Padang rumput itu telah berubah menjadi sebuah hutan lebat dengan ratusan orang yang berdiri siaga di sekitar Rachel. Dari tempatnya berdiri Rachel hanya bisa melihat orang-orang itu mengelilingi sesuatu di tengah sana. Entah apapun itu pasti dia adalah sesuatu yang amat dahsyat. Beberapa kali Rachel bisa merasakan tanah bergetar dan gelombang-gelombang cahaya muncul di sekitarnya seakan ada sesuatu yang memberontak keluar dari dalam sana. Tak lama, sosok yang Rachel kenal muncul di tempat itu. Seorang pemuda yang selalu menemani Rachel, Nerwin.
“My Lord, kita tidak bisa menahan makhluk ini lebih lama lagi,” seru Nerwin pada seorang pria tua.
Rachel sungguh tak habis pikir, bagaimana pemuda itu ada di sana. Perang klan Jade ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan Nerwin telah berada di sini bersama mereka. Namun, mengapa Nerwin tidak pernah mengungkapkan hal
Cahaya matahari itu jatuh menyinari sisa-sisa medan pertempuran semalam dengan perlahan. Menghangatkan tanah lembab dan udara dingin yang sempat menyelimuti tanah para Jade itu. Mencairkan es yang membekukan beberapa sisi hutan yang sempat mendapatkan serangan Sassafras.Kailani menggeliat pelan saat kesadarannya mulai kembali. Dengan mata yang menyipit dan mengerjap pelan, Kailani perlahan membuka matanya. Dibalik cahaya menyilaukan matahari pagi itu, Kailani melihat sosok seorang gadis berdiri tak jauh dari tempatnya. Apakah itu Sigrid?Kailani memekik pelan merasakan rasa nyeri di sekujur tubuhnya saat dia bergerak pelan. Suara pekikannya itu perlahan membuat sosok siluet itu bergerak. Mengabaikan rasa sakitnya Kailani lantas mencari Jade Amora dan segera mengambil senjata itu dan menarik tali busurnya serta mengarahkan senjata itu ke arah siluet tadi.
Lucian Dorgon kembali memasuki hutan seorang diri. Pria itu duduk dengan diam di atas batang pohon yang telah tumbang. Lucian tidak melakukan apapun, juga tidak bergerak sedikitpun. Dia hanya diam memejamkan matanya dengan tenang. Tak lama kemudian sebuah kabut tebal tiba-tiba menyelimuti hutan. Kabut itu datang dengan sebuah hawa dingin yang menusuk. Lucian membuka matanya menyadari kabut itu. Pria itu bangkit berdiri memandang kabut yang mendekat ke arahnya.Kabut itu berhenti tepat satu meter di depan Lucian. Tidak menyentuh pria itu atau mendekati pria itu lebih dari itu. Perlahan dari balik kabut, seorang gadis muncul. Tubuhnya dibalut jubah perak tebal dengan sebuah kain transparan yang menutupi wajahnya.“Selamat datang, Lady Hatron,” sapa Lucian.Wanita di depan Lucian melepaska
Suara teriakan remuk redam bagaikan sebuah batu yang terlontar puluhan meter jauhnya. Dingin lantai ruangan itu tak menyusutkan tekadnya, namun tubuhnya yang lebih menguasai kekuatannya. Tubuhnya tahu bahwa dia telah tiba di batasnya. Tubuhnya telah berteriak meminta sang pemilik jiwa untuk segera berhenti. Tapi kekuatan itu tak lekas menghentikan apapun yang sedang terjadi. “Bahkan jika kau menguras habis darahku, itu tak berarti aku akan mati dengan mudah di sini, Lucinda,” lirih pemilik tubuh itu. Lucinda melirik pemilik suara itu yang tengah di ikat di tengah ruangan. Empat pilar berdiri mengelilingi gadis itu. Tubuhnya diikat dengan rantai besi besar yang telah berkarat. Belasan luka sayatan terlihat di kedua lengan gadis itu, memaksa darah gadis itu menetes di wadah-wadah yang telah dipersiapkan oleh Lucinda.
