Akbi mengetuk-ngetukkan penanya di atas meja, pikirannya melayang memikirkan tentang pertemua dengan Bee-gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Sama seperti dirinya, ternyata Bee juga terjebak dengan perjodohan ini.
Menurut Akbi, Beni sangat licik karena telah menjadikan biaya rumah sakit Ayah Bee sebagai pengikat agar gadis itu mau mengikuti keinginannya.
Padahal menurut pengakuan Aldo, Johan tidak sempat melakukan operasi karena ajal terlanjur menjemput.
Beni hanya membayar biaya rumah sakit Johan selama beberapa minggu dirawat hingga membiayai jenazah sampai dikebumikan.
Akbi meraup wajahnya dengan kedua tangan, ancaman Beni mengenai dirinya dan surat cerai yang akan dilayangkan kepada sang Mama begitu membebani pikirannya.
FLASHBACK ON
“Enggak, Pa! Papa enggak bisa seenaknya gitu nikahin Akbi sama perempuan lain! Papa ‘kan tau kalau Akbi punya pacar ... Akbi cuma mau nikah sama Anggit, titik!” Akbi berseru kemudian beranjak dari sofa ruang televisi.
Ia begitu murka setelah lelah pulang bekerja harus dihadapkan dengan permintaan sang Papa yang menginginkannya menikahi anak dari sahabat beliau.
“Pa, jangan sembarangan gitu ah ... Mama udah kenal baik sama Mamihnya Anggit, enggak enak kalau tiba-tiba Akbi harus putus sama Anggit ... mereka udah pacaran lama Pa, lagian Papa suka aneh-aneh deh!” tukas sang Mama yang sama herannya dengan Akbi.
“Dari awal Papa enggal suka sama pacar kamu itu, kamu masih aja sama dia ... Akbi, Papa mohon ikuti keinginan Papa ... hanya itu permintaan Papa, mungkin permintaan terakhir sebelum Papa meninggal,” ancam Beni terdengar menyebalkan di telinga Akbi.
“Enggak Pa, mohon maaf Akbi enggak bisa ngikutin keinginan Papa dan Papa enggak akan meninggal secepat itu, okay? Udah ya Akbi capek, Akbi ke kamar dulu.”
Ia beranjak mulai melangkah meninggalkan ruang televisi namun urung ketika mendengar suara sang Papa.
“Kalau kamu enggak mengikuti keinginan Papa, kamu bisa tinggal di Sydney sama kakek nenek kamu dan semua fasilitas akan Papa tarik,” ancam Beni dan Akbi tau Papanya tidak sedang bercanda.
Akbi memutar tubuh demi bisa menatap Papanya yang telah menampilkan wajah serius dengan sorot mata tajam.
Tinggal di Sydney bersama kakek dan neneknya adalah hal terakhir yang mungkin akan ia lakukan di dunia ini sebelum kiamat, selain itu harus berjauhan dengan Anggit, Akbi tidak akan pernah mau.
Kakek dan neneknya begitu keras melebihi sang Papa, mana bisa ia main-main dalam bekerja apalagi keluyuran balapan motor melakukan apa yang merupakan hobbynya.
“Pa!” seru Mama tidak terima.
Baru beberapa bulan mereka kembali ke Indonesia dan berkumpul dengan sang anak namun dengan kejam suaminya malah ingin mengirim Akbi ke luar negri.
“Lalu perusahaan?” Akbi bertanya dengan nada menantang sambil sedikit mendongak.
“Di Indonesia ini banyak pengangguran yang lebih kompenten dari kamu yang bisa menjalankan perusahaan ... Papa bisa cari, selama ini kerjaan kamu cuma balapan motor dan pacaran, kamu enggak serius jalanin perusahaan Papa.”
Jawaban sang Papa tentu saja bagaikan sebuah tamparan di wajah Akbi.
Selama ini Akbi memang tidak menjalankan perusahaannya dengan baik, ia lebih sering hangout menghamburkan uang bersama teman dan kekasihnya.
Ia juga lebih suka ikut balapan motor dibanding berada di kantor memimpin rapat.
“Papa enggak bisa gitu sama anak Papa sendiri,” kata Mama dengan nada tinggi penuh emosi.
Sang Mama memang tidak pernah memakai sopan santunnya di hadapan suami.
