"Tapi, Jack. Bagaimana aku bisa tenang? Sampai saat ini keberadaan Arka masih belum jelas. Bahkan orang-orang yang ada di sekitar sini tadi, sama sekali tidak tahu ke mana tepatnya anakku dibawa pergi oleh orang lain!"Tangis Kara akhirnya pecah tak tertahankan. Kekuatannya saat ini benar-benar telah luntur, semuanya hilang seiring tak adanya sosok sang jantung hati di hadapannya.Sementara Clarissa, diam-diam wanita itu tersenyum melihat Kara yang sangat terpuruk seperti ini. Dirinya senang, karena setidaknya bisa melihat secara dekat dan langsung kesedihan Kara, terlebih sekarang dirinya juga bisa sekaligus melihat sang calon tunangan yang merasa tak nyaman dengan Jack karena terus-menerus memeluk Kara sambil mencoba menenangkan wanita tersebut. "Barra, bagaimana kita cari di tempat lain saja?" Wanita berambut pirang itu mengusulkan ide lain, agar bisa menghabiskan waktunya berdua saja dengan pria yang dicintainya.Tak butuh waktu lama, Barra p
"Kau sendiri, kenapa bisa ada di sini sendirian? Bukannya tadi kau sedang mencari Arka bersama Barra?"Jack bertanya, yang langsung membuat Clarissa menggeleng dengan satu tangannya yang masih berada di depan mulut. Ia menatap heran pada wanita itu, tetapi juga tak ingin berlama-lama karena masih kepikiran dengan Kara yang tiba-tiba menghilang."Ishh! Dasar wanita aneh! Kenapa kau seperti ini sih?" ujar pria itu lagi yang membuat Clarissa mendengkus, dan mendorong salah satu bahunya cepat-cepat."Dasar tidak pintar! Kau tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan?""Ya, mana aku tahu? Kau belum bilang apa pun padaku!" sahut Jack dengan sekali lagi menatap jengah pada wanita berambut pirang yang ada di hadapannya.Meninggalkan Jack dan Clarissa yang sedang berdebat kecil sesaat, kini Kara berusaha menyusuri setiap tempat untuk mencari keberadaan jelas letak yang telah disampaikan oleh Barra sebelumnya. Wanita itu menatap sekelilingnya dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya langkahnya terh
"Awhh! Tolong!"Barra terkejut bukan main, ketika langsung menyadari siapa si pemilik suara tersebut. Dengan segera ia membuka salah satu kain yang menutupi beberapa benda di hadapannya. Hingga kembali terperangah, kala melihat kondisi Kara yang sudah sangat lemas dengan beberapa bercak merah di sekitar tengkuk dan belakang telinganya."Kara? Kenapa kau bisa seperti ini?"Wanita itu hanya menggeleng lemah, sambil menunjuk ke arah salah satu kakinya yang sedang terhimpit oleh sesuatu.Melihat hal tersebut, tentu Barra langsung kembali bergerak menolongnya. Dengan cepat ia menyingkirkan sebuah kursi yang menahan salah satu kaki wanita itu. Hingga setelahnya, langsung mencoba membopong tubuh lemas tersebut dengan sekuat tenaga dan memindahkan ke tempat lain yang jauh lebih aman."Awhhh! Sakit, Barra! Pelan-pelan!" lirih bundanya Arka itu dengan dua sudut matanya yang terus mengeluarkan air mata.Sakit? Ya, itu sangat jelas! Selain dari kepalanya yang masih sangat berdenyut dengan rasa p
Srkkk!Kara terkejut, karena Barra yang seketika membuka kancing kemejanya sendiri. Untuk sesaat, wanita itu terpaku menatap beberapa bekas luka jahitan yang ada di sana. Sampai akhirnya memilih memandang ke arah lain, karena entah kenapa dirinya jadi ikut merasa sakit ketika melihatnya.Jadi, separah itukah kondisi Barra waktu itu sehingga pria tersebut tak bisa kembali menemuinya dengan cepat? Kenapa juga Barra baru menjelaskan sekarang? Kenapa pada waktu itu pria tersebut hanya menunjukkan beberapa luka lebam kecil di tangannya, hingga membuat dirinya merasa sangat bersalah detik ini?Ah, sungguh. Lagi-lagi Kara pening dengan semua kenyataan yang terjadi pada hidupnya. Mulutnya sampai kehilangan kata-kata sesaat, hingga dirinya mendengar pria di hadapannya menghela napas tipis sebelum mulai kembali membenarkan pakaiannya."Terima kasih telah mendengar penjelasanku, Kara. Setidaknya sekarang aku sudah lebih sedikit tenang, karena kau tahu alasanku pergi. Aku pergi untuk mengupayakan
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar