Enjoy reading 😘
Cari siapa?" tanya suara wanita dari dalam rumah. Pintu pun terbuka perlahan, nampak wanita yang umurnya tidak terlalu jauh dari ibunya keluar dari dalam dengan alis yang mengerut. "Cari siapa?" tanyanya lagi. "Selamat sore, benar rumah Gendis?" tanya Sakti memastikan, karena saat di anak tangga pertama rumah susun tadi dia bertanya pada seseorang dimana letak rumah yang didiami oleh Gendis dan keluarganya. "Benar, tapi Gendis sedang kerja, pulangnya mungkin malam, karena masuk shift siang," kata Wati memperhatikan penampilan Sakti dari bawah hingga ke atas. "Anak ini siapa?" tanyanya. "Siapa, Bu?" Suara bariton terdengar dari dalam melangkah menuju pintu rumah. "Saya teman Gendis, Pak ... Bu," jawab Sakti mengulurkan tangannya. "Sakti," ujarnya lagi. "Oh," ujar Hendro dan Wati bersamaan. 'Ada perlu apa?" tanya Hendro masih memperhatikan Sakti dengan seksama. Sejak kapan Gendis berteman dengan lelaki ini, setahu Hendro hanya Arya dan Andi. Lelaki yang berada di hadapannya ini
Berjalan beriringan sampai di depan gang rumah susun, saling diam melirik pun tidak, asyik dengan pikiran masing-masing. Makan malam yang diwarnai obrolan seru dari seorang supir bemo yang menceritakan awal mula perantauannya ke ibu kota. Sakti benar-benar tidak membayangkan bagaimana perjuangan suami isteri itu menghidupi keluarganya. Sementara Gendis dengan pikiran atau lebih tepatnya menahan amarah pada lelaki di sampingnya itu. Bagaimana mungkin lelaki itu selama dua hari berturut-turut bertandang ke rumahnya. Teman lama katanya, darimana kebohongan itu tercipta. Sakti menggulir layar gawainya, mencari aplikasi taksi online yang akan mengantarkannya kembali ke apartemen malam itu. "Makasih makan malamnya," ujar Sakti. "Makasih sama ibu, dia yang ngajak kamu makan malam," sahut Gendis menatap hilir mudik kendaraan di depan mereka. "Sayur asem nya enak ... ternyata rasanya nggak asem tapi manis," kata Sakti lagi. "Ya iyalah, kalo manis namanya sayur manis," jawab Gendis masih m
Sakti melepaskan pagutannya, kening mereka masih menyatu bahkan bibir Gendis masih basah karena ulah Sakti. Baru saja Sakti ingin menautkan kembali bibirnya, Gendis menarik diri. Melepaskan tangan Sakti yang berada di tengkuk lehernya. "Aku minta maaf," ujar Sakti menahan tubuh Gendis. "Aku minta maaf karena nggak cerita dari awal ke kamu. Aku minta maaf karena aku sudah buat kamu kecewa." Gendis melepaskan tangan Sakti dari lengannya. "Please Gendis, maafin aku," bisik Sakti dari belakang tubuh Gendis. Bisa di ciumnya harum tubuh Gendis, bisa di ciumnya semerbak wangi shampoo yang Gendis pakai, bisa dirasakannya tubuh Gendis menegang karena sentuhan lembut tangannya di lengan gadis itu. "Aku punya masa lalu, kelam kata orang, bebas terlalu bebas. Tapi apa untuk orang seperti aku nggak ada kesempatan untuk berubah? berubah jadi lebih baik lagi. Apa nggak di bolehin aku insaf, tobat atau apalah itu. Salah, ya?" "Aku tau kamu kecewa, aku tau kamu takut kejadian Rika bisa aja menimpa
"Sakti ...," panggil suara wanita itu. "Itu dia datang," ujar Sakti, beranjak dari tempat duduknya menyambut wanita itu. "Kenapa datang sama dia?" tanya Sakti, sementara gadis yang dia bicarakan hanya tersenyum padanya. "Sekalian, setelah ini Mama mau ke butik," ujar Hanna. "Mana?" tanya Hanna "Oh iya." Sakti menoleh ke belakang, Gendis sudah berdiri di sana. "Sini ... kenalin, ini—" "Ya ampun, ternyata ini ... cantik, pantas aja sampe babak belur," ujar Hanna mengulurkan tangan pada Gendis. "Saya Hanna, mama nya Sakti. Ini Tari, adiknya Sakti," kata Hanna. "Tari," ucap Tari. "Cantik, Mas ... pantesan rela babak belur," ujar Tari sambil tersenyum. "Babak belur?" Gendis heran. "Oh, berarti luka di pelipis kamu itu—" "Katanya jagoan," goda Hanna menarik kursi duduk di hadapan Gendis. "Gendis ini yang tinggal di rumah susun itu, kan? gara-gara Gendis sekarang Sakti sering pulang ke rumah. Waktu pertama kali Mama di ceritain, Mama nggak percaya masa seorang Sakti bisa dapet gadis m