Diana kerap kali meninggikan suara membentak Beni, bahkan beberapa belas tahun pernikahannya dihabiskan dengan pertengkaran dan percekcokan tiada akhir.
“Kenapa Papa enggak bisa? Bahkan melayangkan gugatan cerai pun Papa bisa kalau terlalu jengah karena tidak dihargai dan selalu dibantah oleh anak dan istri sendiri,” pungkas Beni dengan suara tenang namun mampu menghanyutkan Diana dan Akbi.
Akbi dan Diana tidak berkutik, keduanya saling pandang bahkan Akbi langsung terduduk kembali di single sofa di hadapan sang Papa.
Akbi memang tidak menyukai kelakuan Diana yang lebih senang berada diluar rumah bersama sahabat-sahabatnya sambil menghambur-hamburkan uang tanpa memperdulikan keluarga.
Tapi alasan Akbi masih menurut dan bertahan di rumah ini adalah juga demi mereka.
Diana sering meninggalkan Beni untuk staycation di luar negri dengan para sahabatnya yang berstatus janda.
Diana juga jarang memperhatikan Akbi membuat anak laki-laki satu-satunya itu tidak terlalu dekat dengannya.
Terlebih semenjak lulus kuliah Akbi tinggal di Indonesia bersama Yuda-adik dari sang Papa, memegang perusahaan Beni dengan bantuan Yuda yang menyayanginya seperti anak sendiri.
Akan tetapi Akbi tidak ingin orang tuanya bercerai, ia masih memiliki harapan bila suatu hari kedua orang tuanya bisa rukun seperti dulu.
Dan ancaman perceraian yang untuk pertama kali Beni ucapkan itu membuat hati Akbi melunak.
“Besok Akbi kasih keputusan dan alasannya, biar Akbi berpikir dulu malam ini,” kata Akbi dengan suara pelan.
Akbi menatap sang Mama seolah berkata bila ia akan berusaha mempertahankan rumah tangga orang tuanya meski kedua orang tua itu seolah enggan untuk menjaga keharmonisan mereka.
Akbi kemudian beranjak dari sofa menuju kamarnya.
Merogoh saku celana untuk mencari ponsel yang sedari tadi tidak berhenti bergetar.
Bibirnya tersenyum ketika wajah cantik sang kekasih memenuhi layar ponsel kemudian ibu jari Akbi refleks menggeser icon hijau.
“Sayaaaang, kenapa sih lama banget jawabnya? Kuping aku panas ngedenger nada panggil kelamaan!” seru sang kekasih memprotes dari sebrang sana.
“Maaf, tadi ngobrol dulu sama Papa sebelum naik ke atas ... kamu udah makan?” balas Akbi penuh perhatian.
“Ngobrolin apa sama Papa kamu? Ngobrolin aku enggak? Kapan sih Papa kamu mau nerima aku jadi mantunya? Ini udah lima tahun loh yank, bilang sama dia kalau pekerjaan menjadi selebritis itu bukan pekerjaan hina,” tutur Anggit panjang lebar memekakkan telinga Akbi namun karena rasa cinta dan sayangnya, Akbi memaklumi.
Justru saat ini ia merasa sangat berdosa kepada Anggit karena harus mempertimbangkan keinginan Beni untuk menikahi gadis lain.
“Halloooo, Biiii ... kamu denger aku, kan?” teriak Anggit dari sebrang sana.
“Iya sayang, aku denger ... tadi hanya bicara bisnis,” saut Akbi berdusta.
“Oooo, ya udah ... mandi dulu gih ... aku mau ijin, Melani ngajak clubbing sambil ketemuan sama produser dari salah satu stasiun televisi, aku boleh kesana enggak? Sapa tau dapet job?” tanya Anggit meminta ijin dengan suara manjanya.
“Boleh sayang, jangan nakal trus jangan mabuk ya ... kalau ada apa-apa telepon aku.”
“Oke sayang, thank you handsome ... .”
Anggit mengakhirinya dengan sebuah kecupan di udara membuat Akbi tertawa pelan.
Akbi mengenal Anggit cukup lama dan telah lima tahun ini mereka bersama.
Pekerjaan Anggit yang merupakan model dan seorang aktris membuat dunia gemerlap bukan hal aneh bagi gadis itu.
Akbi juga memberikan kepercayaan penuh untuk Anggit karena selama ini ia mengetahui dengan siapa Anggit berteman dan sudah mengenal dekat manager dari kekasihnya.
