“Ingat, ya! Kau jangan kabur di pernikahanmu besok!” David memperingati Nico ketika Nico mencoba mengenakan baju pengantinnya untuk besok.
“Iya Iya…” sahut Nico yang sudah malas berdebat, ia sudah cukup mengerti untuk mengalah. Ayahnya, David, adalah komisaris utama di perusahan keluarga mereka tentunya mudah baginya melenyapkan Nico, yang notabene putranya sendiri, untuk melepaskan jabatan CEO. “Lalu, di mana calon pengantinku?” tanyanya kemudian.
“Siapa suruh kau telat!” kata David sinis, “tadi pagi dia datang bersama kakaknya mengambil gaunnya.”
“Kak Nico… Kak Raihan benar-benar cantik!” seru Hasya tiba-tiba.
“Benarkah?” raut wajah Nico semakin penasaran. “Tadi pagi dia datang? Seperti apa dia?” tanya Nico tak sabaran ingin mendengar lebih banyak mengenai calon istrinya.
“Dia cantik, ayu, cute…”
“Sudah, sudah!” potong David, “besok juga kamu ketemu dengannya.”
“Iya, tapi setidaknya aku tahu seperti apa calon istriku!” balas Nico tak kalah sengitnya, ekspresi wajahnya yang terlihat galak namun tampan jadi terlihat semakin galak.
“Um… tapi tadi Kak Raihan terlihat buru-buru sekali, ya…” kata Raisya, “dia cuma sebentar saja, mencoba gaun trus dia pergi…”
Nico menoleh ke arah Raisya. “Oh, ya?”
“Hm… mungkin masih banyak yang harus dia urus tapi jangan khawatir, besok pernikahan kalian sudah pasti dilaksanakan!” lagi-lagi David kembali memperingatkan, sepertinya ia tak ada bosannya untuk mengingatkan Nico akan pernikahannya.
Nico memandang dirinya melalui pantulan cermin. Merapikan kerah jasnya. Ia terlihat tampan dengan jas pernikahannya yang berwarna putih namun ekspresinya terlihat tak ramah. Nico memang memiliki wajah galak yang tak ramah namun ia tampan dengan bentuk rahang yang tegas dengan sedikit roman kebarat-baratan. Dari ekspresinya kini ia terlihat jelas bahwa ia berat menjalani pernikahannya besok tapi sebenarnya ia juga penasaran akan wujud adik Barack Adhinta, Raihan.
Setidaknya dia memiliki wajah yang cantik, menurut adiknya. Ya semoga saja, pikir Nico. Setidaknya ia masih memiliki gairah akan wujud gadis cantik walaupun belum ada rasa cinta.
***
Dengan tangan terlipat, Raihan menatap penuh kebencian terhadap lelaki berparas tampan nan lembut yang kini duduk di hadapannya, lelaki yang dahulu mengenalkan indahnya cinta. Lelaki yang selalu menguatkannya ketika ia harus kehilangan saudari satu-satunya dan memilih untuk pisah dari keluarga angkatnya. Masih jelas di ingatannya bagaimana mereka menjalani kehidupan yang keras bersama, kehidupan yang penuh suka duka namun amat manis bagi Raihan. Tapi, semua itu hanyalah kemunafikan semata.
“Ku pikir kau tidak akan lagi ke sini…” kata pria itu, menatap lembut ke arah Raihan. Wajah tampannya terlihat lebih pucat dari terakhir kali Raihan melihatnya sebelumnya. Entah karena ia banyak pikiran karena tiba-tiba saja Raihan marah dan menuduhnya telah bermain dengan sahabat mereka, sahabat yang begitu dekat dengan Raihan.
“Ya, tentu saja aku tidak akan ke sini lagi,” sahut Raihan dingin, “maaf kuralat… maksudku, aku tidak akan ke sini lagi setelah menyerahkan… ini.”
Raihan melempar undangan pernikahannya di meja, tepat di hadapan pria itu.
“Apa ini?” tanya pria itu sembari meraih undangan pernikahan Raihan.
Raihan menyunggingkan senyum penuh kemenangan ketika mendapati tatapan kebingungan lelaki di hadapannya begitu mengetahui undangan itu adalah milik Raihan.
“Seperti yang kau lihat, Bily, itu adalah undangan pernikahanku dan besok aku akan menikah,” jawab Raihan enteng. Ia seakan puas melihat ekspresi keterkejutan pria bernama Bily, seakan pria itu tak percaya dengan kenyataan bahwa Raihan akan segera menikah.