George dan Elise telah tiba di Ridelve ketika mereka melihat sebuah ledakan dari arah Selvence. Keduanya yang awalnya ingin beristirahat terlebih dahulu akhirnya kembali menaiki kuda mereka dan memimpin pasukan mereka saat itu juga menuju Selvence. Entah apa yang telah dilakukan oleh pemimpin mereka disana, tapi semoga itu bukan sesuatu yang buruk.“Kau yakin kakakku mengambil keputusan dengan kepala dingin?” teriakan Elise pada George yang berkuda di depannya.Awalnya George tak langsung menjawab, tapi kemudian pemuda itu menarik pedangnya keluar ketika mulai melihat pasukan Redrock berkuda beberapa puluh meter di depan mereka.“Awalnya aku yakin, tapi sekarang tidak lagi,” tukasnya dan dia menebas prajurit Redrock pertama yang menyerang mereka dan pertarungan tak bisa lagi di hindari.
Raungan makhluk itu menggema di perbukitan pegunungan utara. Terdengar lantang layaknya sebuah gelegar yang telah lama dipendam. Makhluk itu terbang rendah dengan sayap lebar yang mampu menghempaskan sebuah rumah dalam sekejap. Semburan nafas es nya telah membekukan hampir separuh dari kota Selvence dan serangannya telah membunuh sebagian besar orang yang ada di tempat itu. Sassafras, makhluk itu benar-benar menepati janjinya untuk menghancurkan segalanya.Rachel masih berdiri diam di tempatnya melihat semua pemandangan itu. Semua kekacauan dan kerusakan yang disebabkan oleh Sassafras terlihat jelas di matanya tapi hal itu tak cukup untuk menggerakkan hati Rachel agar meminta makhluk itu berhenti. Dalam sekejap Rachel seakan berubah menjadi sosok yang lain.Hatinya terluka menerima semua kecurangan dan perlakuan tak adil semua orang terhadapnya. Ben
Robin dan Samantha hanya bisa saling menatap setelah kepergian Kenneth dan Rachel. Kini, keduanya harus segera mengalahkan naga itu ketika dia mulai melemah.“Apa yang harus aku lakukan pada wanita ini?” tanya Samantha pada Robin.Robin melihat situasi sekitar dan menyadari bahwa pasukannya semakin terdesak. Meski naga itu telah melemah, tapi jumlah pasukan mereka semakin sedikit dan mereka tidak akan bisa bertahan cukup lama untuk melawan makhluk itu.“Sebaiknya serahkan wanita ini pada pasukan Putri Florian, mereka sedang berada di luar Selvence,” ucap Robin sembari menatap Lucinda.“Lalu Lucian?” tanya Samantha sembari melihat ke tempat Lucian tadi berada. Namun, gadis itu tercekat saat menyadari bahwa Lucian tidak ada di sana. &ldq
‘Sassafras, kemarilah’Rachel tidak yakin dengan keputusannya, tapi hanya itulah yang terpikir di kepala Rachel. Mengalahkan Redrock dan Lucian. Awalnya dia mengira melepaskan Sassafras adalah pilihan terbaiknya, namun Lucian menggunakan darah Rachel untuk mengikat kekuatan mereka. Jika ikatan itu tidak dilepaskan maka selama Rachel hidup, maka selama itu pula Redrock dan Lucian tidak bisa dikalahkan.“Apa yang kau lakukan?” suara Kenneth terdengar sarat akan penolakan.Bahkan tanpa bertanya, Kenneth pasti tahu apa yang tengah di rencanakan oleh Rachel. Akan tetapi, Rachel tidak punya pilihan lain.“Membawa pasukan yang bisa melukaiku kemari,” ucap Rachel penuh tekad.Kenneth henda
Malam itu, Bloodmoon kembali muncul di seluruh kerajaan Crator. Bulan darah itu terlihat di ufuk timur dan terus mengambang di angkasa hingga tengah malam. Hawa dingin yang menusuk menyelimuti Crator. Kabut tebal melingkupi seluruh wilayah itu dan memaksa semua orang bersembunyi di balik dinding rumah masing-masing. Tidak ada hujan ataupun badai, hanya gemuruh dan kilat yang terus terdengar sepanjang malam. Di sepanjang pesisir kerajaan Crator ombak bergejolak hebat. Gelombang tinggi terus menghantam setiap tebing karang di sepanjang tepian samudera Crator. Seakan berusaha merobohkan kokohnya tebing yang ada, Menguji kekuatan dan ketahanan tanah itu dari amukan sang alam. Para nelayan dan pelaut yang telah melihat gelombang tinggi sejak senja hanya hanya bisa terdiam menatap kapal mereka yang dihancurkan oleh gelombang tinggi di dermaga. Lain halnya dengan pe