Setelah mengunjungi makam ibu, aku tidak tahu harus kemana selanjutnya. Aku tidak mungkin ke apartemen Steve sekarang, suasananya akan canggung. Tapi bagaimana dengan barang-barangku yang ada di sana?
Aku sepertinya tetap harus ke sana. Napasku kuhembuskan kuat-kuat. Jika saja rambutku pendek mungkin aku juga akan mengacak-acak rambutku sebagai pengalihan rasa frustrasi.
Ah, apa yang harus kulakukan sekarang?
Pikiranku tiba-tiba teringat ibu. “Ibu, jika kau ada di sisi Helen sekarang, mungkin ibu bisa memberi Helen saran yang baik,” gumamku tanpa sadar.
Ponselku berdering di detik berikutnya. Aku melihat layarnya yang langsung membuatku terdiam dengan kedua alis yang saling bertaut.
Nomor tidak dikenal menghubungi ponselku. Aku menggerakkan mobilku ke sebuah restoran lalu berhenti di parkiran untuk mengangkat panggilan. Setelah menghilangkan rasa ragu, aku mengangkat panggilan itu dengan sedikit gug
Selamat membaca!😊 Aku harap kalian suka dengan cerita ini dan semoga cerita ini menghibur ya..🤗 Jangan lupa untuk dukung terus cerita ini ya😁 see you😘
Begitu aku sampai di apartemen Steve, langsung saja aku masuk ke kamarku yang sebentar lagi kehilangan penghuninya. Meski aku hanya tinggal beberapa hari saja. Mataku otomatis memperhatikan seisi kamar. Lalu berhenti saat melihat tumpukan kardus di sudut kamar. Aku menghela napas. Padahal paket dari ibunya Steve sudah setengahnya telah dikeluarkan dan ditata dalam lemari. Tanpa mengeluh lagi, aku mengemas barang-barangku dalam keheningan kamar. Sampai perutku terasa melilit karena lapar, aku berhenti dari pekerjaanku saat langit sudah mulai menggelap. Aku memilih memesan makanan dari restoran terdekat daripada memasak karena sudah terlalu telat makan. Lagi pula aku ragu bisa memasak dengan tenaga yang tersisa. Tenaga yang tersisa untuk makan malah aku gunakan untuk membuat masakan. Bisa-bisa aku pingsan di dapur. Kan tidak lucu kalau Steve tahu aku pingsan karena menghindari bertemu dengannya hingga aku telat
"Kalau kau ingin menolak, kau bisa mengatakan langsung pada Nyonya Felton." Dave menyahut lagi masih dengan nada yang kurang bersahabat di telingaku. Aku dan Steve tentu melihat ke arah Dave saat ia berbicara. "Dave," tegur Steve padanya. "Apa? Kau juga tidak ingin dia tinggal di kediaman keluarga kalian kan?" Dave menyindir. Aku menegang mendengar itu. Tanganku saling meremas satu sama lain sebagai bentuk pengalihan rasa sesak yang tiba-tiba datang. "Dave!" Steve meninggikan suaranya. Steve lalu beralih memandangku, "Dengar Helen, aku tidak keberatan kau tinggal di kediaman kami. Selama itu keinginan Mom, aku tidak akan keberatan. Oke?" Aku balas memandang Steve namun tidak membalas kalimatnya. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman ini meski Steve mengatakan itu. Steve melanjutkan, "Jadi lupakan saja apa yang dikatakan Dave tadi. Dia memang selalu begini. Makannya tidak ada wanit
Nyonya Felton mengambil tangan kanan Helena, lalu menaruh sebuah kunci logam di tangannya. Helena berkedip melihat kunci itu lalu menatap wajah Nyonya Felton yang tersenyum. "Ini kunci ruangan ini," ucap Nyonya Felton, "Simpanlah." Seperti dugaan Helena, ini adalah kunci studio dan ini diberikan padanya oleh Nyonya Felton. "Apa ini tidak apa-apa?" tanya Helena yang ternyata masih ragu menerima kunci di tangannya ini. "Aku sangat senang kalau Helen mau menerimanya," jawab Nyonya Felton. Helena memandang piano yang ada di tengah ruangan. Ia teringat piano ibunya yang masih berada di rumah kakeknya. Dan ia sudah dua bulan tidak melihatnya. "Terima kasih," ucap Helena. Ia bisa membayangkan piano ini sama seperti yang ada di rumah kakeknya itu. Membuatnya bisa membayangkan ibunya tengah berma
