"Syarat seperti apa?" Ia menatap lekat wajah suaminya.
Edi menghela napas sejenak. "Sudah kukatakan jika kau setuju akan kuberi tahu. Bagaimana? Apa kau setuju?” Sangat jelas, Edi terdengar memaksa."Apa saja yang kudapat selain jadi cantik dan awet muda?" Mayang begitu antusias hingga penasaran. Ia tak mau jika nanti keputusannya membuat penyesalan dikemudian hari."Kamu juga akan mendapat hidup abadi Mayang. Kau banyak memiliki kesempatan untuk menikmati hidup. Bahkan jika nanti aku mati lebih dulu." Edi mengatakan dengan pasti dan meyakinkan. Matanya menyala dengan penuh semangat.Terang saja Mayang percaya, dengan berbinar ia sudah membayangkan kehidupannya yang akan datang. Jika benar ia akan Abadi, ia tak perlu takut lagi memikirkan kematian. Ia bukan hanya bisa menjumpai anak cucu, namun juga cicit-cicitnya kelak."Tentu aku mau. Eh, tapi ..., kenapa kau tak menggunakannya juga? Kita bisa hidup lama bersama."Suaminya mengulum senyum dan melontarkan bualan. "Aku juga sudah menggunakannya. Kau saja yang tak tahu umurku yang sebenarnya."Mayang masih saja berpikir, ada yang aneh dengan kalimat suaminya. Saat ini, ia kembali menimbang untuk memutuskan."Bagaimana? Mau dipakai sekarang?" lanjutnya.Dengan tersenyum Mayang mengangguk. Rasa ragu wanita itu luntur seketika saat Edi bertanya smabil tersenyum. Tak ada suami yang akan melakukan hal buruk terhadap istrinya, bukan?Pertama-tama Edi meminta kembali botol dari tangan Mayang dan membuka penutupnya, menginstruksi Mayang agar membuka mulut dengan kepala yang sedikit bertengadah. lalu, perlahan ia menuangkan minyak ke mulut sang istri. Hanya beberapa tetes. Setelah ritual itu. Wajah Edi tampak sangat senang. Ia juga terlihat menghela napas lega, seakan ada beban yang terlepas dari rongga dadanya.Dan bodohnya, Mayang tak menaruh curiga sedikit pun saat menyadari hal itu."Sebelum kau tahu syaratnya, kau harus tahu tentang minyak ini Yang. ini adalah minyak kuyang. Apa kau pernah dengar temtang ini?" Edi memastikan sambil menyeringai.Mayang membeliak. Ia merasa jadi manusia paling bodoh sekarang, sebab tak menanyakan hal itu lebih awal. Dan hanya memikirkan keuntungan yang ia dapat tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain yang menimbulkan risiko.Wanita paruh baya itu yakin, Edi pasti juga berbohong bahwa dia juga menggunakan minyak tersebut. Ah, hal ini lah yang terasa mengganjal aneh dipikirannya tadi. Mayang benar-benar bodoh.Minyak kuyang biasanya hanya digunakan oleh perempuan. Minyak tersebut pun bukan membuat orang hidup abadi, namun tepatnya susah mati. Selain itu, penggunanya akan dituntut terus menerus mencari darah wanita yang melahirkan atau janin untuk dijadikan makanan. Mayang bergidik. Apa ia akan jadi mengerikan seperti itu setelah ini?"Apa kepalaku akan terlepas dari badan saat ini juga?" Dengan polosnya ia bertanya seraya meraba leher. Ekspresi wajah Mayang juga terlihat takut. Iatak bisa membayangkan bagaimana rasanya kepala dan isi perut meninggalkan tubuh."Tidak sekarang. Itu akan mulai terjadi jika kau memenuhi syaratnya. Setelah menelan minyak tadi, kau sudah tak boleh bersyahadat!"Alis Mayang tersentak bersamaan. Dan Ia lagi-lagi membeliak."Astagfirullah! Kau menukar tauhidku dengan ini Edi? Tega sekali kau!" Dada wanita itu mulai sesak, tangan kanannya ia letakkan di sana. Penglihatan Mayang pun mulai samar sebab matanya kini mulai berembun."Selalu ada harga untuk setiap keinginan Mayang. Kau yang bodoh, tak tahu itu!" Edi mengatakannya dengan jengkel."Kau mengelabuiku! Aku tak mau melakukannya. Kau suami biadab Edi! Sungguh aku tak mau melakukannya. Ini gila!" Teriak Mayang sambil mulai menangis."Aargh!"Sesaat kemudian, Mayang tiba-tiba mengerang kesakitan. Perutnya perih seperti disayat-sayat. Dua