Pria bernama Bily menatap sendu undangan itu. “Kenapa?”
“Kenapa apanya? Apa salah kalau aku menikah dengan seseorang?”
“Dengan siapa kau akan menikah besok?” tanya Bily sembari meletakkan kembali undangan itu di meja.
“Kau bisa lihat di undangan itu, aku akan menikah dengan putra dari keluarga Kuiper,” jawab Raihan, jujur ia tak tahu nama asli pria yang akan dinikahinya besok.
Kenapa…? Batin Raihan yang memandang wajah sendu Bily yang masih tak bisa percaya akan pernikahan Raihan. Sejujurnya, hati Raihan pun serasa dicengkram oleh tatapan sendu pria itu, pria yang masih ia cintai. Ia tak bisa menafikan bahwa ia pun tak sanggup melihat pria itu sedih karena perasaan sayangnya masih mendominasi. Namun, mengapa ia harus tampak sesedih itu setelah ia melukai hatinya?
“Kau tidak mencintainya…”
Raihan tertawa muak. “Jangan sok tahu!” Raihan berdiri, “terserah kau mau datang atau tidak besok,” lanjutnya sebelum ia membalikkan tubuhnya, membelakangi Bily. “Yang jelas, besok aku sudah menjadi istri orang lain.”
Diam-diam air mata Raihan menetes, ia merasa sakit mengetahui besok ia akan menjadi milik pria lain dan bukan pria yang ia cintai. Ia lalu berlari meninggalkan Bily yang kaku memandang undangan pernikahan Raihan, perasaan pria itu masih sulit mempercayai besok ia benar-benar akan kehilangan Raihan.
***
Akhirnya saat itu tiba juga. Nico dan sekeluarga telah tiba di hotel tempat ia melangsungkan pernikahan, hotel megah berbintang lima. Sebuah karangan bunga besar telah terpasang di depan pintu utama loby hotel itu, dekorasi pernikahan dengan mawar yang serba putih menghiasi hotel itu. Beberapa body guard berjas hitam suruhan Barack Adhinata mengantarkan mereka ke ruang pernikahan yang akan berlangsung. Tradisi pernikahan pun mengikuti tradisi keluarga Adhinata, mempelai pria dan wanita terpisah begitu pun tamu pria dan wanita.
Tidak lama kemudian rombongan keluarga Adhinata memasuki ruang pernikahan, pandangan Nico tertuju pada gadis bergaun pengantin, tidak begitu jelas terlihat wajah gadis itu karena wajahnya tertutup oleh veil yang sedikit menerawan.
"Bentuk tubuhnya sih bagus..." gumam Nico memperhatikan calon istrinya dari kejauhan.
Raihan kini duduk di kursi mempelai wanita. Sesekali Nico menengok ke arah Raihan karena tirai pembatasnya tidak begitu tinggi, ia masih bisa memandang gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Akhirnya, acara ijab kabul selesai dan lagi-lagi Nico harus kecewa karena Raihan diantar kembali ke kamar pengantin. Setidaknya, ia harus melihat istrinya setelah mengucapkan ijab Kabul. Nico tak mengerti tradisi macam apa yang dianut oleh keluarga Adhinata.
***
Yey, Kak Nico!” seru Raisya saat mendatangi Nico ketika acara resepsi dimulai, “Selamat ya Kak Nico, semoga Kakak bahagia selalu dan pernikahannya langgeng.”
“Terima kasih, Raisya,” ucapnya Nico.
“Akhirnya kau sudah menikah…” David memeluk Nico dengan penuh haru.
“Terima kasih, Ayah…” ucap Nico terpaksa. Ia sebenarnya masih kesal karena pernikahannya berdasarkan keputusan ayahnya secara sepihak tapi bagaimana pun ia mencoba menghormati dan berusaha menerima pernikahannya.
“Nicolas Kuiper…”
Nico dan sekeluarga menoleh ke arah seorang pria berjas silver memiliki sorot mata yang dingin, siapa lagi kalau bukan Barack Adhinata, sang kepala keluarga bangsawan Adhinata. Pria itu memberi isyarat agar para bodyguard-nya menjauh dari mereka. Para bodyguard itu membungkuk sekali kemudian mereka beranjak menjauh dari tuannya.
