Share

Perlu dibantu

Janda Lugu Tetanggaku 3

Bab 3

Perlu dibantu

Seperti biasa, kalau pulang kerja nggak bareng Mas Azka, aku mampir dulu ke rumah Mbak Dian yang letaknya persis di depan rumahku.

“Halo?” Sapaku sambil melangkah memasuki halaman rumah Mbak Dian yang asri. Taman kecil di depan rumah Mbak Dian ditanami rumput menghijau. Ada satu pohon mangga di depan rumahnya yang lumayan besar. Bayangan pohon itu meneduhkan teras rumah Mbak Dian.

“Itu, Tante Laras datang.” Mbak Dian yang sedang duduk di teras rumah sambil memangku Lova menunjuk padaku. Baby Lova seakan tau, dia berjingkat dan berteriak melihat dan mendengar suaraku.

“Uluh … Uluh … sayangku Lova, sini sama Tante,” kataku sambil mengambil Lova dari pangku Mbak Dian. Aku menggendong Lova dan membawanya ke bawah pohon mangga. Di situ banyak tergantung tanaman hidroponik koleksi Mbak Dian. Berkali-kali aku mencium pipi chabi Lova karena gemes.

“Gimana wawancara-nya waktu itu, Mbak? Sukses?” Tanyaku sambil berjalan menghampiri Mbak Dian. Aku lalu duduk di kursi teras yang satunya dengan memangku Lova.

“Lancar sih, tinggal tunggu panggilan,” jawab Mbak Dian.

“Melamar bagian apa, Mbak?”

“Kasir, Ras.”

Aku menganggukkan kepala. Mendingan jadi kasir kalau di supermarket, dari pada jadi SPG, berdiri terus, capek.

“Mbak Dian ijazahnya apa, sih, kalau boleh tau?”

“Aku S1,” jawabnya sambil mengulas senyum.

Keningku mengerut, “sama dong, Mbak dengan aku. Kenapa nggak melamar kerja di kantornya aja, Mbak?” Maksudku di kantor supermarket itu.

Mbak Dian menggeleng,”belum ada lowongan katanya.”

“Oh, gitu.”

Menggoyangkan kedua kaki, aku bermain dengan Lova. Gadis mungil itu senang sekali duduk di kakiku yang mengayun, dia tertawa sampai menjerit-jerit.

“Lagian aku pilih kerja yang dekat, kok, Ras, biar irit transport,” kata Mbak Dian.

“Terus yang momong Lova siapa, Mbak?” Aku menoleh.

“Ada, orang kampung belakang.”

“Oh!”

Kasihan Mbak Dian, dia harus bekerja untuk menghidupi anaknya. Kudengar dia juga cuma mengontrak di rumah ini. Mantan suaminya benar-benar kebangetan, dibeliin rumah kek, setelah bercerai, biar punya tempat tinggal untuk anaknya.

Tin!

Suara klakson mobil terdengar nyaring di depan rumahku. Itu Mas Azka pulang. Mbak Dian segera mengambil Lova dariku.

“Suamiku dah datang, Tante pulang dulu, ya, Lova. Mmuuach!” Aku mencium gemes kedua pipi Lova.

Melangkah ringan, aku pulang ke rumah. Mas Azka hanya melirik melihatku datang dari rumah Mbak Dian.

“Mas, ntar malam makan di luar, yuk!” Kataku sambil merangkul suamiku dari belakang. Mas Azka menoleh sekilas.

“Aku lagi malas masak.” bisikku di telinganya.

“Ok,” jawab Mas Azka.

Jam tujuh kurang sepuluh aku dan Mas Azka sudah siap untuk keluar makan malam. Setelah mengunci pintu, aku dan Mas Azka berjalan ke mobil. Kami cuma punya satu mobil dan itu dibawa Mas Azka. Kalau pulang kerja, seringnya aku pakai taksi online.

“Mau makan apa?” Tanya Mas Azka sambil mengaitkan seatbelt.

“Em, apa, ya?” Bola mataku berputar mencari jawaban. “Terserah, deh,” kataku kemudian.

Ck! Terdengar suara decak dari mulut Mas Azka,”kamu itu kalau ditanya makan di mana jawabnya terserah. Ntar diajak makan nasi kucing, ngomel.”

Dih! Mataku melebar melihat Mas Azka. Ngajak istri makan itu ya di tempat yang elegan lah. Buru-buru aku membuang pandangan ke depan. Mobil keluar meninggalkan pagar rumah.

“Eh, Mas, brenti, brenti!” Kataku sambil memukul pelan tangan suamiku yang sedang menyetir. Mas Azka memperlambat laju mobil dan merapat ke tepi. Aku melihat ke belakang.

“Itu, kan, Mbak Dian.” Jariku menunjuk belakang mobil. Mas Azka melihat dari spion.

“Terus kenapa?” Tanya suamiku.

“Kasihan, Mas. Mau ke mana dia itu, pakai gendong Lova juga.” aku membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat.

“Mbak Dian, mau ke mana?” Tanyaku di belakang mobil saat mbak Dian dekat.

“Mau ke depan, beli makan, Ras. Kamu mau ke mana?”

Di depan gerbang komplek, memang banyak penjual makanan kaki lima. Ada nasi goreng, mie tek-tek, martabak, ayam geprek dan juga seafood Lamongan.

Aku melihat baby Lova yang masih melek di gendongan Mbak Dian. Dari jaketnya yang berkerudung, aku melihat matanya yang bergerak mencariku. Kasihan, malam-malam diajak jalan kaki keluar, pasti dingin.