tangannya sekarang memeluk perut."Jika kau tetap menentang. Minyak yang sudah kau telan tadi, akan mulai menggerogoti organ dalammu. Itu reaksi dari kalimat istigfarmu tadi dan kau pasti sudah tahu, kau tidak akan mati walau isi perutmu sudah membusuk. Bayangkan saja Sendiri.” Ia bergidik sebentar. “Ya, selain syahadat, orang yang sudah menelan minyak kuyang harus menanggalkan keislamannya,” lanjut Edi, ia menerangkannya secara detail tanpa rasa bersalah sedikit pun."Bangsat kau Edi! Kenapa tak mengatakan semuanya dari awal?” Sekarang Mayang semakin geram.Edi yang merasa terhina jelas saja marah. Tangannya terkepal langsung ia layangkan ke wajah Mayang yang berada di hadapannya. Terang saja, istrinya itu langsung terseruduk ke lantai. Bukan hanya keriput di tepi matanya sekarang. Tapi, juga lebam."Ingat! Itu maumu Mayang. Aku cuma membantu dan malah kau sumpahi. Dasar istri tak tahu terima kasih. Jika bukan aku, tak ada orang yang mau menikahi jandanya Jali. Kau tahu! Begitu pun kau tak bersyukur!” Edi meradang. Suaranya lantang hingga mengundang beberapa tetangga datang.Tulang pipi mayang bekas ditinju berdenyut. Namun hatinya lebih terasa sakit saat mendengar kalimat hinaan itu terlontar dari mulut suaminya.Ya, Mayang tahu. Meski tak Edi katakan. Semuanya benar. Mana ada yang mau menikahi jandanya Jali selain dia. Mantan suaminya dulu yang mati mengenaskan setelah diarak dan dirajam massa sebab tertangkap basah menggauli perawan desa sebelah. Dan itu menyisakan aib yang seakan ditempel tepat di wajah Mayang. Seolah dialah penyebab melencengnya perangai mendiang suaminya itu. Sungguh miris jika diingat kembali. Dan sangat menyedihkan jika setiap perselingkuhan seorang suami, selalu istri yang dikatakan jadi penyebabnya dan harus menanggung hasil perbuatan yang bahkan Mayang pun tak pernah tahu dimulai sejak kapan."Edi, kau apa kan Mayang! Astagfirullah ...."Mesih juga datang, hanya ia tetangga yang berani masuk dan langsung mendekat mengangkat wajah Mayang. Selama bertetangga dengan pasangan itu, ia tak pernah mendengar suami istri tersebut beradu mulut, apa lagi sampai terjadi kekerasan seperti ini.Edi dengan cepat menyembunyikan minyak kuyang yang masih ada di lantai sebelum Mesih mengalihkan pandangan dari Mayang. Ia tak ingin urusan ini jadi panjang jika ada tetangga yang tiba-tiba jadi pahlawan kesiangan. Bisa-bisa ia akan bernasib sama seperti mendiang suami Mayang."Maaf Mayang. Aku khilaf. Sungguh, aku hanya sedang banyak pikiran. Maaf aku tak bisa mengontrol diri dan menjadikanmu pelampiasan." Tentu saja lelaki itu bersandiwara. Ia tak mau para tetangga yang ikut bercokol di pintu tahu kejadian sebenarnya.Mayang yang sudah terlanjur sakit hati pun, juga tak ingin buka suara. Percuma. Sampai berbusa mulitnya untuk menjelaskan pun sudah tak berguna. Ia sudah terlanjur menjadi iblis sekarang. Tak ada hal yang bisa Mayang lakukan untuk mencegahnya, bahkan jika ia mengadu pada Mesih, tetangganya yang sudah uzur itu. Mayang kini hanya bisa terisak menahan sakit dan menyesali kebodohannya.Ya, dia bodoh. Terlalu percaya dengan Edi. Seandainya tahu akan begini, Mayang lebih memilih berwajah tua seperti seharusnya, meski nanti berujung ditinggalkan sang suami.Setelah menasihati Edi dan meminta Mayang lebih bersabar Mesih pamit pulang. Tak enak juga jika ia terlalu jauh mencampuri kehidupan rumah tangga orang. Ia juga menyuruh tetangga yang bergerombol di pintu untuk bubar.Suami dan istri itu hening dalam waktu cukup lama. Hingga seorang tamu datang dengan wajah panik, ia menyuruh Edi cepat pulang ke seberang."Kenapa Wan?" tanya Edi. Seakan ia sudah tahu kabar apa yang akan di sampaikan Wawan padanya."Ibumu sudah meninggal Di, kata orang sekitar, jenazahnya harus diurus hari ini juga."Mayang tahu, Wawan merupakan salah satu anak buah Edi di tempatnya bekerja. Suaminya yang bercerita minggu lalu. Meski baru hari ini ia bertemu, kata Edi, Wawan lah yang sering membantunya dalam berbagai hal."Oh. Begitu. Ya sudah tunggu sebentar. Aku pamit pada Mayang," sahutnya santai.Tampak janggal memang, biasanya seorang anak yang mendengar berita duka dari orang tuanya akan bersedih atau terdengar meratap. Tidak halnya dengan Edi. Wajahnya biasa sa
