhubungan dengannya sejak pernikahan kita. Kenapa kau masih tak percaya?"
"Abang masih mau bilang kalau pertemuan itu juga tak sengaja? Abang berselingkuh, kan?"
"Jangan bicara sembarangan, Dwi! Kau pikir aku laki-laki macam apa?"
"Lalu kenapa bisa ada Kania di sana?"
"Kenapa tanya padaku? Temanmu yang mengadakan pesta. Kenapa tak kau tanyakan saja padanya?!"
Aku terdiam.
Dea? Apa sahabatku itu sengaja mengundang Kania agar bertemu dengan suamiku? Untuk apa? Tidak mungkin dia melakukan hal yang jelas-jelas bisa melukai perasaanku.
Apa dia mulai mengkhianatiku? Tapi kenapa? Apa salahku?
"Masuklah ke kamar. Kau terlihat kacau." Dia berbalik menuju ke ruang tamu.
"Abang mau kemana?" tanyaku heran. Kenapa dia tak ikut masuk ke kamarnya.
"Mengembalikan mobil."
Mengembalikan mobil? Kenapa tadi tak sekalian singgah saja? Kenapa harus mengantarku dulu pulang ke rumah. Atau jangan-jangan itu hanya alasan saja agar bisa bertemu dengan Kania? Apa setelah aku berlari ke parkiran tadi, dia sempat mengobrol dan berjanji akan bertemu? Lalu kata khayalan tadi hanya sebuah sandiwara?
"Kenapa? Curiga lagi? Ganti bajumu, ikut denganku."Aku menatap wajahnya. Lalu memandang dress selutut yang aku kenakan saat ini. Ada apa dengan gaun ini? Kenapa dia menyuruhku untuk menggantinya. Jika terlalu pendek, kenapa tadi dia membiarkanku bertemu teman-temanku? Lagipula baju ini sudah pernah aku pakai ke rumah orang tuaku. Bang Eka pun sama sekali tak keberatan. Kenapa malah tak mau aku memakainya malam ini."Pulangnya naik motor. Kau pasti merasa tidak nyaman. Itu kan alasanmu menyuruh pak Ali datang?" Ucapannya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.Aku sedikit bernapas lega. Sepertinya dia begitu mengerti apa saja yang ada di dalam pikiranku.*Aku dan bang Haikal pamit usai mengambil motor yang dibawa oleh pak Ali sore tadi. Ayah menyuruh kami menginap, namun bang Haikal menolak. Kami hanya akan menginap saat akhir pekan saja. Agar dia tak perlu buru-buru bangun untuk berangkat ke kantor lebih cepat."Kau masih marah?" Dia bertanya saat berhenti di lampu merah. Aku yan
Dahinya mengernyit mendengar nama itu. Alis tipisnya bahkan terlihat hampir menyatu."Kania? Kenapa tiba-tiba kau membicarakannya?" Wajahnya tampak bingung. Entah itu sungguhan atau hanya sekedar sandiwara. Aku memundurkan punggung ke sandaran kursi sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Mencoba mengintimidasi dengan menatap tajam ke arahnya. Bersikap seolah aku sudah tahu semua perbuatannya."Pestamu. Kenapa mengundangnya? Kau jelas tahu kalau aku begitu cemburu dan membenci wanita itu.""Kau salah paham, Dwi. Aku tak pernah mengundangnya. Aku juga tak tahu kalau dia hadir malam tadi. Kau lihat sendiri aku begitu sibuk dengan teman-teman kampusku, bukan?""Jadi kenapa dia bisa berada di sana? Dia bahkan menatap suamiku. Dia berusaha menggodanya, De." Aku mulai tersulut emosi. Membayangkan bagaimana mereka saling memandang penuh cinta."Aku benar-benar tidak tahu," ucapnya lirih, seperti ikut merasakan kesakitanku.Aku mengalihkan pandangan. Mataku perih menahan air yang kini suda
Aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Hari ini aku bermaksud membuat kejutan dengan mengantarkan nasi dan lauk pauk yang aku buat ke kantor bang Haikal. Hari ini aku bangun kesiangan karena tidak salat subuh. Hanya sempat mendadar telur saja untuk sarapan suamiku. Biasanya jika seperti itu dia akan makan siang di luar saja. Ini sudah tanggal tua. Dia pasti kehabisan uang untuk melakukan itu. Aku takut dia hanya akan makan pop mie di pantry saja karena merasa segan meminta uang padaku.Padahal aku tak pernah menuntut semua gaji yang dia hasilkan. Gaji yang masih secara manual dimasukkan ke dalam amplop dia serahkan padaku. Dia hanya meminta sebagian untuk uang bensin dan juga pegangan selama di perjalanan.Aku bilang tak butuh itu. Uang saku dari ayah dan juga bang Eka berkali-kali lipat dari gajinya saat ini. Namun lagi-lagi dia tersinggung."Memang seperti inilah berumah tangga. Istri harus mampu mengelola penghasilan suami meski tak seberapa. Kalau kau masih belum paham, kenapa