"Badan Helen terlalu kurus. Jadi harus banyak makan." Ibu Steve menolak setuju dengan perkataan Dave yang mengatakan jika Helena akan gemuk dengan porsi makan seperti ini. Helena tertawa canggung. "Benar, aku juga tidak akan langsung gemuk hanya karena satu kali makan." Dave menarik satu sudut bibirnya. Tersenyum miring. "Kau yakin ini tidak akan terulang? Kau akan mulai tinggal di sini kan untuk seterusnya?" Pertanyaan Dave membuat Helena berpikir, jika satu kali ia memang tidak akan langsung gemuk. Helena menatap porsi makannya di atas piringnya. Tapi Nyonya Steve kemungkinan besar akan memperlakukannya seperti ini terus bukan? Dan saat itu mungkin tubuhnya akan melebar. Jangan salah jika mengira Helena takut gemuk karena peduli penampilan. Tapi sebenarnya ia sadar jika gemuk atau obesitas itu buruk untuk kesehatan di masa tua dan membawa banyak penyakit. "Mom, lain kali tidak perlu mengambilkan makanan untuk Helen. Siapa tah
"Steve?!" seru Nyonya Felton terkejut mendapati anaknya datang bersama Dave. Helena yang ikut menyambut kedatangan Dave juga sama terkejutnya. Ia bisa melihat Steve sedang membawa koper sama seperti Dave. Bukannya hanya Dave saja yang tinggal di sini? Lalu apakah Steve berubah pikiran? Helena membatin dengan sedikit berharap. Ia tiba-tiba gugup membayangkan akan bertemu Steve setiap hari. "Setelah ku pikir-pikir, aku juga ingin tinggal di kediaman dengan Mom." Steve mengelus lehernya dengan perasaan malu. Ibu Steve langsung saja memeluk dan mencium pipi anaknya. Sepertinya pemilik kediaman itu senang sekali karena akhirnya Steve bisa tinggal lagi di kediaman. Sebelumnya Steve hanya datang ke kediaman seminggu sekali. "Mom senang sekali!" "Mom!" Steve berusaha melepaskan tangan ibunya yang kini bergerak mencubit pipinya. Dave yang melihat tingkah anak dan ibu itu hanya tersenyum. Ia sudah terbiasa
Steve memandang ponselnya selama beberapa detik. Seolah ia ingin memastikan nama penelepon yang ia baca itu tidak salah. Perlahan raut wajahnya berubah cerah. Senyum juga perlahan mengembang di wajahnya. Helena tertegun memandang Steve. Baru pertama kali ia melihat Steve tersenyum seperti itu. Bukan seperti senyum Steve yang biasanya. Steve tampak sangat bahagia hanya karena sebuah panggilan telepon. "Halo, Violet?" Steve mengangkat telepon itu. Violet? Helena bertanya dalam hati. Steve mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat pamit sebentar pada Helena. Paham dengan isyarat itu, Helena menganggukkan kepalanya. Steve berjalan menjauh dan Helena hanya menatap punggungnya. Sampai akhirnya Dave mengambil perhatian Helena. "Violet itu kekasih Steve." Dave berkata sembari menatap gelas porselen di tangan Helena. "Apa?" tanya Helena spontan. "Violet itu keka
"Aku membuat ini, sebenarnya untukmu Steve," ucap Helena membuat Dave berhenti mengunyah potongan pie di dalam mulutnya. "Eh, untukku?" tanya Steve pada Helena dengan wajah terkejut. Helena mengangguk. Dave memandang lurus Helena, merasa perkataan Helena mengandung arti bahwa selain Steve, tidak boleh ada yang memakan pie apel buatan Helena. Dave mengerutkan alisnya. "Tapi kata bibi Emily tadi...." Dave masih ingat ucapan Emily. 'Saya ingin membawakan camilan untuk anda dan tuan muda Steve.' Jadi jangan salahkan Dave jika ia ikut makan pie apel buatan Helena. Dave merasa ia tidak melakukan kesalahan. Lagi pula jika ia bersalah, ia tidak sengaja melakukannya. "Sebenarnya ini adalah bentuk terimakasih dariku, sebagai balasan dari gelas porselen yang kau berikan itu, Steve." Helena menjelaskan ala
Dave masih diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Ia dan Helena saling menatap, tapi Helena menatapnya dengan pandangan kesal dan ia balas dengan pandangan datar.Mereka berdua masih saling memandang saat Steve masuk ke dapur dan melihat keduanya. Entah mereka berdua sadar atau tidak dengan keberadaan Steve, mereka masih saling melotot satu sama lain.Steve ingin bertanya apa yang terjadi tapi tindakan Dave membuatnya terkejut.Dave yang melihat aliran air dari keran yang terbuka, mendadak ia mengibaskan tangannya di aliran air itu hingga menyebabkan adanya percikan air yang mengenai wajah Helena.Steve saja terkejut, apa lagi Helena yang terkena cipratan air karena tindakan konyol Dave. Helena syok dengan reaksi Dave padanya.Padahal ia hanya meminta jawaban dari Dave tapi Dave malah memberinya percikan air keran ke wajahnya.