Semalaman ia berpikir, jalan apa yang harus di ambil untuk mengatasi masalah perjodohan ini.
“Anak temen Papa yang mana yang harus Akbi nikahi?” Akbi bertanya di tengah-tengah sarapan bersama kedua orang tuanya.
Beni dan Diana tentu saja tidak percaya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut anak semata wayangnya, kepala mereka hingga terangkat demi bisa menatap wajah Akbi.
“Anaknya Miranda dan Johan Wijayakusuma, teman Papa kuliah dulu.”
Prank.
Sebuah piring melayang membentur kaca besar yang memisahkan ruang makan dengan area kolam ikan.
“Miranda perempuan yang kamu cintai itu? Iya? Belum move on kamu Mas sama Miranda sampai-sampai anak kamu juga harus dinikahkan dengan anaknya? Kamu harusnya tau diri, Miranda itu tidak mencintai kamu makanya dia menikah dengan Johan, sahabat kamu sendiri!” Diana berseru sambil berdiri dengan wajah garang menakutkan.
Akbi mengembuskan nafas kasar sambil membuang tatapannya ke arah lain, pembahasan ini selalu saja membuatnya muak.
“Miranda sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu dan Johan baru meninggal kemarin di rumah sakit tempat Papa berobat, anaknya sebatang kara dan sebelum meninggal Johan menitipkannya pada Pap—“
“Dan kamu tidak memiliki kewajiban untuk mengurus anak itu, Mas!” sela Diana geram.
“Papa punya kewajiban moral Ma, dia anak sahabat Papa ... sekali lagi Papa tekankan kalau dia sebatang kara.”
“Tapi bukan berarti juga harus dinikahkan sama Akbi, Pa!” protes Akbi dengan alis menukik tajam tidak terima.
“Betul, tapi dengan kamu menikahi Bee ... kamu akan lepas dari perempuan matre itu dan kamu akan menjadi pria bertanggung jawab!” ucap Beni mantap dengan penuh percaya diri.
Akbi mengembuskan nafas kembali sambil merotasi bola matanya.
Dari mana Ayahnya memiliki pikiran seperti itu?
Memangnya gadis itu sehebat apa hingga bisa merubahnya?
“Ma, tolong ... terima permintaan Papa, selama ini Papa selalu membiarkan Mama berbuat sesuka hati, tapi untuk yang satu ini ... tolong terima Bee jadi anak mantu Mama, lupakan masa lalu Papa ... semua itu telah berlalu.”
Beni merendahkan nada suaranya agar sang istri mengerti.
Diana kembali duduk, wajahnya memberengut kesal.
Diana diam saja tidak menanggapi, sama halnya dengan Akbi yang nampak pasrah di hadapan Beni.
FLASHBACK OFF
Satu hembusan nafas Akbi keluarkan, ia meraih ponsel di atas meja untuk menghubungi Anggit dan akan membicarakan masalah ini.
Berharap sang kekasih memahaminya karena mau tidak mau Akbi harus menerima pernikahan tersebut demi kedua orang tuanya juga demi perusahaan Beni.
