Wano membelai lembut rambut Yuna untuk menghiburnya, karena dia tak berhenti menangis."Yuna, sekarang juga aku akan jadwalkan seorang dokter ahli untuk mengobati penyakit Kakek. Kita harus kembali ke kota."Namun, semua orang yang masih berdiri di depan pintu itu berusaha menahan Wano dan Yuna, "Sia-sia saja mengobati penyakit kanker, hanya menghambur-hamburkan uang. Kami ini nggak punya uang, kalau kalian punya uang, kalian saja yang mengobatinya.""Betul, kami nggak punya uang, ditambah lagi masih ada tiga anak kami yang harus menikah, jadi mana ada uang untuk mengobati penyakit Kakek."Semua orang hanya saling berbicara satu sama lain, sehingga Yuna tampak marah dan berkata, "Kalian nggak perlu ikut campur masalah ini, karena mulai hari ini Kakek merupakan tanggung jawab aku dan Ayah."Tania tampak tidak senang mendengar hal itu."Oh, aku mengerti sekarang. Nantinya, kalian nggak akan pernah mengobati penyakit Kakek, karena yang kalian inginkan hanya hartanya saja. Nggak bisa, Kake
Kakeknya itu memang sudah lama menantikan pernikahan Wano dan Yuna, sehingga Yuna berpikir bahwa ini merupakan harapan terbesar bagi Kakek.Yuna ingin membantu Kakeknya itu mewujudkan harapannya sebelum Kakek pergi.Bagaimana mungkin Wano tidak memahami pemikiran Yuna?Wano menghibur Yuna, "Baiklah. Setelah kita mengurus akta nikah, kita akan menyelenggarakan resepsi pernikahan. Jadi, Kakek pun bisa pergi dengan tenang, setuju?"Dengan air mata mengalir di pipinya, Yuna berkata, "Tapi, Ibumu belum menyetujui pernikahan kita dan aku juga belum hamil, aku takut ...."Wano langsung mencium bibir Yuna bahkan sebelum Yuna selesai bicara.Ciuman itu terasa menekan, tapi lembut.Terdengar suara serak dan pelan, "Bodoh, orang yang ingin menikah denganmu itu aku bukan orang lain. Anak hanya sebagai pelengkap pernikahan kita. Ada atau pun nggak, itu nggak akan mengurangi kebahagiaan kita."Wano mengusap pelan air mata yang ada di sudut mata Yuna, suaranya terdengar lembut, "Kamu nggak perlu mela
Wano menaruh pasta gigi ke atas sikat gigi milik Yuna dan memasukkan benda itu ke dalam mulut Yuna.Saat mereka berdua turun ke bawah, Yuna melihat Kakek sudah berpakaian beskap dan sedang duduk di atas kursi roda.Yuna berjalan menghampiri Kakek sambil tersenyum. Dia menatap Kakek dari atas sampai bawah dan berkata, "Kenapa Kakek berpakaian begitu rapi? Bukankah hanya mengurus akta nikah saja dan bukan menikah."Kakek merasa sangat bahagia dan berkata, "Putri kami Yuna akan menikah, tentu saja aku harus berpakaian lebih formal. Setelah kalian selesai mengurus akta nikah, kita harus pulang karena Keluarga Lasegaf akan menemui Ayahmu untuk menyerahkan mahar. Tentu aku nggak akan membuatmu malu."Mendengar hal itu, Yuna menatap Wano dengan rasa sedikit tidak percaya, "Kenapa ... kenapa harus secepat itu?"Wano menaikkan kedua alisnya dan berkata, "Nenek begitu bersemangat semenjak mendengar kita akan menikah. Dia langsung mencari orang untuk memilih hari baik dan hari ini memang hari bai
Mendengar hal itu, hati Wano terasa membeku."Apa yang terjadi?"Bibi terus menangis, "Barusan Nyonya datang kemari. Saya nggak tahu apa yang dikatakan oleh Nyonya pada Kakek. Kemudian, saat saya kembali ke kamar, mulut Kakek sudah mengeluarkan busa putih, wajahnya pucat, dan sepertinya sekarat."Wano langsung menutup telepon itu dan bergegas menarik tangan Yuna.Tangan besar yang dingin itu memegang erat tangan Yuna.Tiba-tiba, Wano merasakan firasat buruk di hati.Saat Yuna diseret oleh Wano, dia tahu bahwa ada yang tidak beres, maka dia pun bertanya, "Kenapa? Apakah keadaan Kakek nggak baik?"Wano menatap Yuna dengan tatapan yang sulit ditebak, "Yuna, apa pun yang terjadi kamu harus percaya padaku, ya?"Mata Yuna mulai memerah, "Sebenarnya apa yang terjadi?""Kondisi Kakek nggak baik, kita harus segera pulang."Dia menelepon layanan panggilan darurat sambil menarik Yuna untuk masuk ke dalam mobil.Saat mereka tiba di rumah, petugas layanan darurat pun juga sudah tiba.Dokter menggel