Seminggu sudah berlalu, Edi belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah hal apa yang menjadi penyebab lelaki yang membuat Mayang jadi iblis itu, enggan pulang.Padahal, Mayang sudah tak sabar menunjukkan wajahnya yang sudah jadi lebih muda sekarang. Pastilah sang suami akan bertubi-tubi memberinya pujian dan perasaan sayang.Mayang tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin. Tangannya juga tak henti-henti mengelus pipinya yang lebih mulus dan tampak muda."Apa sebaiknya kususul saja? Benar. Edi pasti juga senang dengan kedatanganku," gumam Mayang.Lekas wanita itu berkemas dan dengan segera pergi ke lanting. Biasanya menjelang sore begini masih ada orang pemilik perahu motor yang bisa mengantar ke seberang."Mayang. Mau ke mana?" Mama Nurfah yang tempo hari diberi bedak rempah menyapanya."Mau ke seberang, Edi memintaku menyusul." Mayang berbohong."Kapan suamimu memberi kabar?" Entah kenapa pertanyaan Mama Nurfah terdengar penuh curiga. Selama ini siapa pun juga tahu, kalau M
Tiga hari sudah Mayang menginap di pondok Husin. Selama itu juga ia ikut membantu apa saja yang bisa ia kerjakan. Seperti, menemani Jubai ke sungai untuk mencuci baju, membersihkan peralatan makan, bahkan menyiapkan lauk pauk untuk keluarga Husin atau kadang Mayang juga ikut turun ke sawah. Suatu waktu, Mayang sudah merasa sangat bosan dengan rutinitasnya. Semua pekerjaan pun sudah selesai ia kerjakan. Tak ada lagi yang bisa Mayang lakukan kecuali termenung sendirian di dalam pondok. Semua anggota keluarga Husin masih di tengah ladang, memeriksa kalau-kalau ada babi hutan yang menghancurkan tanaman tadi malam. Dari pada kebanyakan melamun, Mayang memutuskan untuk mencari aliran anak sungai yang lebih rimbun. Ia ingin membersihkan diri, belakangan ia merasa mandi kurang bersih. Badannya terasa mulai tak nyaman dan gatal-gatal.Bukan, bukan ia malu saat mandi di temani Jubai di pinggir sungai. Hanya saja, semua orang yang melihatnya melepas baju, bagian leher belakangnya akan dengan j
Jangkrik semakin terdengar jelas mengerik. Beradu saling sahut dengan binatang malam lain. Lampu semprong di dalam pondok sudah dikecilkan. Semua orang sudah terlelap dalam pelukan mimpi masing-masing. Kecuali Mayang, ia perlahan keluar dari pondok Husin, berjingkat agar tak mengeluarkan suara yang membuat orang terbangun.Di luar, ia bertengadah sebentar menatap langit pekat bertabur bintang tanpa bulan. Kemudian ia menyalakan obor dengan korek kayu yang sudah ia siapkan. Lalu, tanpa memperhatikan sekitar ia melangkah cepat merobek kegelapan malam dengan cahaya di tangannya.Mayang tak tahu, seperginya ia dari pondok. Pemilik sepasang mata yang menatap dari balik celah pintu menghela napas curiga. Pondok yang Mayang tuju serasa lebih jauh dari sebelumnya. Juga lebih seram jika dilihat pada malam hari begini. Tapi, bagi Mayang tak ada hal lain yang lebih menakutkan dari pada dirinya sekarang. Wanita kuyang itu mulai menyibak alang-alang yang tumbuh tinggi menghalangi langkahnya. Lalu
