Setelah Ayah Setya, pulang dari puskesmas, tempatnya bertugas, Setya akan mengutarakan niatnya pada Ayah dan Ibunya, nanti seusai melaksanakan sholat maghrib.
Ba'da maghrib, Ayah dan Ibu Setya nampak sedang duduk bersantai diruang keluarga, sambil menonton televisi. Keluarga mereka tampak begitu hangat. Tak satupun yang terlihat memegang gawai, saat sedang berkumpul bersama.
Setya terlihat sedikit tegang, ketika akan berbicara pada Ibu dan Ayahnya. Meski tekad nya sudah bulat, dan pasti Ibu dan Ayahnya akan setuju jika ia menikah dengan Kamila, tapi Setya tak begitu yakin jika Ibu dan Ayahnya akan mengizinkannya menikah dalam waktu yang terbilang singkat. Dibarengi, dengan pendidikannya, yang sebentar lagi juga akan berakhir. Ibu dan Ayahnya, pasti menyarankan agar Setya menikah usai wisuda. Dan dia, tak akan sabar lagi menunggu waktu itu. Dia sudah banyak melihat penderitaan Kamila, meski gadis itu selalu menyembunyikannya.
"Bunda, Ayah, asik banget nonton nya." Setya yang baru saja keluar dari kamar, menghampiri Ibu dan Ayahnya, sembari diikuti oleh senyuman hangat kedua orang tuanya itu, yang menoleh serentak kearahnya.
"Setya, sudah sholat, Nak?" Tanya Bu Indri padanya.
"Sudah, Bun. Tadi tidak sempat ke surau, jadi Setya sholat dirumah saja." Jawab Setya sopan pada Ibunya.
"Oh. Apa kamu sudah lapar? Bunda siapkan makan, ya." Bu Indri melanjutkan ucapannya.
"Tidak, Bun. Nanti saja. Sebenarnya, ada yang ingin Setya bicarakan pada Bunda dan Ayah." Ujar Setya memulai pembicaraan inti.
"Mau bicara apa toh, Nak? Tentang kuliah kamu, ya?" Ayah Setya berusaha menebak apa yang ingin dikatakan anak tunggalnya itu.
"Bukan, Ayah. Sebenarnya, Setya berniat ingin menikahi Kamila dalam waktu dekat ini." Setya akhirnya memberanikan diri memberi tahu orang tuanya, yang sontak terkagetendengar hal itu. Bahkan, Ayah Setya yang sedang mengunyah camilan, tersedak karena mendengar ucapannya.
"Nak, apa ini tidak terlalu cepat?" Bu Indri yang juga tampak kaget, berusaha tenang, dengam bertanya pada Setya, sembari mengulurkan air putih, pada suaminya.
"Iya, Setya. Ayah rasa juga ini seperti terburu buru. Ya, Ayah setuju jika Kamila menjadi istri kamu, Nak. Karna dia gadis yang baik dan sholeha. Tapi, selesaikan dulu kuliahmu, Nak. Supaya masa depan kamu serta Kamila terjamin." Pak Wiguna-Ayah Setya, memberi wejangan pada putra semata wayang nya itu, seusai menenggak air putih untuk meredakan tenggorokannya yang tersedak wafer.
Meskipun nantinya, semua harta Pak Wiguna akan jatuh ketangan Setya, namun Pak Wiguna tetap ingin anaknya menjadi pribadi yang mandiri. Yang tidak mengharapkan bantuan dari orang tua setelah menikah. Walau dia tau, bahwa Setya saat ini pun, juga sudah hidup mandiri. Semua biaya kuliah tak lagi ditanggung oleh nya semenjak Setya bekerja paruh waktu dikantor sepupunya itu.
"Ayah, Bunda, Setya mohon. Setya tak tahan lagi melihat penderitaan Kamila. Setya sangat mencintai Kamila, Yah, Bun." Dengan mata berkaca kaca, Setya yang duduk didepan kaki Ibu Ayahnya yang sedang duduk di sofa itu, memohon agar diizinkan menikah dengan Kamila.
