Share

Bab 3 - Hamil Anak Stevan

“Tadi aku melihatnya sendiri! Mata Stevan terbuka!” seru Elisa kepada pelayan yang tadi mengantarnya ke depan kamar Stevan. 

Sesaat lalu, Alex ketakutan dan lari tunggang langgang saat melihat Stevan tiba-tiba membuka matanya. Elisa yang takut salah memperlakukan pria itu, memutuskan untuk memanggil pelayan yang mengantarnya. Namun, saat pelayan wanita itu tiba, mata Stevan sudah tertutup kembali!

Mendadak sebuah suara berkata, “Itu hanya refleks spontan, bukan tanda bahwa dia bangun dari koma.” 

Seorang wanita paruh baya dengan setelan pakaian elegan memasuki kamar Stevan, membuat pelayan yang menemani Elisa langsung menundukkan badannya.

“Selamat datang, Nyonya Renata. Ini Elisa Andara, wanita yang—”

“Aku tahu. Kamu tidak perlu menjelaskannya.”

Elisa meneguk ludah, menatap Renata dengan perasaan tidak nyaman. Dari pembawaan dan gaya bicaranya, terlihat jelas jika wanita itu cukup otoriter dan keras kepala. Tipikal orang yang tidak akan segan memaksakan kehendaknya.

“Tidak perlu takut padaku, Elisa. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Justru akulah yang harus berterima kasih padamu karena sudah mau menjadi menantuku.”

‘Menantu? Jadi wanita ini ….’

Elisa pun menyadari identitas wanita di depannya. Renata Wijaya, pebisnis ulung yang namanya begitu terkenal di kota New Hills, ibu kandung dari Stevan Wijaya.

“Elisa, kamu mendengarku?”

“Ah, oh, iya, Nyonya. Saya mendengar—”

Renata tertawa. “Statusmu adalah seorang menantu di sini, bukan pelayan ataupun asistenku. Jangan panggil Nyonya, panggil saja Mama karena aku akan menganggapmu seperti putriku sendiri. Kamu tidak keberatan, kan?” 

Elisa menggeleng cepat, tapi tak berniat membalas ucapan wanita paruh baya itu. 

Sebenarnya, Elisa masih merasa tidak pantas menerima rasa terima kasih Renata dan perlakuan hangatnya. Bagaimanapun juga, dia sempat berharap Stevan mati lebih cepat agar dirinya bisa kembali bersama Alex dan menikmati harta pria itu. 

“Saya tidak sebaik yang Anda kira,” ucap Elisa jujur, meremas jemarinya sendiri dan bersiap mengakui kejahatan terencana yang digagas oleh Alex.

Alih-alih curiga dengan menantunya, Renata justru tersenyum. 

“Kamu gadis yang tepat untuk putraku.” Dia beranjak dari posisinya dan memaksa Elisa untuk menggantikannya duduk di sebelah Stevan.

“Tapi saya—”

Ucapan Elisa terpotong karena genggaman tangan Renata.

Renata pun menarik jemari Elisa dan membawanya untuk menyentuh wajah Stevan yang terasa dingin. 

Elisa yang gugup, langsung menarik tangannya. Sadar dia melakukan hal yang tidak sopan, Elisa mencicit, “M-maaf, aku–”

“Tidak masalah, aku pasti mengejutkanmu.” Renata tersenyum puas. 

Dari tindakan Elisa, Renata menyadari menantunya gelisah saat bersentuhan dengan seorang pria, menandakan dia masih perawan dan tidak terbiasa berinteraksi intim dengan lawan jenis.

Di dalam hati, Renata langsung menyukai menantunya.

“Aku percaya padamu, Elisa,” tukasnya menarik diri seiring memberikan isyarat kepada sang kepala pelayan.

Kepala pelayan yang sedari tadi berdiri tak jauh dari keduanya, menyiapkan kursi untuk Renata setelah melihat isyarat jari telunjuk wanita itu. 

“Putraku adalah sosok yang malang.”

“Malang?”

“Aku hanya sibuk mengurus bisnisku dan membuatnya jadi terlalu dingin pada semua orang,” ucap Renata sambil mengamati wajah tampan putra bungsunya. “Alhasil, yang dia ketahui siang dan malam hanyalah pekerjaan dan dinasti bisnisnya.” Tatapannya berubah sendu. “Saat kecelakaan terjadi, aku sedang berbicara dengannya. Dan kamu tahu apa yang dia katakan?”