“Terima kasih karena kau sudah membuat acara pernikahan putraku sebagus ini,” kata David pada Barack, “ini benar-benar luar biasa.”
Barack hanya menunduk sekali. “Sama-sama… aku berusaha agar kamu tidak kecewa sama sekali.” Tatapan dinginnya kini beralih ke Nico, “aku menyerahkan adikku kepadamu, tolong jaga dia baik-baik!”
“Tentu saja!” jawab Nico mantap, “tanpa kau bilang pun pasti aku menjaganya.”
David yang mendengar jawaban putranya merasa sangat terharu, ia tidak menyangka anaknya akan se-gentleman itu. Nico sendiri pun tak menyangka mengapa kalimat itu keluar dari mulutnya sendiri. Sedangkan Barack, sejenak ia hanya menatap dingin Nico, seakan ragu akan jawaban Nico namun ia bisa lega setidaknya Nico bisa menerima adiknya sebagai istri dan mau menjaganya.
“Baiklah, aku pegang perkataanmu…” kata Barack bernada intimidasi pada Nico.
Resepsi pernikahan berjalan selayaknya pernikahan yang megah, hanya saja tanpa pengantin wanita. Beberapa teman-teman Nico datang mengucapkan selamat bahkan tak sedikit yang mempertanyakan pernikahan Nico yang sangat tiba-tiba.
“Hai, Nico!” panggil Jeremy, “akhirnya kau menikah juga, selamat ya!”
“Terima kasih,” ucap Nico.
“Mengejutkan sekali… kenapa pernikahannya mendadak begini? Apakah ada accident?”
“Enak saja!” dengus Nico tak terima, “aku dijodohkan tiba-tiba sama tua bangka itu!”
“Siapa? Ayahmu?” Jeremy ketawa, “pantas saja tiba-tiba sekali… aku kaget kemarin dengar kabar kamu menikah hari ini, aku pikir kamu pasti menghamili anak gadis orang. Oh ya, apa kau mengundang Olive?”
“Tidak,” jawab Nico, “aku sudah lama tidak berkomunikasi dengannya lagi?”
“Oh… begitu…” gumam Jeremy. “Ya, sudah… pokoknya aku mendoakan semoga pernikahanmu dengan Raihan langgeng terus, ya.”
“Terima kasih…”
Akhirnya, acara resepsi pernikahan selesai. Para tamu sudah banyak yang meninggalkan hotel. Dan kini waktunya Nico menuju ke kamar pengantinnya.
“Sudah waktunya…” kata Barack, ia menyerahkan cardlock ke Nico, "nomor kamar kalian 205."
Nico menerima cardlock itu dengan jantung berdebar-debar, dengan pelan ia melangkahkan kakinya menuju lift. Sebenarnya, ini bukan pertama kali ia melewatkan malam bersama wanita namun karena kini ia harus melewatkan malam bersama wanita yang belum ia kenal sebelumnya, rasanya pasti sangat aneh. Nico bingung, bagaimana memulainya nanti? Terdengar David dan beberapa teman Nico yang masih berada di tempat, berteriak menyemangati Nico ketika Nico memasuki lift.
***
Kini Nico berada di depan kamar nomor 205. Nico yang tadinya hendak membuka kamar dengan cardlock, kembali mengurungkan niatnya. Ia bingung, khawatir dan takut! Bagaimana ia memulainya dengan gadis yang tak ia kenali? Bahkan berbicara sekali pun belum pernah. Apa yang harus dia lakukan?
Nico menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ya, itulah cara untuk mengurangi kecemasannya saat ini. Bagaimana pun ia adalah seorang suami sekarang, ia tak boleh takut menghadapi istrinya walau ia tak mengenalinya. Sel-sel otaknya mulai bekerja membaik, tentu saja ia harus mengenal istrinya dulu dengan mengajaknya bercerita. Ya, itu ide yang bagus, pikir Nico.
Dengan jantung berdebar-debar, ia membuka kunci kamar itu lalu memegang kenop pintu dan membukanya. Beberapa lampu kamar menyala saat Nico menaruh cardlock di kotaknya.
“Nico… kau kah itu?”
Itu suara Raihan! Batin Nico menyeru. “Ya!” jawab Nico mantap.
Nico berjalan ke ruang tamu dan ia terkejut mendapati seorang gadis yang mengenakan gaun lingerie ungu tua yang kini duduk di sofa, menatapnya dengan mata bulat yang tajam.
“Kau… Raihan?” tanya Nico, dengan takjub ia memandang istrinya sendiri.
