Kara terengah, menatap Barra yang tengah menyeringai tipis ke arahnya. Pria itu nampaknya sengaja membuatnya kewalahan, hingga sampai saat ini dirinya masih kesulitan untuk mengatur napas dengan normal.
"Jangan main-main denganku, Kara. Aku tidak suka wanitaku dekat dengan pria lain!" tekan anak tunggal Avaline tersebut, seraya menyeka satu tetes peluh yang sedang mengalir di dahi Kara.Setelahnya, pria itu beralih mengusap lembut bibir Kara yang sudah basah karena ulahnya. Ia menatapnya lurus tanpa ekspresi, hingga membuat permukaan kulit wanita yang masih berada di atas pangkuannya itu sedikit bergetar ketakutan.Kara sadar, bahwa dirinya telah salah. Sudah seharusnya ia memang tak main-main dengan seorang Barra Piterson, akan tetapi mau diapakan lagi? Jackson adalah sahabat dekatnya dulu, sehingga rasanya tak mungkin kalau dirinya menjauhi pria itu begitu saja."Sudah mau berbagi cerita tentang hal tersebut padaku, Kara Isabelle?" tanya Barra y"Yah, basah!"Barra berucap seraya menatap kaus putih miliknya yang sudah basah sempurna berkat cipratan air yang terus-menerus. Sementara sang pelaku, tentu hanya tertawa lepas saja. Arka nampak sangat senang dimandikan oleh om baiknya, hingga kedua matanya berbentuk sebuah garis yang sedikit melengkung.Sore ini setelah demam Arka mulai menurun, Barra memang mengajukan diri untuk memandikan Arka pada Kara. Meski awalnya sempat tidak diperbolehkan, akan tetapi pada akhirnya Kara membiarkannya juga. Wanita itu tentu tak tega dengan Arka yang terus memohon kepadanya, terlebih sudah dari pagi juga anak kecil tersebut belum membasuhnya seluruh badannya."Nah 'kan, jadi main air," ucap Kara yang memergoki kedua lelaki berbeda usia itu dari balik pintu dengan tatapan khas ibu-ibu yang ada di muka bumi.Arka yang tengah dipergoki pun malah semakin tertawa. Sementara Barra, pria itu nampak salah tingkah hingga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bena
"Stop, Kara! Sepertinya kau sengaja ingin memancingku untuk bertindak lebih jauh ya? Heumm?"Kara terkesiap, dan langsung membuka matanya ketika merasakan dua tangan kekar Barra yang tengah menahannya dengan cukup kencang. Kara benar-benar merasa malu. Ia sama sekali tak bermaksud seperti itu, karena tadi hanya merasa sedikit penasaran saja."Barra, maaf. Aku—""Ssttt! Sudah terlambat meminta maaf, Sayang! Jadi sekarang, kau harus bertanggung jawab lebih dulu!" bisik Barra dengan suaranya yang kian terdengar berat.Setelahnya, tanpa memberikan aba-aba lagi Barra pun langsung menarik Kara masuk ke dalam dekapannya dan segera menyambar bibir manis wanita itu secara berulang dan terus berulang layaknya sedang memakan permen manis.Sementara Kara, wanita yang sebenarnya sudah terbawa suasana sedari tadi itu akhirnya pasrah dengan segala perbuatan Barra. Mereka berdua saling terbuai dengan sentuhan masing-masing. Apalagi entah kenapa semakin h
"Bagaimana ini, Tante? Semua telepon dariku benar-benar tidak dijawab," keluh Clarissa seraya menyandarkan kepalanya sesaat di pundak Avaline.Sehabis kepergian Jack tadi, Clarissa memang langsung mendatanginya. Entah apa dua pemuda itu sempat bersisian atau tidak, karena Avaline sendiri pun belum sempat bertanya banyak padanya.Namun satu hal yang pasti, Clarissa nampak sangat resah karena sedari tadi tak bisa menghubungi Barra. Wanita muda itu terlihat sangat kebingungan sekali, apalagi mamanya yang masih ada di luar negeri sana terus menghubunginya dan memintanya untuk segera melakukan panggilan video bersama calon tunangannya."Bagaimana kalau Tante yang coba menghubunginya?" tawar Avaline seraya mengusap pelan rambut pirang panjang milik wanita yang berprofesi sebagai model tersebut."Pasti tetap tidak bisa, Tante. Sepertinya telepon Barra tidak aktif, aku sudah mencoba menghubunginya dengan nomor lain tadi," sahut Clarissa kian tak bersemangat."Kau punya nomor baru?""Tidak, Ta
"It's okay, Ra. Jangan terlalu khawatir, mungkin mommy hanya ingin membicarakan masalah pekerjaan?""Pekerjaan? Kalau seperti itu untuk apa ibumu menelepon di saat malam-malam seperti ini? Apa tidak ada hari esok untuk membicarakannya?"Barra menghela napas, melihat ketakutan Kara yang semakin jelas. Sebenarnya tadi ia hanya ingin membantu menenangkan saja, tetapi nyatanya kekasihnya itu tak kunjung bisa tenang dan terus kepikiran karena tadi sempat tidak berani menjawab langsung panggilan dari Avaline."Ibumu pasti meneleponku untuk mencarimu. Teleponmu tidak aktif 'kan?" ucap Kara pelan seraya mengusap wajahnya.Saat ini Barra dan Kara memang sudah berdua di ruang tengah. Arka sudah tertidur pulas di dalam kamar setelah mendengar dongeng karangan Barra, sehingga kini mereka berdua bisa saling berbicara untuk membahas telepon dari Avaline yang amat tiba-tiba tadi.Dengan membawakan satu gelas air hangat, Barra pun duduk si samping Kara.
