“Ini kopinya,” Damar datang membawa kopi pesananku.
“Makasih,” jawabku singkat.
“Eh, ngapain duduk di sini?” Laki-laki itu tanpa permisi duduk di kursi samping kiri.“Temenin lo lah.” Kedua bola mata Damar menatapku intens. Aku salah tingkah. Membenarkan posisi duduk.
“Gak perlu. Aku pengen sendiri.” Tolakku ketus. Lagian jadi orang sok akrab banget. Kenal juga baru tadi siang. Udah sok peduli. Aku melirik ke arahnya. Damar masih saja menatapku.
“Eh! Jangan liatin aku kayak gitu!!” Aku melotot Jengah! Tapi Damar bergeming. Pandangannya tak beralih.
“Lo lagi ada masalah?” tanyanya. Aku memalingkan muka.
Kali ini aku pilih diam. Meniup uap kopi, lalu menyesapnya perlahan. Damar masih menunggu jawaban.
“Ya elah, ditanya diam aja.” Aku tak peduli. Memainkan ponsel, membuka sosial media.
“Oh iya, gue u
“I-Ibu?” Terbata-bata Bang Haris memanggil Ibu.“PULANG!!!” Teriak Ibu. Aku memijat pelipis. Pikiranku seharian ini benar-benar pusing.“Siapa sih, Maaaas?” Terdengar suara manja wanita itu lagi. Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka, suami yang selama ini aku puja, yang selalu aku banggakan, tega berbuat hal keji dan menjijikan. Semakin bulat keputusanku untuk berpisah dengannya.Di saat seperti ini, aku bersyukur, karena belum dikaruniai buah hati. Benar, Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.“Ibu. Kamu diem dulu.” Bang Haris menjawab pada wanitanya.“Ibu bilang, pulang sekarang! Ada hal penting yang mau Ibu omongin!” sejak mendengar desahan wanitanya Bang Haris, Ibu sudah tidak menangis lagi.Syukurlah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Tanpa mendengar tan
POV Haris (1)Aku adalah laki-laki yang amat sangat beruntung. Memiliki istri yang cantik, cerdas, royal, pengusaha sukses, dan yang paling penting, sangat kaya raya.Dia bernama Laila Hussein. Perempuan keturunan Arab yang memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Anak tunggal dari pengusaha perkebunan teh di Bogor.Setelah orang tuanya meninggal, otomatis aset kekayaan Abi dan Uminya jatuh di tangan Laila.Memiliki harta yang melimpah tidak lantas membuat Laila berpangku tangan. Dia dan sahabatnya membangun perusahaan yang bergerak di bidang periklanan.Bisa dibayangkan, berapa banyak uang dan aset yang Laila miliki. Tapi, itu semua tidak akan berlangsung lama, karena sebentar lagi, harta Laila akan berpindah ke tangan padaku.Diam-diam aku dan Ibu mengambil sertifikat rumah dan membuat surat kuasa pengalihan perkebunan serta mobil pribadi Laila menjadi milikku.Laila memang istri yang baik. Dia ju
PoV HarisAku tak menyangka si Meyla berani bicara seperti itu. Kenapa juga wanita ini bisa tau kalau kami ingin hartanya? Padahal kalau jalan bersamaku, dia yang aku yang traktir.“Hahaha ... Mana mungkin kami ingin harta kamu, Mey. Harta Haris juga sudah melimpah. Bukannya kamu udah tau kalau Haris punya perkebunan teh yang luas di Bogor? Buktinya lagi ya, kalau kamu jalan sama Haris gak pernah ngeluarin uang kan?” Ibu menyangkal dugaan Meyla. Pintar juga Ibu. Aku bahkan tidak sempat berpikir. Terlalu syok dengan pertanyaan Meyla.Meyla tersenyum tipis. Kepalanya manggut-manggut.“Tapi, maaf. Aku gak ingin menikah sekarang-sekarang. Kalau Mas Haris ingin menikah, silakan saja dengan wanita lain.” Aku sudah menduga Meyla akan bicara seperti itu. Wanita seperti dia, mana mau punya suami. Meyla Inginnya kebebasan. Bagi wanita macam Meyla, punya suami Cuma jadi penghalang untuk kariernya. Ibu saja yang ngeyel, maksa terus
Sayup adzan subuh terdengar. Aku menggeliat, menguap, menyibakkan selimut menuju kamar mandi.Dalam sujud kupanjatkan rasa syukur tiada henti atas nikmat sehat dan kemudahan rejeki yang Allah berikan. Tak lupa memohon perlindungan dari orang-orang yang hendak berbuat buruk padaku.Selesai munajat, keluar kamar menemui Bi Inah. Menanyakan Ibu dan Haris pergi jam berapa?Kedua mataku menangkap sosok Ibu yang sedang menata meja makan. Mempersiapkan sarapan seperti biasa. Aku mengucek mata. Memastikan apakah yang aku lihat beneran Ibu atau hanya halusinasi.“Ayo, Laila, sarapan! Ibu udah bikin roti bakar. Rotinya juga udah Ibu kasih mayonese kesukaan kamu.” Ternyata benar itu Ibu. Kenapa dia belum juga pergi?“Kok masih berdiri di situ? Sini sarapan dulu?”Aku berjalan pelan. Menarik kursi lalu duduk.Ibu meletakkan roti bakar di atas piring yang berada di
Haris membisu. Menatap sendu. Lalu ia merunduk. Pertanyaanku tak kunjung dijawabnya.“Sudahlah, aku mau siap-siap ke kantor. Baiknya kalian juga segera berkemas. Sebelum aku usir tanpa membawa barang-barang.” Kataku sambil mengayunkan langkah menuju kamar. Ibu mendengus kesal. Membantu Bang Haris berdiri.“Sudah Ibu bilang, jangan ngemis-ngemis lagi!! Kamu pasti dapet perempuan yang lebih tajir dari si Laila!!” sungut Ibu, suaranya dipenuhi luapan amarah.Pertanyaan yang kutanyakan pada Bang Haris tadi, terjawab sudah oleh omongan Ibu. Untung saja, sejak mengetahui perselingkuhan Bang Haris melalui sambungan telepon tempo hari, Allah sudah menghapus cinta di hati ini, hilang tak berbekas.Usai mengganti pakaian dan memakai sedikit make up, aku menenteng tas bersiap berangkat ke kantor.Terdengar pintu diketuk. Aku mempersilahkannya masuk. Rupanya Bang Haris.“Laila, Abang mau ambil pakaia
PoV IbuRencana yang sudah aku susun bertahun-tahun berantakan. Rencana menjadi orang yang banyak uang dan kaya raya0 abadi sepanjang masa, hancur! Sirna! Tak berbekas!Bahkan uang pemberian Laila yang aku kumpulkan, dan uang penggelapan hasil perkebunan warisan orang tua Laila sudah lenyap. Berpindah tangan pada mantan istri anakku bukan diambil tuyul atau Babi ngepet. Padahal yang aku takutkan selama ini, uang ratusan jutaku diambil oleh Babi ngepet, sampai-sampai gepokan uang itu aku lilit dengan rambut tebal. Ah, sial!!Kulihat Haris yang masih saja diam. Aku jadi bingung, kenapa Haris jadi lembek begitu? Sampai rela menjatuhkan harga dirinya. Mengemis-ngemis pada wanita sombong macam Laila.“Haris! Kamu kenapa dari tadi diam aja? Sikapmu bikin Ibu tambah kesel tau??!” Kusenggol lengan Haris. Ia tak menoleh sedikitpun. Pandangannya masih lurus ke depan.“Harusnya mobil Laila jangan dikasihin! Kalau mobil Lail
POV LailaKetukan pintu membuatku tersadar dari lamunan.“Masuk!” ucapku setengah berteriak.“Tumben ketuk pintu dulu,” Aku menyindir Siska ketika pintu terbuka. Cewek tomboy itu terkekeh. Dia melenggang santai.“Takut ganggu lo!” tukasnya sambil menutup pintu.“Elah. Kerjaan lo kan emang gangguin gue!”“Set dah, calon janda nyindir mulu ....”“Asem!!” Kulempar pulpen ke arah Siska.“Eeiitt ... yang ini jandanya galak euy!”“Diem lo! Rese ah!” Sumpah! Candaan Siska kali ini gak lucu banget. Menyebalkan!Siska justru tertawa melihat ekspresi wajahku. Ia menarik kursi, duduk bersebrangan.“Dua parasit udah lo usir?” Siska bertanya saat tawanya mulai reda. Aku mengangguk, “Udah.”“Alhamdulillah ... berarti bentar lagi lo sah dong menyandang predikat Janda Laila?” Aku melo
“Laila ... kok ngomongnya gitu? Kamu pura-pura marah sama ibu?” tanya Ibu bersuara lembut.“Pura-pura gimana? Dari dulu, aku gak suka pura-pura! Memangnya Ibu yang suka pura-pura! Pura-pura baik, gak taunya jahat! Udahlah, aku mau pulang!”“Maaf, Laila ... ibu khilaf.”“Iya.” Kumatikan sambungan telepon. Memblokir kontak Ibu. Udah gak ada urusan!Bergegas keluar ruangan. Beberapa karyawan menyapaku. Aku membalas tersenyum. Tiba di parkiran, melenggang masuk ke dalam mobil. Lalu menyalakan mesin. Pulang.***Mang Karman membuka gerbang. Tubuhnya setengah membungkuk. Aku memasukan mobil ke garasi. Kemudian keluar, memanggil Mang Karman. Tergopoh-gopoh suami Bi Inah menghampiri.“Ada apa, Non?”“Jam berapa Bang Haris dan Ibunya pergi?”“Tidak lama setelah Non Laila berangkat,” sahut Mang Karman. Kulirik mobi