Bab 45
Angel merapatkan jaket yang dikenakannya ke tubuh. Menelusuri jalanan beraspal yang basah sisa hujan sore tadi. Ia menyebrangi jalan dan masuk ke dalam sebuah cafe kecil bercahaya remang. Tak sulit menemukan sepupunya di sana. Raynald sedang menenggak minumannya di salah satu meja yang sudah di pesannya. Angel melanjutkan langkah menghampiri Raynald.
“Hai, Sorry telat.” ujarnya sembari menarik sebuah kursi di depan Raynald dan menjatuhkan tubuhnya di sana.
“It’s oke.” jawab Raynald. “Pesan. Sorry aku pesan dulu. Haus.” Raynald menyodorkan sebuah buku menu pada Angel. Perempuan itu mulai tenggelam dalam deretan huruf di depannya, sebelum kemudian ia kembali mengangkat wajah dan tangannya pada seorang waiters yang tak jauh dari mereka.
“Milkshake Bannana.” Angel menyebutkan pesanannya yang segera dicatat sang waiters.
“Hujan-hujan?” tanya Raynald memastikan Angel tak
Laura berjalan gontai menyusuri koridor kantornya. Waktu sudah menunjukkan pukul 18:00. Semua pekerjaannya sudah selesai jadi ia bisa pulang sedikit lebih Awal. Sayangnya, ia tak bisa menikmati waktunya yang begitu berharga dan jarang terjadi. Perasaannya sedang carut marut. Tentu saja semua karena Angel. Pengakuannya pada sahabatnya tadi telah membuat perempuan itu kesal dengan dirinya dan menghindarinya. Perasaannya jadi semakin tak menentu. Laura sadar di sini, dirinya memang salah. Tak tahu diri membuka hati kembali untuk laki-laki lain, sementara hubungannya dengan Raynald masih baik-baik saja. Bahkan Raynald sedang berusaha keras untuk membuat mereka tetap bersama. Laura mendesah untuk kesekian kalinya. Ia mendorong pintu kaca yang entah mengapa terasa berat. Tenaganya benar-benar habis terkuras atas apa yang sudah terjadi padanya. Pikiran yang kacau seolah menyedot habis tenaganya yang tersisa. Ia merasakan ponselnya yang berada pada saku celana bergetar. Laura mengeluarkan ben
Setelah pertemuan menyebalkannya dengan Angel, Raynald memacu mobilnya menuju kantor Laura. Sebenarnya apa yang dikatakan Angel benar-benar mengusik hatinya. Sebenarnya selama ini, Ray tidak pernah tenang atas apa yang sedang menghinggapi hubungan mereka. Kedekatan Laura dengan Dylan, jelas tidak bisa diabaikan. Ia tahu itu, hanya saja selama ini ia masih mencoba percaya pada Laura. Mencoba meyakinkan diri bahwa Laura tak seperti perempuan sebelumnya. Maka malam ini, Raynald akan meminta penjelasan pada Laura. Meminta jawaban tentang perasaan perempuan itu terhadap Dylan. Ia memarkir mobilnya di salah satu area parkir di luar gedung kantor Laura. Dia sedikit malas untuk memarkir mobilnya di area parkir di dalam gedung karena ia hanya mampir sebentar untuk menjemput Laura. Raynald memutuskan menunggu di dalam mobilnya. Sudah mulai masuk musim dingin, ia tak kuat jika harus merasakan dinginnya angin malam yang menusuk tulang.Mesin mobilnya sudah dimatikan. Raynald merogo
Malam sudah semakin larut, tapi rasanya Dylan masih enggan beranjak dari sisi Laura. Rasanya malam ini ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama gadis itu. Rasanya saat ini ia tak ingin berjauhan dari gadis itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Dylan merasa benar-benar hidup kembali. Ia tak henti tersenyum. Malam ini semuanya terasa benar. Tangan Laura yang berada di genggamannya. Kepala Laura yang terkulai di atas bahunya. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain jujur pada perasaan sendiri. Akhirnya mereka dapat menikmati malam yang selalu diharap-harapkan Dylan akan kedatangannya.Setelah acara kencan pertama mereka, Dylan yang mengantar Laura pulang tak juga beranjak dari tempatnya. Keduanya menikmati waktu bersama di dalam mobil. Meski sama-sama tahu kalau apa yang mereka lakukan adalah kesalahan, tapi mereka tak bisa menolak. Tak ada yang bisa menolak jatuh cinta. Tak ada yang bisa mengelak darinya. Tak ada yang bisa menghindarinya. Terlebih, tak ada ya