"Bekas orang lain? Dia bukan barang, Mom! Dia jelas bukan bekas siapa-siapa!"Emosi Barra seketika tinggi tak membendung, di saat mendengar ucapan Avaline yang benar-benar tidak bisa dimaklumi olehnya. Baginya ucapan itu sudah benar-benar keterlaluan, bahkan terdengar sangat jahat sekali."Kau meninggikan nada bicaramu di depanku, Barra? Ingat, aku ini masih ibumu!" hentak Avaline tak kalah emosi.Kedua ibu dan anak itu kini saling bersitatap dalam tegang. Tak ada satu pun yang berniat mengakhiri emosinya, terlebih Avaline kian menatap ke arah Barra dengan sangat tajam."Hanya karena wanita itu, kau sampai tega membentakku? Mommy benar-benar kecewa padamu, Barra!" Avaline berucap, membuat Barra tersenyum miris setelahnya."Jangan bersikap seolah aku yang jahat di sini, Mom! Di awal aku sudah sebisa mungkin berusaha bicara dengan baik-baik!"Avaline memutar matanya jengah. Kini tekadnya memisahkan Barra dan Kara jadi semakin besar, apalagi semakin hari penentang anak lelakinya itu sema
"Ekhemm! Pagi!"Bertepatan dengan Arka yang bertanya, Kara tiba-tiba saja kedatangan seorang tamu. Pria itu tak lain dan tak bukan adalah Jack. Dia tersenyum ke arah ibu dan anak yang ada di hadapannya, tetapi sayang malah membuat Arka menghela napasnya.Sepertinya anak kecil tersebut merasa kecewa, karena pertanyaannya tiba-tiba terpotong begitu saja. Hingga membuat perhatian bundanya tak lagi tertuju pada dirinya, karena sudah teralihkan."Hai, Jack! Apa kabar? Pagi-pagi sekali kau ke sini," sapa Kara dengan seutas senyum tipisnya.Meski sebenarnya merasa sedikit risih dengan Jack yang terus menghampirinya, akan tetapi tetap saja Kara selalu tak bisa bersikap tidak ramah pada mantan kakak tingkatnya itu. Ia tentu tak sampai hati, apalagi jika mengingat sikap Jack yang selalu baik padanya."Kebetulan tadi aku lewat dekat sini, karena ingin mencari sarapan pagi. Rasanya sudah lama sekali aku tidak berburu jajanan tradisional," ucap Jack s
"Bagaimana kalau kita menikah secepatnya?""Ap–apa?" Kedua netra Kara langsung membulat tak percaya, dengan mulut yang cukup terbuka lebar. Tidak seperti kebanyakan wanita lain yang mungkin akan sangat senang ketika pasangannya mengajak menikah, Kara justru terlihat lebih syok berkat ajakan Barra yang sangat tiba-tiba itu.Tanpa aba-aba, tanpa cincin. Kara benar-benar merasa seperti merasa mimpi! Rasanya tidak mungkin sekali pria romantis seperti Barra, tiba-tiba mengajaknya menikah dengan persiapan seadanya yang seperti ini."Iya, Sayang. Bagaimana kalau kita menikah secepatnya, agar tidak ada lagi yang bisa menggangu dan mengatur kita?" jawab Barra menjelaskan seraya memetakan wajah cantik wanita yang masih berada di dalam dekapannya.Kara terlihat terdiam sesaat, sambil mencoba menormalkan degup jantungnya. Satu tangannya menggenggam erat kain kemeja sang kekasih, sementara satu tangannya yang lain berada tepat di atas dada
"Ikuti mereka terus!"Seseorang dengan wajah yang tertutup sebagian itu memberikan perintah, hingga sedetik kemudian membuat kendaraan roda empat yang tengah dinaikinya mulai beranjak pelan mengikuti kendaraan serupa di depannya.Dari kejauhan, kedua netranya nampak sangat tajam sekali mengawasi depan. Ia terlihat sesekali menggeram kecil, dengan salah satu tangan yang terkepal erat. Sampai kesabaran yang ada di dalam dirinya benar-benar habis, ketika melihat kebersamaan tiga orang berbeda usia yang nampak sangat nyaman berjalan di tengah publik seperti keluarga kecil yang amat bahagia."Hmm, nampaknya mereka semua benar-benar ingin menentangku ya?" geramnya pelan seraya terus mengamati situasi sekitar dari balik kacamata hitam besarnya.Diam-diam dua tangannya semakin terkepal erat. Ia merasa sangat diremehkan dan tidak dianggap, hingga akhirnya tak tahan dan langsung memutuskan beberapa orang yang ada di sekitarnya untuk menggantikan tugasnya memata-matai.Sementara tak jauh dari te