Tante Tania menunjuk kertas yang dibakar Yuna di tanah sambil mencibir, "Lihatlah dirimu, pembawa sial sama seperti ibumu, kamu memaksa kakek menemui dokter dan sekarang kakek meninggal, sementara kami masih harus mengandalkan kakek untuk hidup.""Aku curiga Yuna membunuh kakek untuk menyimpan harta itu sendirian.""Keturunan kita banyak, mana bisa harta itu jadi milik Yuna saja? Dia itu pecundang, lebih baik kita jual saja dan uangnya dibagi-bagi untuk kita.""Ya jual saja."Seketika pemakaman kakek Yuna berubah menjadi pemandangan pembagian harta.Yuna menundukkan kepalanya dan tetap diam, pikirannya dipenuhi bayangan kakeknya dengan pakaian merah terang.Yuna merasa sangat bersalah, mungkin kakeknya masih hidup jika saja dirinya tidak membawa kakek pergi.Suara makian dan kutukan memenuhi sekitaran tubuh Yuna.Disaat itu Wano berjalan masuk dan mengeluarkan sebuah sertifikat dari kantongnya, lalu menyerahkannya pada kerumunan orang-orang itu."Kakek tahu kalian akan bersikap seperti
Vina melihat Yuna dengan perasaan sedikit bersalah, "Kalau kamu mau menyalahkanku, salahkan karena nggak sengaja bilang kamu nggak bisa punya anak, tapi aku sudah bilang pada kakekmu, selama Wano menyukaimu maka Keluarga Lasegaf nggak masalah, aku benar-benar nggak ngomong hal lain."Mendengar ucapan Vina, Marisa segera memukul meja karena marah."Kakek Yuna sedang sakit, apa kamu sengaja membuat masalah dengan mengatakan hal itu? Masalah ini dimulai karena kamu Vina, aku nggak akan pernah memaafkanmu kalau kamu nggak menjelaskannya pada kakek Sam.""Dia istrimu Yogi, putuskan sendiri bagaimana mau mengurus masalah ini."Wajah Yogi berubah dingin, dia tahu tujuan Vina melakukan hal itu.Yogi melihat ke arah Yuna dan suaranya menjadi sedikit serak."Ini semua salah Vina hingga kakekmu meninggal, aku akan membuatnya berlutut dan meminta maaf di depan makam kakekmu, aku juga akan memberikan kompensasi pada keturunan kalian, aku nggak akan biarin Keluarga Qalif mendorong semua tanggung jaw
Yuna tidak mau mempertaruhkan nyawa orang yang dia sayangi.Yuna sangat ingin memeluk Wano, tapi dia memilih mengepalkan kedua tangannya yang terkulai lemah di sisi tubuhnya.Yuna berkata dengan suara serak dan lemahnya, "Kita tenang dulu Wano, aku harus pulang dan memeriksa ayahku karena kondisinya nggak baik-baik saja."Wano mencium kepala Yuna, dengan suara rendah dia berkata, "Aku antar."Wano akan segera pergi bersama Yuna, namun tatapannya jatuh pada Vina.Tatapan sayang Wano barusan, berganti dengan tatapan dingin."Dalam kehidupan ini, aku nggak akan terpisahkan dengan Yuna, sekali lagi kamu coba memisahkan kami, maka aku akan memutuskan hubungan ibu dan anak."Marisa mendesah tidak berdaya melihat punggung Wano dan Yuna yang berjalan pergi."Kabar baik berubah jadi kabar duka, dosa apa yang Keluarga Lasegaf perbuat?"Yogi segera maju untuk menenangkan Marisa, "Tenang saja bu, aku nggak akan biarin mereka berpisah, masalah Vina, aku akan minta seseorang memantaunya sehingga ngg
Wano mengikuti Yuna dengan khawatir, lalu membantu menepuk-nepuk punggungnya, "Ada apa? Apa kamu kelelahan dan nggak makan dengan baik? Kita pergi ke rumah sakit ya?"Yuna berjongkok di samping toilet sambil muntah-muntah tanpa mengeluarkan apa pun.Mata Yuna memerah.Yuna menggelengkan kepalanya pelan dan berkata, "Nggak apa, aku akan baik-baik saja setelah minum obat lambung."Wano masih melihat Yuna dengan khawatir, tangan besarnya menyentuh kening Yuna."Aku akan panggil dokter ke sini, aku khawatir melihatmu seperti ini.""Nggak apa, bukannya perutku sering bermasalah? Setelah minum sup aku akan baik-baik saja."Yudha yang mendengar keributan itu segera berlari ke kamar mandi."Kenapa bisa muntah Yuna? Apa mungkin ...."Baru saja Yudha ingin melanjutkan berkata 'mungkin hamil', namun dia kembali menelan kata-katanya.Yudha tahu betul kondisi tubuh Yuna, jangankan 3 bulan bersama Wano, bahkan 1-2 tahun pun belum tentu Yuna hamil.Yudha tidak mau mengatakan hal yang membuat Yuna sed