Raynald memasuki kamarnya yang gelap dengan kepala tertunduk. Otaknya seakan terisi penuh dengan berbagai pikiran dan pertanyaan. Membuat tubuhnya terasa lelah untuk menyangga. Ditutupnya pintu di belakang tubuhnya dengan lesu. Lantas dalam sekali tarikan napas, Raynald membanting tas yang tentengnya dengan kasar.“BRENGSEK!” Ditendangnya tas yang tergeletak di bawah kakinya, dengan kejam. Darahnya seakan mendidih setiap mengingat apa yang dilihatnya beberapa menit lalu. Tatapan Laura, genggaman tangan Dylan, dan penolakan gadis itu atas segala yang dilakukan Dylan. Raynald menjatuhkan tubuhnya, duduk disisi tempat tidur. Napasnya memburu, diraupnya wajah dengan kedua tangan. Sungguh, rasa sakit tak terkira sedang menggerogoti hatinya. Ia tak menyangka akan kembali merasakan hal yang pernah dirasakannya beberapa tahun silam ketika bersama Alexa. Terlebih, orang yang melakukannya adalah orang yang sama.Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan pon
Biasanya, Raynald adalah pria yang mampu mengontrol emosinya. Ia pernah begitu sakit hati ketika melihat Alexa bermain di belakangnya dengan pria lain, tapi Raynald masih dapat mengontrolnya. Ia masih bisa mengendarai mobilnya dengan kecepatan stabil. Ia masih bisa menyelesaikan urusan kantornya tanpa membuat semua rekan kerjanya frustasi. Ia masih bisa berpikir jernih untuk tidak melukai diri atau mencelakakan orang lain.Namun malam ini, Raynald benar-benar kehilangan kendali. Mungkin karena ia menerima dua fakta sekaligus. Oh, tidak. Tiga fakta. Pertama, fakta tentang Laura yang menghianatinya dan mengabaikan pesannya hingga sampai saat ini. Kedua, pernyataan cinta sepupunya itu yang sungguh membuat kepalanya terasa ingin pecah. Ia bahkan tak tahu lagi bagaimana ia akan berhadapan dengan perempuan itu nantinya. Bukankah jika sebuah rasa sudah terungkap, akan sedikit canggung untuk melakukan pertemuan seperti biasanya kembali. Raynald sadar, begitulah cinta bekerja. T
Malam ini rasanya Raynald sungguh tak ingin diusik. Pikirannya sedang kacau. Terlebih hatinya, ia tak lagi bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Menerima tiga fakta menyebalkan sekaligus dalam satu waktu benar-benar memperburuk emosinya. Dan kini, kesabarannya benar-benar diuji ketika ia melihat siapa orang yang sudah menarik tubuhnya dari Alexa dan menghajarnya hingga tersudut di badan mobil. Seketika amarah membuncah di dada Raynald. Bukankah kita semua memiliki monster di dalam diri kita. Yang bisa muncul kapan saja jika kita merasa terdesak, tersudut, atau marah atas keadaan. Dan kini, monster di dalam diri Raynald mengambil penuh kuasa atas dirinya.Dibantu Alexa, Raynald berusaha bangkit dari aspal yang terasa dingin. Seolah lupa, ia menampik tangan Alexa begitu kerasnya hingga tubuh perempuan itu terdorong beberapa langkah. Dengan tangan mengepal erat, ia melangkah pasti menghampiri Dylan yang berdiri beberapa langkah di depannya dengan napas yang ma
Mobil Dylan berhenti di depan rumah yang begitu asing di mata Laura. Ia menatap rumah itu dari dalam mobil. Pagarnya yang tinggi berwarna coklat tua. Namun di balik pagar yang kokoh itu bukanlah sebuah rumah mewah yang berdiri dengan gaya eropa atau belanda. Melainkan sebuah rumah sederhana, minimalis, tapi terlihat rapi dan nyaman. Laura mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang tengah mematikan mesin mobil.“Ini, rumah kamu?”Dylan mengangguk dan tersenyum. “Yuk.” ajaknya tanpa tedeng aling. Sebelum laki-laki itu keluar dari mobil, cepat Laura mencekal lengannya. Dylan mengurungkan niat membuka pintu mobil dan kembali menatap Laura yang terlihat cemas.“Kenapa?” tanya Dylan tanpa dosa.“Kamu kenapa gak bilang sih kalau mau ke sini? Aku kan belum siap ketemu orang rumah kamu.” ujar Laura. Mendengar kecemasan Laura membuat Dylan tertawa kecil. Ia lantas mengangkat sebelah tangannya dan mengacak ramb
Sejujurnya, hari ini Raynald masih sedang dalam situasi tidak baik-baik saja. Semua masih terlalu sulit untuk diterimanya. Apa yang terjadi dalam semalam seolah menghantamnya bertubi-tubi. Namun hari ini, ia menyempatkan diri untuk bertemu dengan Alexa. Menebus kesalahan atas apa yang sudah terjadi semalam antara dirinya dan Dylan. Siang itu ia mengajak Alexa untuk makan di sebuah cafe yang tak jauh dari kantor Raynald. Namun sepertinya, perempuan di depannya itu sedang banyak pikiran. Sejak kedatangannya, Alexa lebih banyak diam dari pada bicara. Dan kini, perempuan itu bahkan sedang melamun di tengah-tengah pembicaraan Raynald.“Lexa.”“....”“Alexa?”“....”“Lex.”Alexa tersentak dan mengangkat wajahnya. Mengalihkan pandangan dari piring makannya ketika tangannya terasa hangat oleh sentuhan seseorang. Oh astaga, dia lupa jika saat ini dia sedang bersama Raynald. Makan siang bersa