Hati ini begitu hancur. Mati-matian aku berusaha bertahan untuk merebut perhatiannya. Bahkan membatalkan permintaan cerai karena suamiku juga tak mau aku menyandang status janda di usia muda.Lalu ini apa? Dia lebih memilih menanggung dosa perselingkuhan dibanding menceraikan aku yang sudah jelas-jelas ingin membebaskannya.Aku tak mau lagi. Aku menyerah dan ingin segera membebaskan rasa sakit ini.Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Aku yang tengah bersembunyi di balik sebuah mobil tak mau menghiraukan dan memilih mengabaikannya. Aku mundur perlahan untuk segera pulang. Sampai akhirnya punggungku menabrak tubuh seseorang."Kau di sini rupanya." Bang Haikal menegur, masih dengan ponsel yang menempel di telinga.Aku langsung mengusap air mata dengan kasar. Namun dadaku masih naik turun karena menahan sesak. "Kau kenapa? Apa seseorang menganggumu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku tak peduli dan enggan menjawab.Bukankah harusnya dia berpikir bahwa aku menangis karena perbuatannya. Belum
"Aku benar-benar tidak tahu kalau Kania ada di sini. Sudah berapa kali aku bilang, aku tak pernah lagi berhubungan dengannya." Pria itu menatapku dengan teduh. "Berhenti cemburu pada Kania, Dwi. Sebesar apa pun perasaanku padanya, aku tetaplah suamimu. Kau yang paling berhak atas diriku. Sudah?" Dia mencoba meyakinkanku.Bibirku bergetar menahan tangis. Rasa cinta ini selalu bisa meluluhkan hati begitu mendengar kata-katanya yang begitu manis. Kenapa rasa sayangnya padaku sebagai adik tak bisa berubah layaknya pada kekasih. Tak bisakah dia melihat sisi lain diriku yang sudah mencoba bersikap sesuai keinginannya?"Kau sedang datang bulan. Pasti jadi lebih sensitif. Makanya marah-marah terus. Pulang dan istirahatlah!" Dia mengacak-acak rambutku seperti anak kecil, lalu mengambil tas bekal yang berada di tanganku.Lihatlah!Dia terlihat begitu perhatian. Selalu mengerti tentang keadaanku. Siapa yang tidak berpikir kalau dia benar-benar sayang dan bisa dengan mudah mencintaiku. Harusn
Makan malam kali ini penuh kebisuan. Masing-masing dari kami masih saling diam. Biasanya jika tahu aku sedang marah, bang Haikal pasti menyapa duluan. Entah bertanya apa aku masih marah, atau mungkin meminta maaf dan mengalah.Namun kali ini tampak berbeda. Sedari tadi raut wajahnya terus gelisah. Seperti ingin berbicara, namun urung karena ragu. Membuat perasaanku makin tak menentu dan kembali timbul rasa curiga.Sebentar-sebentar mata itu menatapku, lalu kembali menyendok nasi dari piring ke mulutnya. Hatiku yang masih dilanda rasa amarah berusaha untuk tetap tenang. Semoga saja kali ini tak ada hubungannya dengan Kania."Dwi." Akhirnya terdengar panggilan itu dari mulutnya."Iya?" Aku berusaha menyahut selembut mungkin."Maaf soal tadi siang." Aku tertegun. Rupanya dia kembali mengalah dan merasa bersalah karena telah membuatku menangis."Abang sudah bilang tak bertemu dengannya. Tak apa. Anggap saja aku salah lihat." Aku mencoba untuk tersenyum.Aku ikut mengalah, demi membuatnya
Mata itu kembali menatapku dengan sendu. Kembali menolak seperti waktu itu. Namun hati ini terlanjur sakit dan tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya."Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Kenapa kau masih membahas soal perceraian. Tak baik sering-sering mengucapkan kata itu, Dwi." Suaranya terdengar lirih."Abang harusnya mengucap syukur. Aku sudah berbaik hati membebaskan Abang. Jangan lagi mempermainkan perasaanku dengan berpura-pura menolaknya." Tangisku tertahan tanpa suara."Pernikahan bukan mainan, Dwi. Jelas-jelas aku sudah bertanya tentang keyakinanmu. Menerima segala kekurangan dan mungkin perasaanku saat itu. Lalu sekarang apa? Kau membuatku terlihat seperti penjahat."Suamiku benar. Sebelum menikah dia telah mengungkapkan semuanya. Tentang perasaannya yang hanya menganggapku sebagai adik. Dia juga terang-terangan mengungkapkan betapa besar rasa cintanya pada Kania. Sangat sulit untuk berpaling dan tak ingin menyakitiku. Memintaku mengurungkan niat dan membatalkan pernikahan
"Abang mau apa lagi?" tanyaku yang masih berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka."Pembicaraan kita belum selesai," sahutnya. Masih dengan mode lembut.Aku kembali melangkah menuju tempat tidur, membiarkan pintu itu tetap terbuka. Bang Haikal ikut masuk, lalu berdiri di hadapanku yang kini sudah duduk di tepi ranjang."Pikirkan lagi, Dwi. Jalan kita masih panjang. Masih punya banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Aku berjanji akan berusaha melupakan Kania." Dia terlihat bersungguh-sungguh. "Mana mungkin bisa, jika setiap hari Abang bertemu dan berbicara dengannya. Sedang saat berjauhan pun Abang selalu mengingatnya!" jawabku tegas."Aku tidak mungkin tiba-tiba mengundurkan diri. Bagaimana nanti aku memenuhi tanggung jawab untuk menafkahimu jika tak punya pekerjaan?""Abang hanya beralasan! Abang punya ijazah Sarjana. Ada banyak pekerjaan di luar sana. Aku juga tak pernah menuntut apa pun pada Abang, kan?""Tidak semudah itu, Dwi. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ak