Elisa menggelengkan kepalanya. “Apa …?”

“Dia memintaku untuk mengamankan bisnis keluarga.”

Apa?

Elisa mengerjapkan mata.

Bahkan di detik-detik terakhir, pria itu lebih mementingkan bisnis keluarga dibandingkan nyawanya sendiri?

Orang macam apa–

“Aku akan mempercayakan kesembuhan Stevan padamu,” ucap Renata mengejutkan Elisa yang melamun. 

“Eh?” Elisa terkesiap karena pandangan Renata berubah tegas kembali. Kesedihan yang terlihat sebelumnya, tersembunyi dengan baik dan tak terlihat jejaknya. Wanita itu memiliki kepribadian yang membuat siapa saja gentar untuk berbicara dengannya.

“Kamu tumbuh di keluarga yang penuh kasih sayang dan suasana yang hangat. Aku yakin kamu bisa mengurusnya dengan baik dan membangunkannya.”

Elisa tak bisa membantah. Dulu, kehidupannya memang begitu bahagia dan menyenangkan. Namun, setelah sang ibu tiada dan ayahnya menikah lagi, semuanya berubah! 

Bukan hanya harus mengalah kepada Stella untuk segala hal, tapi Elisa berakhir ditendang keluar rumah dan harus tinggal di asrama universitasnya!

Terlepas dari itu, bagaimana mungkin dirinya, seorang dari jurusan fashion design membangunkan orang koma? Dokter saja sampai sekarang tidak mampu!

“Aku berharap banyak padamu, Sayang.” Renata menggenggam tangan Elisa, juga tersenyum sambil melanjutkan bicara, “Meskipun sekarang kamu belum bisa mencintai Stevan, setidaknya curahkan perhatianmu padanya. Perlakukan dia seperti seorang suami yang amat kamu cinta.”

“Ma ….”

“Sebagai balasannya, aku akan memberikan seluruh hartaku untuk kalian berdua. Aku tidak ingin semua kerja kerasku selama ini jatuh ke tangan orang lain. Jadi, buatlah dia bangun, ya. Segera. Secepatnya!”

Elisa kehilangan kata-kata, semua ucapan Renata terlalu mengejutkan untuknya. Kenapa wanita itu begitu mempercayainya? Bukankah mereka tidak saling mengenal sebelumnya?

Yang lebih aneh lagi, kenapa Renata begitu yakin dirinya bisa membangunkan sang putra?!

Namun, sebelum Elisa bisa mengatakan apa pun, Renata berpamitan dan beranjak pergi. 

Elisa kembali terduduk di samping Stevan dan menghela napas. Dia pun melirik sang suami.

‘Memiliki segalanya, tapi tidak pernah merasakan cinta. Kamu pria yang malang, Stevan,’ ucap Elisa. ‘Yah, tidak lebih malang dibandingkan diriku yang dibuang dan diperalat orang yang kucintai tentu saja.

Elisa pun kembali memikirkan permintaan Renata. Dia menengadahkan kepalanya dan menatap kosong ke udara. 

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” 

Jika tidak bisa membuat Stevan bangun, jangankan membalaskan dendam, Elisa pasti akan diusir dari tempat itu. Kalau dirinya memiliki rumah yang menyambutnya, mungkin tidak masalah, tapi sekarang rumah ayahnya saja adalah neraka.

Berbagai pemikiran buruk segera memenuhi kepala, membuat Elisa lemas seketika. Dia menengadah, menatap langit-langit kamar di tengah suasana hening yang menyelimutinya.

“Aku harus mencari cara mendapatkan uang,” ujar Elisa dengan penuh tekad. “Sisanya …,” dia melirik Stevan, “... aku hanya bisa berdoa.” Senyuman tak berdaya terlukis di wajah gadis itu.

**

Hari demi hari berlalu, Elisa merawat Stevan dengan tulus. Pagi dan sore, tanpa ragu dia menyeka tubuh sang suami dengan air hangat dan mengganti pakaiannya dengan yang baru. Saat kulit pria itu kering, Elisa akan mengoleskan krim pelembap. Selimut dan kasur juga diganti olehnya tiap seminggu sekali.

Ketika cuaca cerah, Elisa juga akan membawa Stevan berjalan-jalan dengan mendudukkannya di kursi roda. 

Seperti hari ini.

“Oh? Ada pintu gerbang di sana?” ujar Elisa, seakan bertanya kepada Stevan yang tertidur di kursi rodanya. 