Raihan berdiri, lekukan tubuhnya yang terbalut lingerie terlihat sangat jelas. Kulit mulus bak porselennya terpancar di bawah cahaya lampu remang. “Iya, aku Raihan.”
.
TBC
Sedari tadi Nico hanya bisa terdiam memandang gadis yang kini duduk di hadapannya dengan lingerie yang sangat menggoda. Tidak bisa ia pungkiri, ia begitu terpesona akan wujud gadis yang kini telah menjadi istrinya. Ia memandang lagi dari ujung kepala hingga ke ujung kuku kaki gadis itu, benar benar cantik, itulah yang ada di benak Nico. Ia tak menyangka adik Barack Adhinata secantik itu. Ya, memang Nico pernah bertemu dengannya saat mereka masih kecil dan adik Barack memang sangatlah cantik tapi ini benar-benar di luar ekspektasi Nico. Kini pandangan Nico fokus ke wajah Raihan, di telusurinya wajah jelita tanpa cacat sedikit pun. Mata, jidat, alis, hidung, terutama bibir seksinya yang merona, Nico bisa membayangkan bagaimana nikmatnya menyantap bibir bawah sintal milik gadis yang duduk di hadapannya saat ini. Raihan menaikan sebelah alisnya. “Kenapa kau diam saja?” tanyanya, memecah keheningan di ruangan itu dan menyadarkan Nico dari kekagumannya. “Aku… “ Nic
Nico terbangun dari tidurnya ketika sinar matahari pagi menembus masuk saat Raihan membuka dan mengikat gorden ke samping. Nico mengerjap-ngerjapkan matanya, berupaya beradaptasi dengan cahaya matahari yang menyorot matanya lalu dipandanginya istrinya yang sudah bersiap-siap. Dress cheongsam berwarna hitam dengan motif bunga yang membalut tubuh istrinya membuatnya terlihat sangat elegan ditambah rambut sebahu yang disanggul sehingga menampilkan leher jenjangnya yang putih. “Oh, kau terbangun? Maaf, ya!” kata Raihan saat ia menoleh ke arah Nico yang kini duduk di ranjang. Nico masih mengumpulkan nyawanya. Sebenarnya, ia masih mengantuk karena ia baru bisa tidur saat menjelang subuh. Ya, lelaki siapa yang bisa menahan hasratnya ketika tidur bersampingan bersama gadis cantik yang mengenakan lingerie seksi? “Kau mau kopi atau teh?” tanya Raihan. “Um… kopi…” “Baiklah, akan kubuatkan.” Raihan lalu meninggalkan kamar itu dan menuju dapur. Nic
Nico yang sedari tadi mencari Raihan, melangkah keluar karena melihat pintu menuju balkon terbuka. Di sana ia menemukan Raihan yang kini berdiri di balkon, menyandarkan tangannya di pembatas balkon seraya melihat pemandangan pantai. Suara ombak terdengar menderu namun menenangkan hatinya yang sendu. Hawa malam yang dingin menyengat tubuh mungil yang hanya berbalut lingerie namun ia tetap bergeming di sana seakan tak merasakannya. Nico melingkarkan tangannya ke pinggang Raihan dari belakang, menyandarkan dagunya ke bahu istrinya. “Apa yang kau pikirkan…?” bisiknya. Raihan menghela napas. “Nico… menurutmu, bagaimana dengan pernikahan kita?” “Bagaimana kenapa?” “Yah… tiba-tiba kita dijodohkan seperti ini… Apa kau bahagia? Apa kita bisa menjalaninya?” Nico tersenyum, sesekali ia menghirup
Raihan menggeleng lagi, ia menatap mata Nico yang tak tega melihat ia kesakitan. Ia lalu melumat bibir Nico dengan lembut. Beberapa saat Nico hanya diam merasakan lumatan lembut bibir Raihan lalu ia membalasnya dengan lumatan yang lebih bergairah, seakan memberi jawaban bahwa ia mengerti maksud istrinya. Perlahan Nico menyatukan tubuhnya dengan tubuh Raihan semakin dalam. Raihan memejamkan matanya, air matanya spontan menetes bukan hanya karena menahan sakit namun ia kini menyerahkan kesuciannya pada orang yang sebenarnya tidak ia cintai. Tapi, pria itu adalah suaminya dan ia pun harus mengikuti alur pernikahan senormal mungkin termasuk menyerahkan tubuhnya untuk Nico. Raihan hanya bisa merintih kesakitan saat milik Nico menggesek tiap inci dinding dari liang milik Raihan di bawah sana dengan tempo yang semakin cepat. Tubuhnya menegang dan tidak bisa menikmati percintaan mereka walaupun