Bu Indri dan Pak Wiguna saling bertatapan. Mereka terharu melihat ketulusan hati anak tunggal mereka itu. Mereka tidak menyangka, bahwa Setya kecil mereka, yang sebelum dibawa kekampung ini, adalah anak yang sangat bandal, berubah menjadi seorang pemuda berhati lembut. Dan mereka tentunya menyadari, semua perubahan itu, karna pengaruh dari Kamila, perempuan yang dari kecil berteman dengan Setya.
Ibu dan Ayah Setya terkenang, saat awal mereka pindah ke desa Sukaramai, tidak ada yang mau berteman dengan Setya, anak mereka. Karna Setya, anak introvert yang tak mudah berteman. Juga, jika ada yang dekat dengannya, Setya akan memukul "Calon Temannya" dengan keras. Sebab itulah, tak ada yang mau berteman dengannya.
Hingga akhirnya, Bu Indri melihat Setya berteman akrab dengan Kamila.Setya tampak nyaman bermain dengan gadis yang sejak kecil mengenakan kerudung itu. Jika sesekali Setya ingin memukulnya karna kesal, Kamila akan bicara pelan pada Setya, dan memberi tahu bahwa memukul orang lain itu, bukanlah hal yang baik.
Sejak saat itulah, Bu Indri senang melihat Setya dan Kamila dekat. Hingga saat ini, seperti yang diketahui, Bu Indri sangat menyayangi Kamila, layaknya anak sendiri. Bu Indri juga yang membantu membelikan seragam sekolah dan buku buku untuk Kamila. Karna, sekolah elit swasta yang memberikan beasiswa pada Kamila dari Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas, hanya menggratiskan uang bulanan sekolah saja. Seragam dan buku buku, harus dibeli sendiri. Jika Bu Indri tak membantu Kamila, maka gadis itu dulunya akan menolak beasiswa sekolahnya, dan tak melanjutkan pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas.
Kamila merupakan anak yang cerdas. Dia mahir berbahasa Inggris. Kamila juga mendapatkan beasiswa untuk berkuliah ke Taiwan. Namun, karna Nek Sumi jatuh sakit, Kamila tak mengambil beasiswa itu. Dia lebih memilih merawat Neneknya, yang sudah merawat nya dari kecil. Itupun, tanpa sepengetahuan Bu Indri. Jika Bu Indri tahu waktu itu, kalau Kamila mendapatkan beasiswa, pasti Bu Indri akan membujuk Kamila agar mau mengambil beasiswa itu, dan mempercayakan Nek Sumi, padanya.
***
Pak Wiguna dan Bu Indri masih sangat bingung dengan keputusan Setya. Mereka harus menimbangkan matang matang keputusan anaknya.
"Setya, apa kamu betul betul yakin, Nak? " Tanya Pak Wiguna sekali lagi pada putranya, disertai anggukan Bu Indri.
"Jangan mengambil keputusan disaat emosional, Nak. Berfikirlah dulu dengan kepala dingin. Kalian masih sangat muda. Ayah ragu, Nak." Sambungnya sembari mengusap lembut rambut putra yang sangat disayanginya itu.
"Sebaiknya, Setya sholat Istikhoroh terlebih dulu. Minta petunjuk sama Allah, Nak. Jika setelah sholat, hatimu mengatakan, ya, maka Bunda dan Ayah tak bisa mengatakan apa apa lagi. Berarti itulah yang terbaik untuk kalian." Bu Indri yang dikenal religius itu, mengarahkan anaknya agar minta petunjuk pada Allah, sebelum mengambil keputusan dalam hidupnya.
"Baiklah Bun, Setya akan melakukannya." Turut Setya, kemudian memeluk kedua orang tuanya. Butiran halus yang sejak tadi menggenang di kantung matanya, tak lagi dapat dibendung. Hati Setya sangat lemah jika menyangkut tentang Kamila.