Elisa sedikit ragu, tapi dia memutuskan melanjutkan perjalanan dan akhirnya membuka pintu tersebut. 

Sebuah halaman yang luas terlihat setelah membuka pintu gerbang. Ternyata, pintu tersebut menghubungkan rumah pribadi Stevan dengan kediaman utama keluarga Wijaya. 

Elisa kembali dibuat takjub oleh kemewahan kediaman Keluarga Wijaya. Namun, dengan cepat fokusnya teralih saat melihat Renata yang duduk sambil membaca buku tebal di tangannya.

“Ada ibumu!” ucap Elisa sembari tersenyum kepada Stevan. “Haruskah kita mengunjunginya?” tanya gadis itu sembari tersenyum.

Namun, di saat itu pula Elisa menyadari tubuh pria itu berkeringat. 

“Sepertinya, tidak.” Elisa tersenyum pahit. 

Tanpa pilihan, dia berbalik dan membawa Stevan kembali ke kamar.

Keesokan harinya, Elisa dipanggil Renata ketika Stevan sedang diperiksa oleh dokter. Gadis itu sengaja menyiapkan teh untuk sang mertua.

“Silakan diminum tehnya, Ma.” 

Renata tersenyum. “Terima kasih, Elisa. Tidak perlu repot-repot menjamuku. Kamu sudah bertahan di sisi Stevan adalah berkat tersendiri untukku.”

Elisa tersenyum. “Bagaimanapun juga, aku sudah menikah dengan Stevan. Sudah seharusnya aku memperlakukan Mama sebagai ibuku sendiri.”

Renata tersenyum dan mulai menyesap minuman hangat favorit putranya. Tidak ada jenis teh lain di dapur Stevan. Pria itu hanya minum teh hijau setiap pagi sebelum kecelakaan itu terjadi.

“Bagaimana perasaanmu?”

“Awalnya, aku sulit tidur, Ma. Rasanya aneh satu ranjang dengan seorang pria yang tidak begitu kukenal,” jawab Elisa jujur. “Namun, seiring waktu aku terbiasa.”

Renata tertawa. Dia sangat puas dengan Elisa yang jujur dan sopan.

Di saat itu, Renata teringat sesuatu.

“Aku punya sesuatu untukmu.”

Mata Elisa mengerjap. “Untukku?”

Renata meminta seorang asistennya untuk mengambil sesuatu dari kamarnya. Sebuah kotak diletakkan di atas meja sebelum kemudian disodorkan ke hadapan Elisa.

“Itu hadiah pernikahan untukmu. Bukalah.”

“Eh? Untukku?” Elisa tampak terkejut, lalu membuka kotaknya dengan hati-hati. Matanya membulat sempurna saat melihat kalung dengan permata biru yang begitu indah. Kilaunya tampak semakin memesona saat sinar mentari pagi yang cerah menerpanya. 

Meskipun tidak tahu harga pastinya, tapi Elisa yakin itu adalah benda yang mahal dan langka. Tidak semua orang bisa memilikinya.

Di saat yang sama, sepasang suami istri ikut bergabung di sana. Dialah Harris—kakak tertua Stevan sekaligus ayah Alex—dan istrinya, Shana. Keduanya terlihat menahan emosi saat melihat harta turun temurun keluarga Wijaya kini ada di tangan menantu baru yang baru sehari menjadi istri Stevan.

“Ma, ini ….”

“Seharusnya Stevan yang memberikan kalung ini untukmu, tapi karena dia belum bangun, jadi Mama yang akan memakaikannya.” Renata bergerak dari kursinya, berdiri di belakang Elisa dan mengalungkan perhiasan berharga itu di leher menantunya.

“Kenapa Mama memberikan ini untukku? Aku—”

“Ini benar-benar cocok untukmu!

“Ma, kalung ini terlalu—”

“Tidak ada orang lain yang lebih berhak memakainya karena kamulah yang akan melahirkan anak untuk Stevan dan melanjutkan garis keturunan keluarga Wijaya.”

“Apa?!” Elisa tersentak di posisinya, otomatis berdiri dan membuat kursi di belakang tubuhnya terjungkal. “Ha–hamil anak Stevan?!”

Renata tersenyum lembut. “Tentu saja.”

Elisa menelan ludah. Bagaimana mungkin dia bisa hamil jika suaminya saja koma?!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Any Virgo Borjuntk Mardaup
makin penasaran mengisi waktu luang membaca novel membuat ku GK bergerak kemana mana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status