Hujan yang semakin deras tidak membuat Bee mempercepat langkahnya.Ia menikmati ketika air hujan mengguyur dari kepala hingga kaki membuat basah seluruh tubuh.Sudah hampir satu jam Bee berjalan di trotoar menyebrangi kota untuk dapat tiba di rumah kontrakan.Uang yang Beni berikan dua minggu lalu hampir habis dan Bee harus hemat dalam memanfaatkan uang yang tersisa agar cukup hingga suatu saat nanti Beni mengabarkan kepadanya mengenai pernikahan.Jujur, saat ini Bee mengharapkan kekasih Akbi menyetujui rencananya.Anggaplah Bee gadis tidak memiliki harga diri, bersedia menikah dengan pria yang tidak dicintai demi masa depannya.Tapi ia memang sangat membutuhkan itu, Bee harus melanjutkan kuliah dan padatnya jadwal kuliah ditambah banyak mata kuliah yang harus dikejar karena setahun ke belakang waktu kuliahnya tersita untuk menemani dan mengantar Johan bolak balik ke rumah sakit.Kerja sambil kuliah tidak masuk dalam keadaan Bee saat ini, dan agar ia bisa lulus kuliah maka menikah den
“Yank ... yank, denger aku dulu!” Akbi memohon kepada kekasihnya.Sambil menghentakkan kaki, Anggit masuk terlebih dahulu ke apartemen mewah yang dibelikan Akbi.Perempuan itu begitu murka ketika sedang makan siang tadi di restoran mendengar ucapan Akbi yang menyebutkan bila lelaki itu telah dijodohkan dengan anak dari sahabat sang ayah.Meskipun Akbi menjelaskan bila sudah ada perjanjian antara dirinya dan gadis itu yang tidak akan mempengaruhi hubungan mereka selama satu tahun mereka menikah tapi tetap saja Anggit merasa ragu juga kesal.“Aku enggak rela jadi pelakor di mata publik padahal seharusnya dia yang menjadi pelakor,” sentak Anggit geram.“Sayang, denger dulu ... enggak ada yang jadi pelakor di sini, kamu tetap pacar aku dan perempuan itu juga aku hanya bersandiwara mengikuti keinginan Papa, kamu tau ‘kan gimana Papa? Dia akan mengambil semua fasilitas mewah ini dan mengirim aku ke Sydney kalau aku ga nurut sama keinginannya!” bujuk Akbi membuat Anggit sedikit melunak.“Gim
“Mau kemana?” tanya Verro ketika melihat mantan kekasih Kakak sepupunya lari terbirit-birit ke luar dari kelas.“Ada perlu sebentar,” Bee menjawab sambil menjauh.Verro berlari mengejar Bee hingga depan kampus.“Gue anter Bee, mang lo mau kemana sih?” tanya Verro dengan nafas tersengal.Lelaki itu membungkuk, telapak tangannya tersimpan di kedua lutut.Menghirup udara untuk memberi pasokan oksigen pada paru-paru setelah jauh berlari mengejar Bee.“Banyakin olah raga Ver,” celetuk Bee kemudian tertawa pelan menertawakan Verro yang kelelahan mengejarnya.Bee memberhentikan angkutan umum kemudian menaikinya.“Verro, ngapain ikut?” Bee mendorong tubuh Verro agar turun dari angkutan umum namun tenaga Verro cukup kuat sehingga tubuhnya bisa masuk sempurna ke dalam mobil tersebut.“Abis lo enggak jawab mau kemana, enggak mau dianter juga!” kesal Verro sambil mengelap keningnya dengan punggung tangan.Lelaki itu juga mengelap kacamatanya yang berembun dengan ujung kaos.“Ya ngapain juga kamu
“Bee!!” Suara bariton seorang pria yang begitu familiar ditelinganya membuat Bee menghentikan langkah.Aldo, lelaki itu melambaikan tangan dengan ekspresi datar seperti biasa bahkan nyaris garang karena tidak pernah ada senyum di bibirnya.Bee memutar tubuh, melangkah santai tidak terburu-buru menghampiri Aldo.Pria itu datang ke kampusnya seperti ini pasti ada yang perlu disampaikan mengingat pernikahannya dengan Akbi hanya tinggal hitungan jam.“Ada apa Kak Aldo kesini?” Bee bertanya setelah sampai tepat di depan Aldo.“Lelet! Ayo masuk ke dalam mobil!” gerutu Aldo mencela namun tangannya menarik handle pintu mobil hingga pintu itu terbuka untuk Bee.“Mau kemana?” Bee bertanya kembali tanpa menyerah meskipun Aldo jarang menjawabnya.“Beli cincin kawin,” balas Aldo lalu menutup pintu mobil setelah Bee berada di dalam.Pria itu memutar setengah bagian mobil kemudian duduk di kursi penumpang di samping driver.Bee tidak bersuara selama perjalanan, ia termenung menatap jendela di sampi
