“Jadi, kita makan dimana?” Laura menutup pintu mobil di sisi tubuhnya dan memasang sabuk pengaman. Ia menatap pria di sampingnya yang sedang sibuk menghidupkan mesin mobil. Dylan nampak berpikir sejenak sambil memutar bola matanya ke atas. Gestur yang terlihat menarik di mata Laura. Ini kali pertamanya ia melihat Dylan bersikap santai di depannya. Biasanya laki-laki itu selalu terlihat tegang atau serius. Melihatnya memutar bola mata seperti itu tampak lucu di mata Laura. Tanpa sadar ia menunggu jawaban Dylan sambil tersenyum mengamati bagaimana wajah laki-laki itu berubah. Lalu satu menit kemudian, ia kembali menatap Laura dengan senyum mengembang. “Aku mau memperkenalkan kamu sama seseorang.” Laura mengerutkan kening mendengar jawaban Dylan. Sebenarnya ia sedikit keberatan. Pasalnya dirinya bukanlah seseorang yang mudah akrab dengan orang lain. Bukan seseorang yang pandai berbasa-basi atau mencairkan suasana. Tidak. Ia sama sekali bukan jenis orang seperti
“Kenyangnya,” gumam Laura sembari mendorong piringnya yang telah kosong. Chiken katsu yang beberapa menit lalu terhidang di depanya sudah ludes masuk ke dalam perutnya yang keroncongan. Membuat laki-laki yang duduk berhadapan dengannya tersenyum melihat wajahnya yang kembali berseri.“Enak?” tanya Dylan.“Enaklah. Restaurant kelas begini mana mungkin makanannya gak enak. Apalagi gratis.” Ia menyunggingkan senyum. Membuat Dylan semakin gemas dan ingin mentoel dagunya yang belah. Namun laki-laki itu berusaha menahannya, hanya menyunggingkan senyum yang sulit ditahan. Laura kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Menatap langit-langitnya yang tinggi dan nampak megah dengan lampu gantung yang terlihat mewah. Serta aroma makanan yang sungguh memancing mulut untuk tak berhenti makan.“Kamu benar.” ujarnya. Matanya yang berbinar kini kembali menatap Dylan. “Aku suka tempat ini. Aku suka su
“Jadi … ada apa ini?” tanya Antonio dengan ekspresi yang berubah serius seketika. Dylan mengerutkan kening. Tak mengerti dengan serangan yang tiba-tiba di dapatkannya.“Apanya?” tanya Dylan apa adanya.“Apanya?” Antonio mendengus. “Kamu masih tanya apanya?” dari matanya, Dylan dapat melihat Antonio begitu serius dengan pembicaraan mereka. Namun apa yang membuat laki-laki itu terlihat frustasi? Dylan bukan pura-pura tidak tahu. Dia memang benar-benar tak mengerti. Kerutan di keningnya semakin tajam dan ekpresi diwajahnya semakin berubah serius.“Apa yang kamu lakukan sementara Alexa kehilangan ingatannya?”Dylan merasa tertampar.“saya mengerti kamu saat ini sedang frustasi. Sedang marah. sedang tidak dapat berpikir jernih. Tapi apa harus seperti ini pelariannya? Apa harus kamu meninggalkan Alexa hanya karena calon istri kamu itu tidak dapat mengingat siapa kamu?”
Tak ada pilihan lain. Siang itu, Alexa memutuskan untuk mendatangi Angel di tempat kerjanya. Meskipun, fakta yang dibeberkan Raynald semalam ke hadapannya masih belum berhasil dicernanya, tapi Alexa yakin bahwa hanya Angel lah yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah ada alasan di balik kenapa perempuan itu mencelakainya hingga sedemikian rupa, padahal seingatnya hubungan mereka baik-baik saja?Meski kehilangan sebagian ingatannya, Alexa masih dapat meningat siapa Angel dengan sangat jelas. Mereka bahkan pernah jalan berdua beberapa kali. Iya, mereka memang pernah sedekat itu karena bagi Raynald, Angel adalah keluarganya satu-satunya. Namun etelah kecelakaan terjadi, Alexa pada akhirnya tak pernah menjumpai perempan itu. Ia bahkan tak pernah datang menjenguknya sesekali. Ia baru teriang Angel lagi setelah Raynald membahasnya semalam. Sayangnya, pembahsan mereka bukan pembahasan yang baik.Sebagaimana ia mengingat perempuan itu dengan jelas, beg
“Saya butuh bantuan kamu, Laura.”Alexa tahu ini terlalu berlebihan. Ia bahkan tak tahu siapa perempuan yang duduk di depannya ini kecuali namanya. Beberapa waktu lalu, Laura pernah datang ke kamar rawatnya dan memberinya sebuah buku. Pertemuan yang sebenarnya berhasil membuat Alexa bertanya-tanya tentang dirinya dan apa yang sudah dilupakannya. Pertemuan kedua mereka, meskipun tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pertemuan, adalah ketika ia melihat Laura tengah bersendagurau dengan Dylan. Yang justru malah membuatnya merasakan hal aneh yang belum pernah dirasakannya sebelumnya pada Dylan. Cemburu. Maka, ketika ia melihat Laura berada di depan matanya, Alexa sama sekali tak ingin menyianyiakan kesempatan untuk mendapatkan sesuatu dari Laura. Ia yakin, Laura lebih banyak tahu dari Angel.“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Laura. Dari matanya, Alexa dapat menangkap kegelisahan di sana. Bahkan Laura terkesan gugup ketika kalimatnya keluar.