Gendis dan Tari duduk di ujung kafe menunggu Hanna yang masih bertemu dengan salah satu pemilik butik di seberang kafe itu. Ini adalah kali ketiga pertemuan mereka, ada saja Hanna atau Tari tiba-tiba mengirim pesan untuk bertemu, sekedar makan atau menemani Hanna berbelanja. "Ibu itu, orangnya asyik Mbak. Beda dengan bapak ... bapak kalo dengan orang lain terkesan dingin. Tapi beda kalo sudah berdua dengan ibu," jelas Tari. "11 12 sama Mas Sakti kalo bapak itu, kalo ngeliat kita pertama kali kayak berasa mau nelan orang. Serem," kekeh Tari. "Tari betah ya tinggal dengan mereka?" tanya Gendis. "Iya, karena memang dasarnya baik sih, jadi ya aku nikmati aja. Apalagi sampe di sekolahin, Mbak ... entah apa aku harus balas semuanya." Raut wajah Tari bersinar. "Tari beruntung," ujar Gendis. "Iya, tapi terkadang banyak juga yang merasa nggak suka sama aku, Mbak. Padahal ibu dengan suka rela menolong aku dan panti asuhan." "Enggak suka gimana?" tanya Gendis mengerutkan alisnya. "Mereka k
"Ngapain kamu kesini? belum puas kamu hancurin hidup aku?!" Rika berteriak hingga seluruh mata menatap dia dan Reno, saat Rika keluar dari ruang terapinya. "Sus, tolong di percepat antar saya ke mobil," ujar Rika pada perawat yang mendorong kursi rodanya. "Ka ... tolong denger dulu. Aku minta maaf, aku salah Ka. Kita bisa bicara baik-baik," mohon Reno. "Sus, tolong lebih cepat." Rika mengacuhkan Reno hingga sampai di depan lobi, supir Rika sudah menunggu. "Ka ...." "Cukup, Reno! Kamu mau bicara baik-baik yang seperti apa? semua sudah aku lakukan, sampai bersimpuh di kaki kamu pun sudah aku lakukan, kalo dulu kamu meng-iyakan permintaan aku, ini semua nggak bakal terjadi. Anak aku pasti masih ada! Hanya sampai dia lahir, lalu kita berpisah hanya itu keinginan aku ... aku nggak nuntut apa-apa. Sekarang setelah dia pergi, kamu baru mau bilang AYO BICARA BAIK-BAIK! kamu nggak punya OTAK! kamu nggak punya PERASAAN!" Suara Rika meninggi, emosinya meledak, semua mata tertuju pada mereka
Sudah 20 menit Sakti duduk di ruang tamu sekaligus ruang keluarga rumah Gendis. Sesekali dia melirik Gendis yang duduk di sampingnya sedang melipat baju-baju yang baru saja Gendis angkat dari tempat jemuran. Satu cangkir berisi teh manis hangat pun sudah di sediakan Gendis untuk Sakti. Terkadang tangan usil Sakti dengan sengaja menusuk pinggang gadis itu, hingga mata Gendis melotot alih-alih takut kelakuan kekasihnya itu ketahuan oleh orang di rumahnya. "Itu pakaian dalam kamu?" bisik Sakti saat tangan Gendis melipat pakaian dalam berwarna hitam dengan renda di tengahnya. "Sakti!" geram Gendis dengan mata membola. "Apa?!" Sakti menjawab seraya berbisik. "Usil," ujar Gendis dengan senyum terkulum. "Aku nanya, Gendis. Bener nggak?" Tangan Sakti lagi-lagi mencubit kecil pinggang Gendis "Apaan sih?" Cepat-cepat Gendis memindahkan pakaian dalam miliknya. "Lucu," kekeh Sakti. Suara Hendro yang baru saja datang membuat pasangan kekasih itu menoleh ke belakang. Hendro dengan handuk kec
"Aku sebentar lagi kesana, jangan gugup santai aja," ujar Sakti pada Gendis melalui sambungan telepon pagi itu. "Tunggu aja, ya." Sambil meyakinkan Gendis agar kekasihnya itu tetap percaya diri saat menghadapi sidang skripsi pagi ini. Baru saja Sakti menyudahi percakapannya dan bersiap untuk menemui kekasihnya, Satyo Anggara datang tiba-tiba dan duduk di sofa ruangan itu sambil menyilangkan satu kaki ke kaki yang lainnya tanpa melihat Sakti. "Malam nanti ikut Papa sama Mama makan malam di restoran tempat biasa, Sak ... teman Papa dari Jerman mengundang kita untuk bertemu dengan keluarganya," ujar Satyo. "Oh ... tapi, aku mungkin agak sedikit telat." Sakti menutup laptopnya lalu melangkah mendekati sofa dan duduk di sana. "Papa tunggu, karena ada pembicaraan yang harus di bahas juga nantinya, Papa buruh persetujuan kamu." Satyo memperhatikan gerak gerik Sakti. "Kamu mau kemana? meeting?" "Ada pertemuan di luar, mungkin sampai sore. Mungkin nanti aku agak telat sampai di restoran. M