PAK Wardoyo tengah membaca dengan tablet di teras belakang ketika Tiara menemuinya. Lelaki paruh baya itu tampak masih mengenakan piyama tidur. Ditemani segelas jeruk panas dan beberapa potong buah segar di atas meja.
Dari menunduk menatap layar tablet, Pak Wardoyo langsung angkat wajah mengetahui kedatangan Tiara. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang masih terlihat tampan.
"Hmm, anak Papa sudah wangi dan rapi sepagi ini," ujar Pak Wardoyo seraya menyambut ciuman yang diberikan puterinya.
"Rencananya mau ngantor, Pa. Sudah lama ninggalin urusan kantor, nggak enak sama Pak Seno," sahut Tiara, lalu duduk di kursi kosong sebelah meja.
"Jadi, ngantornya karena merasa nggak enak sama Pak Seno? Kalau nggak punya rasa nggak enak, nggak ngantor dong ya?" tanya Pak Wardoyo menggoda.
Tiara tergelak mendengar pertanyaan papanya.
"Ya nggak gitu juga sih. Tapi masa direkturnya absen lama banget dari kantor," sahut gadis itu.
"Absen nggak apa-
TIARA tak mau buang-buang kesempatan. Inilah momen yang ia tunggu-tunggu. Gadis itu pun menumpahkan semua apa yang ia pendam mengenai Ryan selama ini pada sang papa."Mama belum cerita apa-apa sama Papa ya?" tanya Tiara untuk meyakinkan bahwa papanya belum tahu mengenai perselingkuhan Ryan."Cerita apa?" Pak Wardoyo balik bertanya. Wajahnya jelas sekali menunjukkan ekspresi keheranan."Cerita soal Ryan," sahut Tiara singkat. Ia masih belum yakin mamanya tidak menceritakan apa yang telah ia ceritakan saat di Batang waktu itu.Pak Wardoyo tampak mengingat-ingat sebentar. Bibirnya dimonyongkan lagi ke depan beberapa senti. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepala."Nggak ada. Mama nggak pernah cerita apa-apa soal Ryan sejak kamu kembali," jawab Pak Wardoyo kemudian.Tiara menghela napas panjang. Ia terlebih dahulu menata perasaan sebelum mengenang lagi peristiwa yang paling dibencinya sejauh ini."Jadi, begini ceritanya. Papa jangan kag
TEPAT pukul tujuh pagi Tiara sudah meninggalkan rumah untuk menuju kantor. Gadis itu hanya mengunyah sebiji apel sebagai menu sarapan. Itu pun dihabiskan sambil mengerjakan yang lain.Begitu minuman hangat yang dibuatkan Mbak Yem ia habiskan, Tiara pun berpamitan pada papa dan mamanya. Kali pertama momen seperti ini terulang setelah absen selama lebih dari sebulan."Hati-hati di jalan ya, Sayang," pesan Bu Wardoyo saat mengecup pipi Tiara kiri-kanan."Tenang, Ma. Jangan khawatir," sahut Tiara sambil tersenyum lebar."Ingat, secepatnya ajak Ryan bicara biar urusannya cepat selesai." Kali ini Pak Wardoyo yang memberi pesan.Tiara hanya mengangguk. Lalu setelah sekali lagi berpamitan, ia pun masuk ke dalam mobil. Untuk sementara ia memakai sedan milik sang papa.Bertepatan saat mobil yang dikemudikan Tiara menghilang di balik gerbang, Bu Wardoyo gamit lengan suaminya. Diajaknya lelaki paruh baya itu duduk di kursi yang berada di sudut teras.
PAK Wardoyo bergerak mendekati istrinya. Merasa penasaran sekali ide apa kiranya yang tiba-tiba muncul di kepala wanita tersebut."Mama punya rencana apa?" tanya Pak Wardoyo."Nggak tepat sih kalau disebut rencana," sahut Bu Wardoyo. "Tapi begini. Tiara memergoki Ryan selingkuh, dan yang memergoki hanya Tiara sendiri. Tidak ada orang lain yang tahu selain Tiara, Ryan, dan perempuan selingkuhannya itu."Bu Wardoyo sengaja menghentikan ucapannya di situ. Sejenak ditatapnya Pak Wardoyo yang terlihat mengerutkan kening. Jelas sekali lelaki tersebut belum dapat memahami ke mana arah pembicaraan istrinya."Lalu?" desak Pak Wardoyo karena istrinya tak kunjung melanjutkan."Ya artinya kita tidak punya cukup bukti mengenai perselingkuhan Ryan. Yang kita pegang cuma pengakuan Tiara ....""Tapi, Ma, bukankah pengakuan Tiara itu saja sudah cukup bagi kita? Papa yakin sekali Tiara nggak mungkin mengarang cerita," tukas Pak Wardoyo.Bu Wardoyo cepa
