Share

Bab 5

POV Alya.

Pagi itu, seorang teman memberiku nomor telepon baru. Nomor telepon seorang lelaki yang diharapkan untuk berkenalan denganku. Di tempat kerjaku, bukan hal yang aneh jika kadang-kadang seseorang merekomendasikan lelaki untuk dikenal lebih dekat. Ditambah lagi usiaku yang sudah dua puluh lima tahun, usia yang dirasa matang untuk seorang wanita berumah tangga. Teman-temanku pun sudah banyak yang menikah dan memiliki bayi.

"Simpan saja nomornya, nanti dia yang akan menghubungi kamu terlebih dahulu," ujar Ulfa saat mengirimkan nomor kontak lelaki itu lewat aplikasi pengiriman pesan.

"Namanya Harun, usia tiga puluh tahun, sudah bekerja. Kerjanya di daerah Jakarta Barat, dekatlah dari sini. Sudah memilki rumah dan siap menikah," tutur Ulfa panjang lebar.

Mataku menatap tak percaya kearahnya, dia tahu banyak hal tentang pria itu ternyata.

"Temanmu?" Tanyaku.

"Bukan, adik ipar dari temanku."

"Kamu memang Jomblang Ter the best!" Kuacungkan dua jempol padanya.

Aku mengatakan itu karena informasi yang dia berikan valid dan lengkap.

Setelah obrolan itu, aku melupakannya begitu saja. Ulfa bilang aku hanya perlu menunggu dia menghubungi aku bukan. Jadi aku pun mengabaikannya begitu saja, hingga suatu siang saat jam istirahat, sebuah pesan masuk ke ponselku.

Pesan dari kontak yang aku beri nama Harun itu berisi sebuah perkenalan. Namanya, memberi tahuku dari mana dia mendapatkan nomorku, dan lain-lain. Aku pun membalasnya dengan sekedarnya.

Obrolan kami lewat pesan singkat terus berlangsung hingga akhirnya pria itu mengajakku untuk bertemu langsung dan aku menyanggupinya.

Hari Sabtu sore, aku di temani Ulfa pergi ke sebuah mall yang terletak di daerah Jakarta Selatan. Tempat terdekat dengan tempat kerjaku untuk bertemu dengan pria bernama Harun itu. Saat aku dan Ulfa tiba, dia sudah terlebih dahulu sampai di tempat itu. Rupanya dia adalah orang yang menghargai waktu.

Kami berbincang-bincang di sebuah restoran siap saji. Kesan pertamaku padanya adalah, pria itu terlihat matang, tidak banyak bicara apalagi menggombal, bicara seperlunya saja. Terlihat baik hati dan perhatian. Untuk urusan fisik, Kak Harun -- aku memanggilnya begitu --berbadan tinggi, tidak terlalu kurus dan tidak gemuk. Kulitnya khas kulit Indonesia, tidak hitam tidak juga putih.

Setelah pertemuan itu, kami tetap intens berkomunikasi. Berbagi kabar dan apapun untuk bisa mengenal lebih dekat. Jika kami janjian ketemu, aku selalu ditemani oleh Ulfa. Tidak pernah sekalipun aku bertemu berdua saja dengannya.

Hingga pada pertemuan kami yang ke tiga, pria itu menyatakan keinginannya. Dia bilang, dia tidak ingin berpacaran. Kalau merasa saling cocok, langsung ke jenjang pernikahan. Itu yang dia katakan.

"Datanglah ke rumah, jika itu yang kamu inginkan maka kamu harus bilang langsung pada abahku." Kukatakan itu sebagai jawaban atas perkataannya.

Bukan apa-apa, Abah adalah orang yang selektif urusan pasangan. Bukan yang kaya yang beliau inginkan, tapi aku sendiri tidak begitu faham inginnya bagaimana. Kakak Ayana-- kakakku, beberapa kali di tolak saat mengajukan calon suami. Padahal yang di ajukan juga bukan orang sembarang.