“Kebetulan aku juga lagi mau cari makan. Bareng aja, yuk!” Ajakku.

“Nggak usah, Ras, ngerepotin,” Mbak Dian menolak halus. Sungguh Janda yang lugu dan sopan santun. Tidak mengambil kesempatan meskipun naik mobil lebih nyaman.

“Gapapa, ayo!” Aku memaksa menarik tangan Mbak Dian. Membuka pintu belakang mobil dan mempersilakan Mbak Dian dan anaknya masuk mobilku.

Mas Azka seketika melihat ke jok belakang, wajahnya terkejut.

“Ras, apa-apaan?” Tanya Mas Azka sedikit gusar.

“Mbak Dian mau cari makan, bareng aja,” kataku yang kemudian menutup pintu. Kembali aku duduk di depan sama Mas Azka yang cemberut. Suamiku ini pelit banget sih, cuma dinunutin mobil aja mukanya masam. Aku melirik.

“Maaf, ya, Ka, ngerepotin.” Mbak Dian berkata pada suamiku sungkan. Kulihat mata Mas Azka bergerak melihat spion atasnya.

“Gapapa, Mbak, suamiku baik, kok,”aku menoleh Mas Azka dengan senyum manis, “ iya, kan, sayangku?”

Huh! Terdengar dengusan kecil dari suamiku. Dih! Malu-maluin nih Mas Azka, ketahuan kalau nggak suka Mbak Dian ikut.

Selesai makan, aku berniat mampir ke minimarket untuk membeli pembalut, kebetulan aku lagi kedatangan tamu bulanan.

“Mas, mampir minimarket depan, aku mau beli sesuatu,” kataku menunjuk sebuah minimarket di depan. Mas Azka pun membelokkan mobil.

“Bentar, ya, Mbak. aku menoleh ke belakang pada Mbak Dian. Mas Azka keluar dari mobil. Ah, Mas Azka ini sengaja keluar duluan karena nggak mau nunggu di mobil sama Mbak Dian. Aku hanya dapat menghela nafas dengan kelakuan suamiku yang kurang adab.

“Eh, Ras, aku ikut dong.” Mbak Dian beringsut mau keluar. Aku melihatnya kasihan, apa lagi kulihat Lova sudah tertidur di gendongannya. Kasihan, Mbak Dian pasti repot.

“Mas!” Aku memanggil suamiku yang berjalan-jalan tak jauh dari mobil. Dia menghampiri.

“Napa?” Tanyanya.

“Mbak Dian mau belanja juga tapi, Lova nya tidur. Tolong kamu gendong bentar, dong.” Wajahku memohon dan mata ini berkedip kedip manja. Mas Azka melebarkan mata sekilas, tapi bersedia menggantikan Mbak Dian menggendong Lova. Hahaha aku tertawa melihatnya.

Aku hanya mengambi pembalut satu wadah saja sedangkan Mbak Dian masih berkeliling mendorong trolley belanja.

“Udah, Mbak?” Tanyaku. Mbak Dian mengangguk. Melihat ke trolley ada susu formula ukuran besar, Pampers, minyak telon, telor, minyak goreng dan beberapa barang lainnya. Rupanya Mbak Dian belanja banyak.

“24 ribu, Mbak,” kata Kasir setelah menghitung belanjaanku.

“Em, itu sekalian, Mbak.” aku menunjuk belanjaan Mbak Dian di trolley. Kasir mengangguk.

“Malah dibayarin, makasih, ya, Ras.” Mbak Dian tersenyum senang. Alhamdulillah, aku juga senang bisa menolong orang.

Semua belanjaan Mbak laras 160 ribu. Gegas aku mengeluarkan kartu debet milikku untuk membayar, sekalian dengan pembalutku tadi. Kebetulan, tadi Mas Azka habis gajian dan dia sudah mentransfer jatah bulanan untukku yang jumlahnya cukup besar. Beramal sedikit untuk seorang Janda akan dapat pahala berlipat katanya.

“Mas, tolong bawain belanjaan Mbak Dian ke rumahnya, dong,” kataku setelah sampai di rumah. Kening Mas Azka mengerut.

“Kamu, dong,” jawabnya sengit. Weii.

“Yang pantas bawa barang berat kan, laki.” protesku merajuk. Mas Azka menggeleng. Aku melihat Mbak Dian yang kerepotan menggendong Lova sambil menenteng belanjaan. Geram dengan Suami, aku berteriak,

“Mas, bantuin, dong!” Mataku melebar. Sedikit menghentak kaki, suamiku berjalan memutar. Dia mengambil plastik hitam berisi belanjaan dan berjalan cepat membawanya ke rumah Mbak Dian.

“Maafin Mas Azka kalau kasar, ya, Mbak.” aku menunduk, nggak enak hati sama Mbak Dian yang lugu ini. Dasar Mas Azka, awas nanti di rumah, bakalan tak hihh!

“Gapapa, Laras. Terima kasih, ya, sudah dibantu,” ucap Mbak Dian lembut, seperti berbicara pada adiknya sendiri. Awww … jadi terharu. Mbak Dian memang berhati emas.

“Mas, kamu ini kenapa sih, kek ya nggak suka banget sama Mbak Dian?” Tanyaku saat berdua di kamar. Aku berdiri di samping tempat tidur sambil mengusapkan kapas pembersih ke wajah. Mas Azka melihatku dari bawah ke atas.

“Kenapa aku harus suka sama dia?” Tanyanya dengan wajah sinis.

Elahh, dasar laki nggak peka.

“Mbak Dian itu Janda, Mas. Perlu dibantu!”

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status