***
Dikamar Nek Sumi, usai menunaikan sholat isya, Kamila semerebahkan badan disamping Neneknya. Tangan kanan nya diletakkan diatas perut Nek Sumi. Kamila menciumi pipi Nenek nya itu. Kamila yang masih menggunakan mukena, menatap lekat pada Neneknya.
"Opo toh, Nduk? Mau mengatakan sesuatu?" Nek Sumi yang sudah sangat hafal dengan tingkah laku cucunya itu, langsung mengerti, bahwa Kamila ingin mengutarakan sesuatu padanya.
Kamila tersenyum menunjukkan lesung pipinya.
"Iya, Nek. Sebenarnya, Setya bilang, ingin menikahi Kamila." Ujarnya malu.
" Sing tenan, Nduk?" Nek Sumi sama kagetnya seperti Kamila, saat tadi Setya menyatakan hal yang sama padanya.
"Iya, betul, Nek. Setya tadi melihat bekas meeah ditampar Kakek, dipipi Kamila. Setya tak ingin Kamila disakiti lagi oleh Kakek. Maka dari itu, Setya ingin menikahi Kamila. Besok, jika Bu Indri dan Pak Wiguna setuju, mereka akan kesini melamar Mila pada Nenek." Jelas Kamila pada Nek Sumi.
"Masya Allah, Nduk. Nenek tidak menyangka Nduk. Kamu harus terima, Nduk. Setya pemuda yang baik. Keluarganya, pun baik. Tidak usah pikirkan Nenek. Menikahlah, Nduk. Pergilah bersama Setya." Titah Nek Sumi yang menangis haru pada Kamila.
"Nenek, jangan bicara seperti itu. Mana mungkin Kamila tidak memikirkan Nenek." Ujarnya dengan nada sedih, karna mendengar ucapan Nek Sumi.
"Setya sudah berjanji akan membawa Nenek bersama kami, jika kami berdua menikah. Kamila tak akan meninggalkan Nenek disini. Kamila tetap akan berada disamping Nenek." Gadis itu melanjutkan ucapannya, dengan posisinya yang semakin mendekat dengan Nek Sumi.
"Apapun itu, berbahagialah, Nduk. Kamu sudah banyak menelan penderitaan. Kini, waktunya kamu bahagia." Nek Sumi sangat bahagia mendengar kabar yang dibawa oleh Kamila, diikuti anggukan gadis cantik itu.
Nek Sumi hanya berharap, agar tak ada yang mengusik kebahagiaan Kamila. Nek Sumi juga berharap, inilah akhir dari penderitaan Kamila.
"Assalamualaikum." Pak Wiguna mengucap salam dan mengetuk pintu rumah nek Sumi. Mereka sudah memutuskan, akan segera menikahkan Kamila dan Setya. Karna Setya, sudah merasa yakin dengan itu. Bu Indri dan pak Wiguna juga tidak bisa menghalangi niat baik putra mereka. "Waalaikumsalam." Kamila menjawab dari dalam rumah, sembari membukakan pintu. Gadis berhijab itu tertegun melihat pak Wiguna, bu Indri, dan Setya berada di ambang pintu. Kamila lantas menjunjung tangan bu Indri dan pak Wiguna ke dahinya. Bu Indri tampak mengenakan gamis set sederhana, namun tampak mewah berada di tubuhnya. Bu Indri juga tampat membawa bingkisan berupa buah-buahan yang terbungkus rapi, di tangannya. Sementara pak Wiguna dan Setya, mengenakan celana bahan, dan kemeja lengan panjang bercorak batik. Setya terlihat semakin tampan memakai pakaian formal seperti itu. Setya juga memakai tas selempang kecil di pundaknya, yang entah apa isinya. Mereka datang hanya berjalan
