SEPANJANG perjalanan ke rumah sakit Abdi mengutuki dirinya sendiri. Betapa mudahnya ia terbuai nafsu tadi. Pemuda itu tak dapat membayangkan apa yang bakal dirinya dan Tiara lakukan andai saja tak ada staf hotel datang mengetuk pintu.
Apakah tindakannya itu perwujudan dari rasa takut kehilangan Tiara? Jauh di lubuk hatinya Abdi memang tidak rela jika harus berpisah dari atasannya tersebut. Ia harus mengakui, perasaan aneh yang belakangan menyelimuti hatinya adalah sebuah cinta.
Dan melihat reaksi Tiara tadi, Abdi semakin yakin jika gadis itu juga mempunyai perasaan sama terhadapnya. Dengan kata lain, mereka sama-sama jatuh cinta. Kebersamaan selama sebulan lebih di dalam hutan rupanya telah menumbuhkan benih-benih asmara di hati mereka.
"Oh, Gusti nu agung ..." desah Abdi ketika kemudian teringat pada Atisaya.
Abdi dan Atisaya bukan saja sudah berstatus tunangan. Haji Sobirin, juragan kaya raya ayah di gadis, bahkan sudah mengatakan pada ibu Abdi bakal me
SEOLAH tak percaya pada pendengarannya sendiri, Abdi angsurkan telinganya mendekati sang ibu. Raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang begitu kentara sekali."Ma-maksud Emak gimana? Memangnya pertunangan Abdi sama Neng Ati bisa dibatalkan?" tanya Abdi, keceplosan menanyakan perkara yang memang sangat ingin ia ketahui.Terdengar ibu Abdi menghela napas panjang lagi berat. Tahulah wanita itu sekarang jika puteranya benar-benar telah menaruh hati pada Tiara. Jawaban itu tadi menunjukkan hal tersebut."Kalau kamu memang sudah nggak punya hati sama Ati, kenapa musti diteruskan? Kasihan Ati nanti, juga kasihan kamu sendiri," jawab ibu Abdi kemudian.Abdi menelan ludah. Lalu geser posisi duduknya mendekat pada tubuh sang ibu. Sebelah tangannya terulur, memegang telapak wanita yang telah melahirkannya ke dunia tersebut."Tapi, Mak, bagaimana dengan Haji Sobirin? Dia kan sudah berencana menikahkan Abdi dengan Neng Ati bulan depan?" tanya Abdi, kembali
SEMENTARA di hotel, Tiara langsung naik lagi ke kamar begitu Abdi dan sepeda motornya menghilang di ujung jalan. Gadis itu langsung mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Disertai satu embusan napas panjang. Pandangan mata Tiara lantas menerawang ke langit-langit kamar. Namun bukan plafon putih bersih dengan ukiran cantik yang terlihat olehnya. Melainkan kelebatan bayangan semasa dirinya dan Abdi masih berada di dalam hutan. Diam-diam Tiara jadi bertanya-tanya. Mengapa Abdi yang selama bersamanya di dalam hutan tampak kalem dan dingin, tiba-tiba berubah agresif dan panas barusan? Padahal selama di hutan mereka hanya berdua saja untuk lebih dari satu bulan lamanya. "Apa mungkin karena waktu itu dia belum ada perasaan apa-apa ya?" batin Tiara kemudian. Terbayang kembali di benak Tiara satu kejadian. Bagaimana Abdi justru sibuk ingin melepaskan diri sewaktu dirinya coba memeluk si pemuda dari belakang. Waktu itu Tiara masih terluka hatinya, setelah
TERGESA Tiara membuka kuncian layar pada gawai. Nama pengirim pesan yang tadi terlihat olehnya, membuat gadis itu tak sabar ingin segera membaca isinya."Theo? Apa yang mau dia katakan?" batin Tiara seraya menunggu aplikasi chatting terbuka.Sembari menunggu, Tiara jadi ingat jika tadi ia sempat berencana menghubungi Theo. Mana tahu urusan pemuda itu sudah selesai, dan mana tahu adik salah seorang mitra bisnisnya itu berencana kembali ke Jakarta besok.Mulanya Tiara berniat menumpang. Sembari mendekatkan diri dengan Theo. Gadis mana yang tak mau menjalin kedekatan dengan Theo jika tahu pemuda itu pangeran dari Keluarga Khusuma?Namun apa yang kemudian terjadi antara dirinya dan Abdi, membuat Tiara membatalkan niat tersebut. Tiara pasrah. Kalau pun tidak bisa balik ke Jakarta pagi-pagi, pulang sore pun tidak masalah.Tidak disangka-sangka, malah Theo yang kemudian mengirimi Tiara pesan.[Besok pagi-pagi aku ajak ke pantai mau ya? Sekalian sar