“Bi, lepas ... kamu nyakitin aku!” protes Bee dengan nada rendah setelah menaiki lift yang membawa mereka menuju basement.Tatapan mata tajam Akbi langsung menghujam Bee yang juga kesal karena lelaki itu berbuat kasar.Sesaat mereka saling melempar tatapan tajam kemudian Akbi melepaskan cengkramannya di tangan Bee.Bee mengusap pergelangan tangannya yang sudah memerah kemudian meniupnya berharap bila nyeri dan warna merah itu akan pudar.“Lebay!” gumam Akbi yang masih terdengar oleh Bee.“Ini merah Bi, trus sakit ... kamu terlalu kencang narik tangan akunya,” balas Bee dengan suara rendah dan lebih tenang.Akbi tidak sudi menjawab, bibirnya bungkam hingga keduanya berada di dalam mobil.“Bi, aku lapar ... bisa kita makan dulu?” Akbi berdecak sebal kemudian menatap Bee sekilas sambil menautkan alis.“Gue mau ketemu Anggit, dia udah nungguin gue ... lo pesen makan aja dari rumah,” balas Akbi ketus.“Oh ... ya udah.” Setelah mendengar kalimat itu, Akbi menginjak pedal gasnya kencang me
“Ngapain lo di sini? Sama cewe cantik lagi ... tumben lo selingkuh dari si artis itu,” adalah Raka, sahabat Akbi yang paling senang berseloroh.Akbi malas menjawab, ia menenggak air di gelas hingga tandas.“Mana motor gue, balapan di mana sekarang?” tanya Akbi.“Nih kuncinya, tapi sekarang lo harus hati-hati ... si David ikut juga, dia saingan berat lo!” kata Zidan yang baru saja memasuki tenda.Akbi berdecih, meremehkan kemampuan lawannya yang menurut Akbi masih jauh di bawah dirinya.“Kamu temennya Akbi? Namanya siapa?” Raka bertanya dengan suara pelan sambil mengulurkan tangan.“Jauhin tangan lo dari dia,” sentak Akbi tegas membuat Raka menarik kembali tangannya tapi Bee malah menyambarnya.“Aurystela Akkeu Quinbee ... panggil aja Bee,” ucap Bee sambil menjabat tangan Raka.Akbi menatap Bee tajam hingga terdapat kerutan di antara alisnya, baru saja dalam hati ia memuji sikap Bee yang melayaninya dengan baik kini gadis itu malah menyambut tangan lelaki lain dengan ramah.Lalu kenapa
FLASH BACK ON “Siapa si Bee itu?” Zidan bertanya kepada Akbi sementara Raka sibuk mengecek motor yang akan dipakai balapan oleh sahabatnya.Tatapan Akbi menerawang ke depan seperti sedang mengamati track tempatnya balapan tapi Zidan yang sudah cukup lama mengenal Akbi, mengetahui bila tatapan itu kosong.Akbi mengembuskan nafas kasar kemudian menjawab, “Anak dari sahabat bokap gue semasa kuliah dan besok gue mau dinikahin sama dia.” “Waw ... selamat, bro! Lo beruntung!” Zidan berseru bahagia sampai bertepuk tangan lalu mengulurkan tangan untuk Akbi jabat namun Akbi hanya melihat tangan Zidan yang menggantung dengan tatapan tajam sesaat kemudian mengalihkan tatapannya kembali ke arah jalan.“Kenapa? Kalau lo enggak suka buat gue aja!” cetus Zidan dengan ekspresi serius.“Gue mau ko gantiin lo nikahin dia, besok ‘kan?” tambah Zidan lagi namun aura kelam yang membayangi wajah Akbi malah semakin pekat.“Apaan, tadi gue mau salaman cuma ngajak kenalan aja malah dibentak sama dia!” gerutu
“Kenapa lo enggak nolak?” Akbi bertanya dengan suara tertahan dan ekspresi geram setelah Beni pergi.Tanpa perasaan, ia juga mencengkram lengan atas Bee hingga gadis itu mengaduh.“Sakit Bi, tolong lepasin dulu!” Bee memohon dengan suara rendah.“Aku enggak tega nolak permintaan Papa,” jawab Bee jujur.“Lo pikir gue mau pergi bulan madu sama lo apa?” bentaknya dengan ekspresi geram.“Kamu enggak usah pergi, biar aku sendiri yang pergi ... atau kamu mau pergi sama Anggit? Biar aku yang enggak pergi ... yang penting Papa taunya kita pergi,” balas Bee memberi penawaran sambil menatap netra pekat Akbi yang sedang menatapnya tajam.“Kamu akan menyesal bila nanti sudah kehilangan Papa dan teringat pernah enggak ngikutin keinginannya ... setelah Papa meninggal, jutaan rupiah bunga untuk di tabur di atas makam beliau tidak akan berarti apa-apa,” sambung Bee lagi dengan genangan di pelupuk mata.Kehilangan kedua orang tua membuatnya selalu mengalah terhadap setiap keinginan Beni yang sekarang