Laura segera merutuki diri ketika kalimat itu meluncur tanpa beban dari mulutnya. Ia sadar, ia masih belum pantas mengatakan hal itu. Setidaknya, sampai hubungannya dengan Raynald menjadi lebih jelas. Sampai hatinya benar-benar tahu untuk menentukan pilihan. Laura melihat perempuan di depannya menegang. Sulit sekali diterka apa yang ada dipikiran Alexa saat itu. Bahkan Laura tak dapat menyebutkan ekspresi apa yang sedang dikeluarkan Alexa. Tapi tanpa kata, Alexa meninggalkan Laura begitu saja. Membuat Laura mengutuk sikapnya sendiri yang terkesan seenaknya. Bukankah hari itu Alexa datang dengan tujuan baik? Bukankah itu yang selama ini diharapkannya? Tentang Alexa yang perlahan mulai mencari kebenaran. Namun kini, ia sendiri justru tak pernah menyangka dengan apa yang akan dikatakanya pada Alexa. Dengan apa yang dilakukannya pada perempuan malang itu. Laura mengembuskan napas yang terasa membebani. Apa yang sudah dilakukannya siang itu telah membuat harinya berantakan. L
Raynald memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Seusai pembicaraan mereka yang berakhir menyesakkan di cafe beberapa jam lalu, Laura akhirnya memutuskan untuk pulang sendiri. Berkeras hati meski berkali-kali Raynald menolak membiarkannya pergi seorang diri. “Kita sedang sama-sama butuh waktu, ‘kan, Ray? Kita sama-sama sedang butuh ruang. Aku gak apa-apa.” Begitulah alasan Laura. Memang, perempuan itu benar. Dengan konflik hubungan mereka yang seperti ini, siapa juga yang tidak butuh ruang. Bahkan kalau boleh jujur, sejak Laura menyatakan bahwa dirinya belum bisa memutuskan pilihan, ingin rasanya Raynald segera angkat kaki dari hadapan wanita itu. Betapa sulit menerima kenyataan kalau pasanganmu mulai meragukan perasaannya, sementara kamu berteguh hati untuk meminangnya. Raynald memijit keningnya yang berkedut. Usahanya untuk menetap selama ini, tak disangka berakhir penghianatan. Penghianatan yang meski bisa dimaafkan dan diterimanya, tetap saja menyisakan pedih di hati. Pernah di
Di saat seperti ini, Raynald sungguh ingin ditemani Laura. Sebagaimana dulu ketika ia sedang sakit perempuan itu selalu ada untuknya. Merawatnya sepenuh hati. Mengingat kejadian semalam ketika mereka bertemu, Laura bahkan sudah terlihat setengah hati terhadap hubungan mereka. Setengahnya lagi tentu saja berada pada Dylan. Jadi selama semalaman, Raynald memutuskan untuk menghabiskan waktu sendiri di rumah sakit. Tak begitu sulit untuknya yang sudah biasa mengurus semua sendiri sejak masih remaja. Ia bahkan lebih banyak di tempat tidur sambil menunggu pagi datang. Meski besar keinginan Raynald untuk menghubungi Laura. Beberapa kali dipandangi ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas samping ranjang. Menimang-nimang apakah ia perlu bermanja dengan Laura atau harus menghadapinya sendirian. Raynald mendesah ketika mengingat bagaimana pertemuan mereka berakhir. Membuatnya memutuskan untuk mengabaikan keinginannya dan memilih tidur. Hingga pagi menjelang, Raynald masih berkeras