Share

Part 9

Aku langsung mendongak karena tak mengenali sepatu itu. Lalu Kulihat sesosok pria yang tadi kutemui sedang berdiri menatapku. 

Aku langsung bangkit dan berdiri. Mengusap air mata dengan menekuk jari telunjuk. Menyelipkan rambutku ke belakang telinga yang kurasa tadi sedikit acak-acakan. Bima tak boleh melihat keadaanku yang kacau seperti ini.

"Sedang apa kau di sini?" Aku balik bertanya.

"Pulang. Itu mobilku." Dia menunjuk dengan dagu ke samping mobil yang kami bawa tadi.

Aku hanya ber oh ria saja. Tak ingin bertanya lebih jauh.

"Kau sendiri? Kenapa menangis?"

"Aku? Siapa yang menangis? Aku baik-baik saja." Aku berdusta agar dia tak bertanya lagi. 

Dia menatapku heran. Raut wajahnya jelas tak percaya pada pengakuanku.

"Kenapa sendirian? Mana suamimu?"

"Oh, itu... dia...."

"Aku di sini. Ada perlu apa mencariku?" Suara bariton itu tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. 

Aku langsung menekuk wajah begitu melihatnya. Meski di depan orang lain aku baik-baik saja, tetap saja tak bisa kusembunyikan rasa sakit ini begitu berhadapan langsung dengannya.

"Oh, maaf. Aku Bima. Teman SMP Dwi." Bima mengulurkan tangannya pada suamiku.

"Haikal. Suami Dwi." Mereka kini sedang berjabat tangan. Saling menggenggam dan menatap satu sama lain.

"Aku mau pulang!" Aku langsung menyela acara perkenalan mereka. Tak mau sampai orang lain terlibat jauh tentang masalah yang baru saja aku alami.

Sejurus kemudian suamiku menekan tombol pada kunci mobil, aku langsung masuk tanpa berpamitan pada Bima.

*

"Kau kenapa lagi?" Bang Haikal bertanya begitu sampai di rumah.

Tak sepatah kata pun yang kuucapkan di sepanjang perjalanan. Dia menahan tanganku saat hendak membuka pintu kamar.

"Abang yang kenapa? Kemarin Abang bilang tidak sengaja bertemu dengannya. Apa sekarang juga begitu?" Aku mengungkapkan perasaan tanpa basa-basi.

"Apa maksudmu? Atau kau...." Dia terlihat memikirkan sesuatu. "Kau juga melihat Kania di sana?"

"Lihatlah. Abang bahkan tidak sadar kalau aku berdiri di samping Abang karena terlalu fokus menatap wajahnya." Lagi-lagi aku tak bisa menahan tangis.

Dia terkejut mendengar ucapanku. Kemudian mengusap kasar rambutnya seperti sedang frustasi.

"Jadi itu bukan khayalan? Kau benar-benar melihatnya?" Kata-kata itu terdengar begitu menyakitkan.

Sebuah khayalan, katanya? Benar saja. Selama ini suamiku benar-benar tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Dan itu membuatku hatiku semakin hancur.

"Abang janjian dengannya? Abang sengaja menyuruh dia datang agar kalian bisa bertemu, kan?" Aku menuding tanpa berpikir lagi.

"Kau bicara apa? Sudah kubilang aku tak pernah lagi berhubungan dengannya sejak pernikahan kita. Kenapa kau masih tak percaya?"

"Abang masih mau bilang kalau pertemuan itu juga tak sengaja? Abang berselingkuh, kan?"

"Jangan bicara sembarangan, Dwi! Kau pikir aku laki-laki macam apa?"

"Lalu kenapa bisa ada Kania di sana?"

"Kenapa tanya padaku? Temanmu yang mengadakan pesta. Kenapa tak kau tanyakan saja padanya?!"

Aku terdiam. 

Dea? Apa sahabatku itu sengaja mengundang Kania agar bertemu dengan suamiku? Untuk apa? Tidak mungkin dia melakukan hal yang jelas-jelas bisa melukai perasaanku.

Apa dia mulai mengkhianatiku? Tapi kenapa? Apa salahku?

"Masuklah ke kamar. Kau terlihat kacau." Dia berbalik menuju ke ruang tamu.

"Abang mau kemana?" tanyaku heran. Kenapa dia tak ikut masuk ke kamarnya.

"Mengembalikan mobil."

Mengembalikan mobil? Kenapa tadi tak sekalian singgah saja? Kenapa harus mengantarku dulu pulang ke rumah. Atau jangan-jangan itu hanya alasan saja agar bisa bertemu dengan Kania? Apa setelah aku berlari ke parkiran tadi, dia sempat mengobrol dan berjanji akan bertemu? Lalu kata khayalan tadi hanya sebuah sandiwara?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status