Kupikir Ferdy mungkin tidak akan pulang lagi malam ini. Setelah aku memaksanya bercinta pagi tadi, Ferdy lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, sekarang dia berdiri di depanku dengan menggandeng perempuan yang dia sebut bernama Nindy.
"Aku udah nikah sama Nindy. Aku harap kamu bisa bersikap baik padanya. Kalian berdua istriku, sama-sama punya hak di rumah ini."
"Nikah?" tanyaku. Tak tahu lagi bagaimana harus kugambarkan emosi di diriku sekarang. "Fer, kamu nikah tanpa bilang aku?"
"Bilang gimana lagi sih, Ra? Aku udah bilang kan? Nindy hamil anakku dan aku senang akhirnya punya keturunan. Sekarang, kamu harus bisa terima." Ferdy menatap Nindy. Sorotnya yang lembut mengingatkanku dengan hari pertama kami menikah. "Nindy, yang akur sama Nara, ya. Kamu juga nggak boleh capek-capek, ayo istirahat," ajaknya, menuntun Nindy ke kamar kami.
Tunggu, kamar kami? Aku tak bisa membiarkan ini lagi. Mereka menikah sebelum mendapat ijinku dan
Cumbuan bibir Pak Arsen semakin menuntut memaksa mulutku terbuka. Gugup. Sungguh aku tak tahu apa yang akan kulakukan di bawahnya. Tanganku diam di dadanya yang bidang. Itu terasa berotot dan nyaman disentuh. Apa aku sudah gila? Ya, sepertinya begitu. Aku gila membiarkan dia memasukkan lidahnya ke dalam mulut untuk mencari milikku.Pilinan dan isapan Pak Arsen membuatku ingin gila. Apalagi ketika tangannya mulai menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif dari balik pakaianku, membuat aku melonjak seketika. Buaiannya sungguh memabukkan, menghilangkan beban atas pernikahan diam-diam yang dilakukan oleh Ferdy.Entah sejak kapan, Pak Arsen sudah berhasil melepas baju atasan yang kukenakan sehingga menunjukkan dua bukit milikku. Bukit tersembunyi yang selama ini tertutup rapi dan hanya boleh disentuh Ferdy.Persetan dengan Ferdy. Aku mulai menggeliat merasakan tangan Pak Arsen mempermainkan ujung dadaku yang mengacung. Sementara sebelahnya dia manjakan dengan
Percintaan panas anatara aku dan Pak Arsen berlangsung beberapa kali, sampai aku sudah tak mampu mengangkat bibirku berbicara. Hanya desahan ringan yang bisa aku keluarkan sekarang. Dia benar-benar gila, jago, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pak Arsen membawaku menikmati surga dunia yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sungguh? Ya, aku tidak pernah mendapatkan pelepasan seperti ini selama dengan Ferdy.Tapi setelah semalaman yang kami lalui, aku sangat malu di pagi hari. Terbangun di sebelah Pak Arsen dengan tubuh telanjang tanpa pakaian. Kulihat, dia masih setia dengan tidur lelapnya. Lantas kugeser kaki turun ke atas lantai dan memungut pakaianku ke ruang tengah. Seperti maling yang takut ketahuan aku buru-buru mengenakan pakaian itu dan melarikan diri dari apartemennya. Sangat memalukan.Begitu tiba di rumah, kulihat Ferdy sudah duduk di ruang tengah ditemani secangkir minuman hangat. Tentu saja Nindy juga di sana. Perempuan itu duduk sangat dekat pada suamik
"Pa-Pak, lepasin. Semua orang melihat kita, Pak," mohonku, berharap Pak Arsen melepaskan cengkaramannya. Dia melirikku tajam, tak peduli dengan perkataanku."Pak-""Diam lah, Nara!" sentaknya. Tangannya membuka pintu ruang pribadinya dan mendorongku masuk. "Masuk! Jelaskan kenapa kamu lari dari rumahku."Apa yang harus dijelaskan? Ini tubuhku, aku berhak membawa ke mana saja diriku. Memangnya dia pikir siapanya aku?"Tadi pagi Bapak masih tidur. Aku enggan membangunkan Bapak." Namun itu lah yang mampu keluar dari mulutku. Sifat arogannya sukses membuat nyaliku menciut."Lalu, kamu pikir berhak pergi begitu saja?" Dia mencengkram daguku keras, mengangkat wajahku untuk bersitatap dengannya. Matanya yang menggelap meluruhkan seluruh energi di tubuh ini.Kenapa denganku? Kaki di bawah sana mulai gemetar kurasakan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalariku kala sebelah tangan Pak Arsen mulai menjalar di sebelah pipi.
Pak Arsen melepaskan pelukannya dari tubuhku, setelah permainan itu usai. Dia duduk di kursi kerjanya masih dengan mata yang tertuju padaku. Lagi, aku sangat malu setelah kami menyelesaikan permainan gila itu. Tubuh telanjangku dia tatapi sangat lama, seakan matanya tak ingin meninggalkan keindahan tubuh itu sedetik pun.Dengan gerakan lamban aku bangun dari atas meja kerjanya dan Pak Arsen menahanku segera."Jangan. Tetaplah berbaring di sana," ucapnya, yang langsung membuat tubuhku membeku.Aku menurutinya dan terus berbaring di sana. Udara dingin yang diembuskan pendingin ruangan itu menyapa seluruh kulit dan membuatku sedikit merinding. Diam. Cukup lama aku terdiam di pandangannya yang terus menyusuri sekujur tubuh."Indah ..." pujinya, suaranya sangat rendah dan berat, seakan hasrat di dalam dirinya kembali naik. "Tubuhmu sangat indah, Nara."Ini bukan kali pertama dia berkata seperti itu, tapi masih sukses membuat pipiku memanas.