Mayang harus segera mengatur rencana. Ia tak bisa lagi menunggu Husin dan keluarganya untuk pulang. Semestinya ia bergerak lebih cepat, sebelum semakin menyesal.Ya, menyesal karena bisa saja Edi akan pergi semakin jauh dari jangkauannya. Jika lelaki itu sampai keluar pulau, Mayang tak akan memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang seharusnya. Beruntungnya, sore ini bukan cuma dia yang tinggal di pondok, tapi Ari anak sulung Husin juga. Pemuda itu tak ikut ke ladang, sebab tengah menganyam bakul kecil bertali yang akan diikatkan ke pinggang saat musim mengatam, memanen padi yang sebentar lagi tiba.Dengan wajah Mayang yang lebih Muda sekarang, tak mungkin sulit membujuk Ari untuk mengantarnya pulang lebih dulu, kan? Seandainya gagal pun, Mayang pasti akan berusaha melalukan hal lain agar anak dari Husin itu setuju membantunya. Awalnya Mayang duduk tepat di sebelah Ari. Meski begitu mepet, Pemuda itu tetap tenang. Ia seolah membiarkan Mayang mendekatinya. Meski awalnya Mayang jug
Terletak tak jauh dari pondok tempat tinggal Husin, ada juga pondok yang dihuni satu keluarga dengan beranggota empat orang. Mereka, Herman beserta istri dan dua anaknya. Yang bungsu bernama Dewi. Usianya baru genap enam tahun saat ini.Dewi sejak sore sudah diare, oleh Mamaknya hanya diberi air rebusan daun pucuk jambu biji. Meski anak perempuan itu mengeluhkan rasa kelatnya dan harus dipaksa agar mau minum. Namun, ramuan itu seeprtinya lumayan ampuh. Beberapa jam lalu ia merasa sudah lebih baik. Katanya juga, perutnya sudah tak merasakan mulas lagi. Entah kenapa, malam ini, saat semua anggota keluarganya sudah tidur nyenyak, perut Dewi kembali melilit."Pak, Bapak!" Dewi berulang kali menggoyang-goyang tubuh lelaki yang tidur di sampingnya sambil meringis memegangi perut dan pantat bergantian. Ia terlihat benar-benar tersiksa dengan hal itu. "Pak. Bangun Pak. Antar Dewi ke jamban sekarang yuk, Pak. Aku mulas lagi." Kini lebih keras ia mengguncang bahu Bapaknya. Dewi sudah sangat ta
Dari kejauhan, Herman yang baru saja sampai di pondok Husin, melihat cahaya obor bergerak mendekat. Sejenak lelaki itu membatalkan niat mengetuk pintu, ia bertanya sebentar pada putranya. "Apa kau juga melihat cahaya itu, Din?"Udin menoleh ke arah yang ditunjuk Bapaknya. "Siapa yang datang saat larut malam begini?"Bapaknya hanya mengangkat bahu, menandakan ia juga tak tahu. Mengabaikan kebingungan mereka, Herman melanjutkan niat awalnya datang ke pondok Husin. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu berderit dibuka dari dalam. "Husin! Ayo siap-siap sekarang, nyalakan obormu. Kita mencari tubuh kuyang!" Herman tak ingin berbasa-basiHusin yang baru saja bangun masih terlihat linglung, ia tak mengerti sama sekali dengan perkataan yang diucapkan tetangganya tersebut. "Kuyang?""Bapak sama Dewi tadi melihat Kuyang, Paman. Ayo kita cari badannya sama-sama. Barang kali ia menyimpannya tak jauh dari sekitar sini." Kali ini Udin yang menjelaskan. "Apa kira-kira itu kuyang yang berada di
Mayang sudah lebih segar hari ini. Badan lemas dan pusing yang dideritanya sudah sirna. Dalam dua malam berturut-turut ia sudah mendapat Mangsa. Minyak dalam botol sepertinya juga sedikit bertambah. Pantas saja meski digunakan dalam rentang waktu puluhan tahun oleh pemilik sebelumnya, isinya tak habis-habis. Mayang baru tahu, begitu rupanya cara kerja minyak tersebut. Jika Mayang berhasil mendapatkan darah Bayi dan ibu yang melahirkan, maka minyak kuyang tak akan berkurang, tapi malah sebaliknya. Kali ini wanita kuyang itu menatap wajahnya di cermin. Tak ada lagi kerutan yang tersisa. Ia sekilas tersenyum, merasa puas dengan perubahannya sekarang. Walau Mayang tahu, kecantikannya itu nanti tak akan bertahan lebih lama. Ya, setidaknya saat ini wanita tersebut menikmati masa wajah terbaiknya. Sesaat kemudian, Mayang mengalihkan pandangan, mengangkat tas yang sudah ia siapkan dan menyampirkan selendang warna jingga di bahu. Ia harus secepatnya menemukan Edi dan mencari solusi agar ia