Menunggu kedatangan kakek Parmin, bu Indri dan nek Sumi tampak berbincang hangat. Pak Wiguna juga terlihat ikut mengobrol bersama mereka. Sementara, Setya, melirik-lirik ke arah Kamila. Yang jika Kamila menoleh ke arahnya, dia mengedipkan sebelah matanya pada Kamila. "Bu Sumi, kakinya sudah mulai bisa digerakkan, ya?" Bu Indri menanyakan perihal kesehatan nek Sumi. "Iya, Nak Indri. Sudah tidak terlalu kaku. Nak Wiguna merawat saya dengan baik," ucap Nek Sumi tersenyum sembari menyebut nama Pak Wiguna, yang mengurus penyembuhan kakinya itu. Pak Wiguna rutin datang kerumah nek Sumi setiap dua hari sekali, untuk melakukan cek pada kaki nek Sumi yang terkena kanker tulang itu. Pak Wiguna juga memberikan pengobatan dengan sukarela pada nek Sumi, dengan arti, nek Sumi tidak perlu membayar pengobatannya pada pak Wiguna. Meskipun, obat nek Sumi relatif mahal, dan jarang sekali ada stok obat dari Puskesmas desa, pak Wiguna selalu menggunakan uang pribadiny
Kakek Parmin sudah diatasi. Sekarang, satu masalah lagi datang. Jika ingin menikah, Kamila harus mencari tahu siapa ayah kandungnya untuk menjadi wali pernikahan. Karna seperti yang diketahui, kakek Parmin adalah kakek dari pihak ibu. Tentu saja, kakek Parmin tidak punya andil untuk menjadi wali di pernikahan Kamila. "Semua yang dikatakan Kakek itu, benar adanya, Setya. Bagaimana mungkin kita bisa menikah, jika Ayah kandungku, tak pernah ada yang mengetahui sosoknya, kecuali Ibu." Kamila membuka suara, dengan sisa tangisan yang baru saja mereda. Dengan suaranya yang lembut, Kamila mengiyakan perkataan kakek Parmin barusan. "Sementara Ibu, sudah puluhan tahun tidak pulang. Bahkan, dua tahun belakangan ini, Ibu tak pernah memberi kabar," imbuhnya dengan nada sedih mengingat sang Ibu yang tak kunjung terdengar kabar beritanya. "Tenang lah, Kamila. Aku akan berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini. Aku berjanji padamu." Setya menenangkan Kamila. Tekad lela
Hari ini, Setya kembali ke kota untuk kuliah. Karna masa akhir pekan sudah berlalu. Sebenarnya, hati Setya sangat berat meninggalkan Kamila di desa. Tapi, dia juga tak bisa libur dari kuliahnya, karna sedang berlangsung ujian. Setelah pamit dengan Kamila kemarin sore, dan meninggalkan sebuah ponsel pada Kamila, hati Setya tak lagi begitu gelisah. Dia sudah sedikit tenang, karna bisa bertanya kabar Kamila, melalui telepon. Setya memberikan ponsel yang dulu dibelikan oleh ayahnya, pada Kamila. Ponsel itu sudah jarang ia gunakan. Karna, Setya sudah memiliki ponsel baru, yang dibelinya memakai uang dari gajinya bekerja. Dan atas usul dari pak Wiguna dan bu Indri juga, Setya memberikan ponsel itu pada Kamila. Agar Setya tidak berat hati meninggalkan Kamila. Ya, meskipun ibu dan ayah Setya berada di desa yang sama dengan Kamila, dan jarak rumah mereka tidak begitu jauh, Setya tetap saja tak tenang. Jika sewaktu-waktu Kamila memerlukan bantuan, dan dia
Setya dan Rizki sudah sampai di pos, tempat pengiriman surat terakhir yang dikirim oleh Bu Ratih, ke desa. Setelah memasuki pagar, Setya dan Rizki lalu memakirkan motor Setya. Di sana terlihat seorang lelaki paruh baya, yang sepertinya, telah bekerja cukup lama di kantor itu. Bisa dilihat dari pakaian dinasnya yang sudah tampak sedikit usang. Melihatnya, Rizki lantas menghampiri lelaki itu. "Selamat sore, Pak," ucap Rizki, sembari menyambangi lelaki yang terlihat seusia ibunya itu, dengan duduk persis di samping lelaki yang tengah santai di kursi panjang, di halaman kantor tersebut. "Iya, Nak. Ada yang bisa saya bantu?" balas lelaki itu ramah pada Rizki dan Setya. "Mari, duduk," ujar lelaki itu pada Setya yang tampak masih berdiri di samping Rizki. "Iya, Pak. Perkenalkan, saya Setya." Setya kemudian duduk di sebelah Rizki, lalu mengulurkan tangannya pada lelaki berseragam kantor pos itu, yang lantas disambut hangat olehnya. "Saya, Jupr