Di rumah hanya ada Nindy. Katanya, Ferdy sedang keluar mengurus usaha barunya bersama mertua. Aku tersenyum ironi mengingat lagi perktaan Ferdy tempo hari. 'Mama akan memberi modal usaha kalau aku mengijinkannya menikah lagi.' Dan sekarang aku sadar bahwa ijinku sebenarnya tidak lah mereka butuhkan."Kamu dari mana sejak kemarin?" tanya Nindy, dia berdiri di ambang pintu kamarku dengan tangan yang dilipat di depan dada, seakan tengah memarahi anak gadisnya yang pulang tidak tepat waktu."Bukan urusanmu," sahutku malas. Aku tak punya urusan sama dia. Bahkan menganggapnya ada di rumah ini pun, bagiku masih terlalu sulit."Kenapa bukan urusanku? Kita ini istrinya Mas Ferdy, wajar aku nanya kamu. Gimana kalau nanti Mas Ferdy marah-marah sama kamu? Setidaknya aku bisa bantu menenangkan dia, kan?" lanjutnya lagi.Serius? Dia mau bantu tenangkan Ferdy kalau tahu aku berselingkuh sejak tadi malam? Bahkan jika aku mati di tangan Ferdy pun, tak sudi menerima bant
"Apa?!" Suara Ferdy meninggi. "Nindy, jangan sembarangan kalo ngomong.""Aku nggak bohong, Mas. Aku nggak mungkin salah nyium baunya. Kenapa jadi marah sama aku?" sela Nindy. Dia tak terima disalahkan oleh Ferdy.Kini Ferdy menatapku dengan tatapan jijik yang menghakimi, seakan hanya aku lah manusia yang sangat buruk di sini. Benar aku salah. Aku tidak mengelak apalagi membenarkan diriku. Ketakutan di dalam diri tentunya tak bisa terelakkan."Siapa laki-laki itu, Nara!" sentak Ferdy di depan wajahku. Pundakku sampai terangkat oleh sentakan yang sangat tiba-tiba di saat aku belum mempersiapkan mental.Plak!Kurasakan pipi memanas oleh pertemuan dengan telapak tangan Ferdy. Sakit ... tamparannya perih, panas, dan sangat sakit di pipiku. Di bagian dalam mulut juga kurasakan sangat perih sesaat sebelum rasa aneh mulai tertangkap lidah. Rasa seperti besi berkarat dari cairan yang kuyakini pasti lah darah."Jawab, Nara! Dengan siapa ka
Kemarahan Ferdy semakin terpancing oleh perkataanku. Dia menampar wajahku keras dibarengi Nindy juga menjambak rambutku. Sangat sakit tapi aku hanya diam tak bereaksi. Kurasa bibirku sudah pecah oleh tamparan yang ditambah Nindy, dia memberi tamparan empat kali dan tertegun melihatku mematung."Kamu nggak mau minta maaf?" sentak Ferdy, bisa kulihat kemarahannya bercampur rasa iba. Tapi, tak juga dia cegah istrinya menamparku sekali lagi."Istri kamu memang gila, Mas. Aku nggak ngerti kenapa ada orang kayak dia. Pantas aja mandul, udah selingkuh juga nggak malu pulang ke rumah ini. Minta maaf pun nggak mau." Dia mundur setelah mengatakan itu, tapi matanya tampak takut membalas tatapanku yang tertuju padanya."Kamu pikir dirimu suci? Perebut suami orang!" sentakku. Amarah di dalam diri menggila sampai tak sadar aku melesat ke depan Nindy dan membalas satu tamparan di wajahnya.Itu belum cukup. Aku akan membalas sebanyak pukulan yang dia dan Ferdy be
Aku tertegun di depan pintu apartemen milik Pak Arsen. Niatku untuk melampiaskan kemarahan, luruh begitu saja kala menatap matanya yang gelap penuh amarah. Dia seperti iblis yang siap menerkam mangsanya menatap wajah penuh luka yang hanya diam tak berkutik."Sudah berapa kali kukatakan jangan pernah pergi tanpa ijinku? Apa kau bodoh? Kau tak punya telinga? Kau senang mendapatkan semua ini?" Dia menyentak tanganku masuk ke apartemennya."Duduk di sini!" perintahnya, berlalu ke arah dapur dan kembali dengan cawan besar berisi air hangat.Tangannya sigap membersihkan wajahku yang kuyakini memerah oleh tamparan Ferdy dan Nindy. Hangat dari handuk basah itu terasa perih beradu dengan kulitku. Tak kuhiraukan, hanya membiarkan Pak Arsen melakukannya."Dia menceraikanku," bisikku, hatiku sakit saat kusadari tengah memohin iba dari lelaki ini."Lantas?" Hanya satu kata itu yang keluar dari bibirnya.Setidakberguna itu kah hidupku, sampai