MATAHARI kalah cepat pagi itu. Ketika benda langit bulat besar itu sama sekali belum menampakkan diri di ufuk langit timur, Theo sudah muncul di hotel tempat Tiara menginap.Theo memarkir mobil tak jauh dari pintu keluar, agar tidak usah berputar-putar nanti. Setelah itu bergegas itu melompat keluar dan melangkah cepat menuju lobi.Hotel masih sangat sepi. Theo hanya menjumpai seorang satpam yang mukanya merah menahan kantuk di depan lobi. Sambil memanggil nomor Tiara pemuda itu duduk di salah satu sofa empuk."Halo, Tiara? Aku sudah di lobi nih," seru Theo cepat begitu panggilannya diangkat."Ya, aku langsung turun," sahut Tiara di seberang panggilan."Oke," kata Theo sebelum menutup panggilan telepon.Sambil memasukkan gawai ke dalam saku celana, Theo mengulas sebuah senyum. Agak surprise juga pemuda itu mengetahui Tiara sudah siap dijemput.Tak sampai lima menit berselang Tiara sudah muncul dari pintu lift. Gadis itu melambaikan se
ANGIN dingin langsung menerpa kulit Tiara begitu gadis itu keluar dari mobil. Sengaja ia tak membawa jaket. Meski hawa masih cukup untuk membuat dirinya menggigil, tapi sebentar lagi matahari bakal muncul.Kedua pasangan tersebut lantas menuju ke sebuah warung makan. Theo memesan menu simpel saja untuk sarapan mereka, yakni nasi goreng seafood. Untuk minumnya cukup teh panas.Setelah itu mereka menyeberangi jalan aspal yang lengang menuju ke pantai.Seperti halnya pantai wisata lain, bagian pantai di sisi jalan dipenuhi tenda-tenda kecil dan kursi. Beberapa muda-mudi tampak sudah duduk di tiga-empat titik."Di sini?" tanya Theo sembari berhenti di sebuah tenda.Tiara tak langsung menjawab. Agaknya ia masih menimbang-nimbang. Tampak sepasang matanya lantas mengamati tenda lain yang lebih dekat ke pantai.Theo cepat tanggap. Dibawanya Tiara ke arah di mana pandangan mata gadis itu tadi tertuju. Rupanya Tiara lebih suka duduk di saung tanpa atap
PERPADUAN antara bangkitnya kenangan pahit dan pertanyaan Theo yang dianggap lancang, membuat suasana sarapan tidak menyenangkan bagi Tiara. Gadis itu menghabiskan nasi goreng di piringnya cepat-cepat.Theo diam-diam memerhatikan gelagat tersebut. Sejak dirinya bertanya tadi, Tiara langsung diam tanpa berkata-kata lagi. Sepanjang menyantap sarapan juga hanya diam.Bahkan di mata Theo, Tiara menyantap sarapannya dengan sangat tergesa-gesa. Jelas sekali terlihat jika gadis itu merasa tidak nyaman. Theo pun mengerti harus berbuat apa."Kamu sudah check out dari hotel kan?" tanya Theo kemudian.Tiara telan nasi yang tengah ia kunyah terlebih dahulu, baru menjawab, "Sudah. Tadi sebelum kamu datang aku sudah check out duluan.""Terus, barang bawaan kamu cuma tas yang tadi itu kan?" tanya Theo lagi."Iya, aku nggak bawa banyak barang," sahut Tiara cepat.Theo manggut-manggut. Ia tak mau menahan Tiara berlama-lama di tempat ini. Sebaiknya seg
BELUM tengah hari ketika mobil yang dikendarai Theo memasuki Jakarta. Udara panas nan lembap menyambut kedua muda-mudi tersebut begitu memasuki ibu kota. Tiara seketika merasa gerah. Bintik-bintik keringat bermunculan di pori-pori kulitnya. Padahal AC mobil Theo menyemburkan hawa dingin yang cukup. Entahlah, sebegini panasnyakah Jakarta? "Kamu mampir dulu ke rumah ya?" ujar Tiara memecah kebisuan. Mereka memang hanya berdiam diri sejak memasuki ruas Tol Cikampek. Tiara memilih memejamkan mata, sekalipun sebenarnya ia sama sekali tidak mengantuk. Sedangkan Theo, pemuda itu tak sekali pun mengusik Tiara. Baik dengan mencoba mengajak berbicara, maupun menghidupkan musik. Ia terus fokus pada jalanan ramai lancar di hadapan sana. "Emm, boleh deh. Tapi sepertinya nggak bisa lama ya," sahut Theo tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Sepasang matanya melihat pintu keluar tol di kejauhan. "Oke, nggak apa-apa. Paling-paling nanti ditahan unt
BEGITU menurutnya Mama dan Theo tidak dapat mendengar suaranya, Tiara tekan tombol hijau pada layar untuk menerima panggilan. Suara Abdi langsung terdengar di telinga si gadis. "Kok belum kasih kabar? Apa belum sampai Jakarta?" tanya Abdi tanpa basa-basi. Wajah Tiara kontan berkerut. Hatinya jadi kecut akibat merasa bersalah. Harusnya tadi ia langsung memberi kabar begitu sampai. Meski hanya lewat chat. "Maaf," sahut Tiara cepat, dengan nada mengiba. "Tadi langsung keasyikan ngobrol sama Mama soalnya." "Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kalau begitu," kata Abdi lagi. "Ya sudah kalau sudah sampai di Jakarta." "Iya, sudah kira-kira setengah jam lalu sih sampainya," timpal Tiara. Gadis itu mengatakan ucapan tersebut sembari hatinya berbunga-bunga. Abdi meneleponnya, menandakan pemuda itu menaruh perhatian besar. Bahkan andai saja tadi pagi Abdi tidak harus mengurus kepulangan ibunya dari rumah sakit, Tiara yakin sekali pemuda itu mau me