Alangkah terkejutnya Raihan melihat Bily yang kini berada di bawah gedung apartemen, sambil melemparkan tatapan yang tak gentar atas penolakan wanita yang kini menjadi status istri dari putra keluarga Kuiper. Raihan tidak menyangka, mengapa pria yang tengah menelponnya berada di sana? Bagaimana pria itu tahu keberadaan Raihan? Dan, mau apa pria itu ingin menemuinya di apartemen milik suaminya? Untuk apa pria itu datang setelah Raihan menikah dengan pria lain? Apa dia tidak puas menyakiti hati Raihan lalu mengganggunya yang kini mulai membenah kembali hidupnya bersama pria yang kini menjadi suaminya? Benar-benar gila! Batin Raihan. Kini tatapan keterkejutan Raihan berubah menjadi tatapan yang penuh amarah dan kebencian. Ia mendengus lalu mematikan panggilan pria itu dan berbalik kembali masuk ke kamarnya. Raihan melempar handphone-nya ke ranjang dan dengan kesal ia beranjak turun ke bawah. Sambil menggeram marah Raihan mel
Nico merasa aneh, di halaman kantornya begitu tenang bahkan nyaris tak ada orang yang berlalu lalang apalagi berkumpul. Seperti di jam kerja pada umumnya dimana orang-orang berkutat dengan pekerjaannya masing-masing di ruangan mereka. Berbeda dengan yang ia bayangkan bahwa para pekerjanya kini berkumpul di halaman gedung kantor, membawa spantuk sambil berteriak mengeluarkan protes dan umpatan kepadanya, serta Jeremy yang kewalahan menjelaskan ini itu ke para karyawan mereka. Nico lalu berlari menuju lift dan langsung mencari Jeremy di ruangan sahabatnya itu. Malah terdengar alunan musik jazz yang lembut saat Nico membuka pintu di ruangan Jeremy “Di mana karyawan-karyawan itu? Katamu, mereka mau demo…” tanya Nico panik ketika memasuki ruangan Jeremy yang kini sedang duduk bersandar di kursi kerjanya sambil menatap ke arah jendela. Jeremy membalikkan kurs
Raihan tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya ketika melihat sosok yang kini duduk di sofa dan menatapnya tajam. Sejenak tubuhnya mendadak kaku tak berkutik namun ia segera berusaha menenangkan dirinya, ia melirik barang belanja yang dibawanya, seharusnya Nico pasti mempercayainya, pikirnya. “Darimana saja kamu?” tanya Nico dengan nada curiga. “Seperti yang kau lihat… aku keluar untuk belanja…” jawab Raihan sewajar mungkin sambil mengangkat kantong belanjaannya, “kulkasmu tidak ada bahan makanan jadi aku keluar mencari makanan…” Nico melirik belanjaan Raihan. “Aku menelponmu daritadi, kenapa tidak diangkat?” “Aku lupa bawa hape-ku… kalau kau tidak percaya, hape-ku ada di atas ranjang.” Nico diam sejenak, sorot matanya tampak menyelidik. “Tadi aku melihatmu di jalan, turun da
Raihan mulai mendesah saat kecupan Nico menjamah tiap senti di kulit lehernya, makin lama makin liar. Wajahnya mendongak, memperluas akses Nico bermain-main di sana, menikmati permainan suaminya. Tangan Nico mulai meraba-raba lekukan tubuh Raihan, sesekali ia meremas titik-titik sensitif Raihan. Nico menghentikan aksinya sejenak, menatap mata Raihan yang kini tampak sayu karena terbakar gairah. Tangan Raihan menyentuh wajah Nico, jari-jarinya menyelusuri rahang Nico yang tegas. Nico mengecup jari-jari lentik milik Raihan saat jari-jari itu menyentuh bibirnya. Kembali Nico menatap mata Raihan, mencoba meyakinkan Raihan yang menatapnya takut. Tapi, Raihan belum melupakan bagaimana sakitnya saat tubuh mereka menyatu untuk pertama kalinya. “Nico… aku masih merasa sa-” “Sstt…” potong Nico sembari menaruh telunjuknya di atas