Malah pada akhirnya yang diterima adalah lelaki biasa, dari keluarga biasa saja, namun dia mandiri dan bertanggung jawab, nomer satu tentu agamanya. Setelah menikah Kak Ayana langsung diboyong ke kontrakan Kakak Iparku itu. Ya, Bang Fahri, nama kakak iparku, saat menikah dengan Kak Ayana belum memiliki rumah sendiri, masih menumpang pada orang tuanya, kemudian memilih mengontrak begitu menikah.

Baru setahun setelah pernikahan mereka, Bang Fahri bisa membeli rumah mungil untuk mereka.

"Kapan aku bisa datang ke rumahmu?" Tanya Kak Harun.

"Terserah, kapan saja kamu ada waktu. Tapi kasih tahu dulu ya, soalnya aku tidak tinggal dirumah. Aku menetap di pesantren tempatku mengajar," tuturku memberikan penjelasan.

Kupikir aku akan bareng bersama-sama dengannya menemui Abah di rumah. Toh hanya berkunjung biasa, itu yang aku pikirkan.

Sejak lulus Sekolah Dasar, aku memang dimasukkan ke sebuah pesantren. Hingga perguruan tinggi pun tetap aku tempuh di instansi pendidikan berbasis agama tersebut. Lulus kuliah, aku memilih mengajar di pesantren juga. Jika dulu aku menangis karena tidak mau masuk ke pesantren, maka sekarang umi yang menangis karena aku enggan pulang ke rumah.

Pria dihadapkanku itu menyanggupinya, setelah pertemuan yang ke-tiga itu, kami tetap berbagi pesan seperti biasanya. Sejujurnya aku juga merasa nyaman dengannya, hanya saja aku memilih untuk menahan diri. Kalau-kalau Abah menolak pria ini, aku tidak akan patah hati.

Seminggu setelah pertemuan itu, Harun menghubungiku dan mengatakan akan datang ke rumah. Aku menyanggupinya, pria itu akan menjemputku di tempatku bekerja dan juga tinggal. Dan seperti biasanya, aku akan mengajak Ulfa bersamaku.

Sebenarnya Ulfa sudah menikah, rumahnya tidak jauh dari pesantren tempat kami mengajar. Selain itu dia juga belum memiliki buah hati, jadi selagi dapat ijin suami maka dia bisa aku ajak kemanapun.

Sebelum pulang, aku memberitahu pada Abah dan Umi, mengatakan jika aku akan pulang bersama teman. Dan meminta Abah untuk tidak pergi kemanapun.

Rintik hujan membasahi bumi saat aku dan Ulfa menunggu Kak Harun menjemput kami. Kami menunggu di kantin yang berada di dalam pesantren. Sebuah mobil berwarna silver terlihat berhenti di parkiran, tak jauh dari kantin. Sejak tadi aku memang menatap ke arah tempat itu karena Kak Harun mengatakan jika sebentar lagi akan sampai.

Setelah mobil terparkir dengan sempurna, tak lama kemudian turun dua orang lelaki dari mobil tersebut. Salah satunya aku kenali, Kak Harun. Namun yang satu lagi aku tidak mengenalnya. Selama ini jika bertemu denganku, lelaki itu selalu datang sendirian.

"Assalamualaikum, Ustazah Ulfa," sapa lelaki yang bersama Kak Harun begitu dua pria itu sampai di hadapan kami.

Siap dia, kok kenal Ulfa dan sepertinya Ulfa juga mengenalnya.

"Wa'alaikumsalam, Ustadz Hamid. Apa kabar?"

"Alhamdulillah baik."

"Ke Jakarta sendirian aja, Ust," tanya Ulfa lagi.

"Iya, mendadak soalnya. Ini adik ipar minta di temani lamaran," sahut pria yang di panggil Ulfa dengan sebutan Ustadz Hamid itu.

Apa ini orang yang memberikan nomor Kak Harun ke Ulfa. Lalu apa katanya tadi, lamaran? Kak Harun mau langsung melamarku dengan membawa Kakak Iparnya. Apa-apaan ini, aku pikir dia hanya akan datang sendirian hanya untuk bersilaturahmi dengan Abahku. Kenapa malah mau langsung melamar.

Mana aku gak bilang apapun pada orang rumah. Gimana ini. Kepanikan mulai melandaku.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status