SUASANA kantor PT Tirya Parkindo masih sepi ketika Tiara tiba. Maklum saja, memang belum jam kantor. Tiara sengaja datang lebih awal agar dapat melakukan persiapan untuk beberapa hal yang akan dikerjakan hari ini.Saking sepinya kantor, gadis itu bahkan dapat dengan leluasa menuju area parkir direktur. Satpam yang berjaga sempat memberhentikan Tiara. Mungkin karena merasa tidak mengenali sedan klasik yang dikemudikan si gadis.Meski bisa saja ia bersikap masa bodoh dan langsung memarkir mobil, toh, Tiara memilih berhenti sesuai perintah satpam yang berdiri mengadang. Sebuah senyum terkembang di wajahnya saat mengenai satpam yang bertugas.Tiara segera menurunkan kaca pintu dan longokkan kepala ke luar."Pak Eko, ini saya," seru gadis itu, masih dengan menyunggingkan senyum.Satpam yang dipanggil Pak Eko tampak kernyitkan kening. Dirundukkannya badan sedikit, sambil memandang lekat-lekat ke arah Tiara. Wajahnya seketika berubah tegang."Oh, I
KAGET bukan main Tiara mendapat sapaan setengah histeris itu. Hampir saja tas tangan berisi berkas-berkas yang ditenteng sang direktur terlepas jatuh.Setelah berhasil menguasai diri, Tiara balikkan badan ke arah asal suara. Sontak ia mengembuskan napas panjang ketika tahu siapa yang sudah membuatnya terkejut."Sinta, apa-apaan sih kamu? Bikin kaget saja," tegur Tiara sembari geleng-gelengkan kepala.Yang ditegur menyengir lebar, lalu buru-buru menyalami atasannya. Tak puas bersalaman, Sinta lantas memberanikan diri untuk melakukan cium pipi kiri cium pipi kanan.Tiara sama sekali tak keberatan. Lagi pula yang melakukannya Sinta, salah satu karyawan terdekat baginya. Salah satu yang paling ia percaya di dalam kantor ini."Senangnya melihat Ibu Tiara kembali masuk kantor," kata Sinta selepas melakukan cipiki-cipika."Pak Seno biasanya datang jam berapa ya?" tanya Tiara. Kaki gadis itu sudah berjalan lagi menuju ke ruangannya."Biasanya
TIARA sedang memeriksa beberapa berkas di ruangannya ketika suara Sinta terdengar dari intercom. Bergegas sang direktur muda mendekat ke perangkat di atas meja kerjanya tersebut."Kenapa, Sin?" tanyanya. Tadi pendengarannya tak terlau menangkap apa yang disampaikan sekretarisnya."Pak Ali baru saja tiba di ruangannya, Bu. Barangkali Ibu mau bertemu beliau untuk menanyakan yang tadi," ujar Sinta.Ekspresi wajah Tiara seketika berubah. Manajer HRD-nya itu tentu punya informasi yang layak ia korek terkait keluarnya Anita. Terutama mengenai dugaannya bahwa Ryan terlibat di balik prosesnya yang sedemikian kilat.Tapi sejenak Tiara ragu. Diam-diam ia merasa khawatir seisi kantor malah jadi tahu skandal Ryan dengan Anita. Bisa ikut malu nanti kalau cerita tersebut bocor ke mana-mana."Hmm, tapi setidaknya aku punya alasan kuat, yakni berhubungan dengan dugaan penyelewengan Anita selama bekerja," batin Tiara di tengah keterdiamannya."Bu?"
DARI duduk, Tiara bangkit berdiri dan lantas menempatkan bokongnya di tepi meja kerja. Kedua tangannya disedekapkan ke depan dada. Kepalanya diputar sedikit, memandang ke arah Pak Ali yang tampak berusaha bersikap tenang.Dengan posisi begitu, Tiara seolah hendak menyatakan bahwa dirinya adalah bos di tempat tersebut. Berani Pak Ali memberikan jawaban dusta, sama artinya melawan dirinya sebagai penguasa tertinggi."Saya yakin Pak Ali tahu kalau saya masih keberatan dengan kaporan keuangan yang diampu Anita. Saya minta dia merevisinya dalam rapat terakhir yang saya ikuti. Dan Pak Ali juga mengikuti rapat tersebut," ujar Tiara kemudian, masih mendesak manajer di hadapannya.Yang ditanyai dongakkan kepala. Pandangannya menantang sorot mata Tiara. Sebuah sikap yang ditangkap Tiara sebagai upaya Pak Ali untuk menunjukkan dirinya tidak sedang berdusta."Iya, saya tahu mengenai hal itu, Bu. Namun, sebagai Manajer HRD patokan saya hanya di catatan karyawan. Kalau
TIARA tak peduli apa-apa lagi. Kemarahannya sudah benar-benar membuncah. Wajahnya yang putih bersih, telah berubah memerah padam seluruhnya.Meski demikian Tiara sadar betul dirinya tak mungkin melampiaskan kemarahan pada Pak Ali. Tidak pada siapa pun di kantor ini. Satu-satunya orang yang harus ia labrak adalah Ryan."Sialan! Dia benar-benar sudah memandang aku tidak ada lagi!" geram Tiara mendesis.Dari berdiri bersandar pada tepian meja, gadis melangkah ke arah kaca lebar yang menjadi dinding ruangan kerjanya. Dari sana ia dapat melihat jalan tol nan ramai lancar di kejauhan. Tapi pandangannya bukan tertuju pada ruas jalan tersebut.Dalam diamnya Tiara menelan ludah, sembari menekan kuat-kuat kemarahan yang hampir meledak. Tenggorokannya terasa sakit. Sama sakit dengan hatinya yang seolah kembali tergores dan luka.Pak Ali hanya dapat menyaksikan tindak-tanduk atasannya dengan wajah kebingungan. Sekali waktu lelaki yang sudah berumur ini menoleh