Rintik hujan menghiasi pemandangan di luar jendela kamar Setya. Usai mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan oleh om Ilham, Setya tak kunjung merasa lelah dan mengantuk. Sementara, jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Seharian, Setya tak menerima kabar dari Kamila. Dan dia pun, tak berusaha untuk menghubungi Kamila. Bukan karna dia enggan, namun, kesibukannya dari pagi hingga sore, membuatnya tak punya luang untuk menghubungi Kamila. Setya menatap layar ponsel pintarnya, lalu memandangi poto Kamila, yang dijepret secara diam-diam olehnya, dengan kamera ponsel miliknya. Potret Kamila yang tengah membaca buku itu, terpajang manis menghiasi layar depan ponsel pemuda itu. Rasa rindu, lantas menyeruak dalam hatinya. Jika tak mengingat jam yang sudah sangat larut, Setya ingin sekali menghubungi Kamila. "Kamila. Bersabarlah, sayang. Aku pasti akan mencari keberadaan ibu," lirihnya sembari menatap gambar diri Kamila. Malam itu, Setya benar-benar tak
Setya duduk termenung diteras kontrakan tempatnya tinggal. Dia tengah menunggu kedatangan sahabatnya, untuk menelurusi lebih lanjut, tentang pak Jupri, yang mereka temui kemarin sore. Setya masih belum bisa memecahkan teka-teki, siapa sebenarnya pak Jupri, dan apa hubungannya dengan bu Ratih, serta bangunan bekas kebakaran itu. Kriiing. Bunyi ponsel, membuyarkan lamunan Setya. Bunda Indri yang menelpon. "Assalamualaikum, Nak." Suara Bu Indri langsung terdengar dari sebrang sana. "Waalaikumsalam, Bunda." Setya menjawab salam sang Ibu. "Setya, ada sesuatu yang ingin Bunda bicarakan, Nak. Ini mengenai Kamila." Bu Indri sepertinya ingin segera menceritakan apa yang terjadi pada Kamila, pada Setya. "Ya, ada apa dengan Kamila, Bunda?" Mendengar suara sang Bunda, yang jelas terdengar sedang khawatir itu, membuat Setya menjadi tak tenang. "Tapi, Bunda mohon, kamu jangan tersulut emosi, Nak. Dan Bunda mohon, setelah
"Tahan sebentar, ya, Kamila. Bunda oleskan cairan antiseptik dulu pada lukamu," ujar Bu Indri yang membantu Kamila mengoleskan cairan antiseptik yang diberikan oleh pak Wiguna. "Pelan pelan saja, Bun. Itu pasti perih sekali. Memang keterlaluan anak itu. Tega-teganya menyerang Kamila sampai terluka." Pak Wiguna yang segera bergegas datang dari puskesmas, setelah ditelpon oleh bu Indri, tampak merasa geram pada Utari, yang telah melukai calon menantunya itu. "Iya, Nak Wiguna. Ibu juga merasa sangat terkejut dengan kedatangan Utari. Ibu menyangka, bahwa Kakeknya lah yang datang, dan menggedor pintu dengan keras. Tapi ternyata bukan. Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ibu sangat cemas mendengar keributan yang terjadi di luar rumah. Untung saja, Nak Indri menyelamatkan Kamila. Kalau Nak Indri tak kebetulan akan mampir kemari, entah apa lagi yang anak itu lakukan pada Kamila, cucuku." Nek Sumi menyambut perkataan pak Wiguna. Hatinya sangat terluka melihat cucu yang sangat