Aku seketika mengarahkan pandanganku ke atas, tepat disana ku kulihat wanita yang sedang duduk, wanita itu duduk dengan kaki yang menggantung di atas ranting-ranting pohon yang besar itu, dengan rambut yang menutupi wajahnya dia menatap tajam ke arahku yang ada di bawahnya.
Hihihihihi....
Tercium aroma bunga melati yang menyeruak tetapi penampilannya tidak seindah wanginya dengan mulutnya seketika terbuka, dengan tertawa yang menyeramkan dia tertawa menertawakanku yang sedang panik di bawah sini. Giginya yang tajam sedikit terlihat dari sela-sela rambut yang terurai dari wajahnya, juga baju putih yang terlihat kotor dan lusuh, juga noda-noda darah merah yang sepertinya sudah mengering terlihat dari bajunya yang putih itu.
“Itu kuntilanak kan?” pikirku.
Aku mundur beberapa langkah, berusaha menjauh dari pohon di pinggir jurang tempat kuntilanak itu duduk dan menertawakanku malam itu.
“Aya korban hiji deui. (Ada korban satu lagi.)”
Hihihihihihihi
Wussshh
Tiba-tiba kuntilanak itu seketika terbang dia seperti mengelilingiku yang sedang ada di bawah sana, akhirnya mau tidak mau aku harus kembali ke dalam kampung, kampung yang tiba-tiba berubah menjadi menyeramkan, tepat setelah aku sampai di sore itu.
Tap
Tap
Tap
Aku berlari sekuat tenaga, berusaha menghindari wanita itu, dia terus-menerus tertawa dengan menyeramkan mengikutiku dari atas sana, dengan tertawanya yang khas membuatku semakin merinding.
Hihihi.....
Hihihi.....
Hihihi.....
Meskipun takut dan sedikit ragu, aku beberapa kali melompati retakan-retakan tanah yang berasap di sekitaran kampung, dengan bau belerang yang sangat menyengat, aku menutup hidungku sembari berlari ke dalam kampung untuk mencari tempat untuk berlindung.
Hosh hosh hosh... Nafasku terasa berat.
Aku panik, sangat panik, aku terus-menerus berlari sambil melihat di sekelilingku, berusaha mencari tempat yang bisa membuatku tidak dikejar-kejar lagi oleh kuntilanak itu.
“Apakah ini masih mimpi?” pikirku sembari berusaha mencubit kulitku.
Aw
Namun rasa sakit yang kurasakan ini menyakinkan aku bahwa ini bukanlah mimpi, Aku pun akhirnya terus-menerus berlari hingga,
Tap tap tap tap tap...
"Sepertinya aku harus coba mengetuk rumah-rumah, mungkin akan ada yang membukakan pintunya untukku," dengan sedikit berharap aku pun mencoba menghampiri setiap rumah yang aku lewati dan mengetuknya.
Tok tok tok
"Tolong buka pintu nya!" Aku berteriak meminta pertolongan penghuni rumah.
Tidak ada yang menjawab, aku berlari lagi ke rumah lainnya sambil terus berlari.
Tok tok tok
"Tolong buka pintu nya!"
Tok tok tok
"TOLONG AKU MOHON BUKA PINTUNYA BIARKAN AKU MASUK!"
Aku mengetuk ke setiap pintu rumah, berharap akan ada yang menjawab dan membiarkanku masuk ke dalam rumah mereka, namun hasilnya nihil, tidak ada jawaban apapun dari dalam rumah, dalam keadaan panik aku menengok ke belakang.
Hihihi.... Hihihi..
Suara kuntilanak itu ternyata masih terdengar, kuntilanak itu terbang dari atas dan masih mengikutiku.
Aku begitu putus asa, makhluk itu terus mengikutiku sambil menertawakan ku yang tidak bisa bersembunyi, ke mana pun aku coba menghindar makhluk itu terus saja ada di belakang ku.
DAKKK..
Aku menabrak sebuah dinding, sebuah dinding rumah besar yang ada di dalam kampung, rumah itu tampak menyeramkan apabila melihatnya dari luar, sebuah rumah besar dengan pagar-pagar tinggi di sekelilingnya, juga beberapa tiang besar di luar rumah itu yang berwarna merah, di sela-sela dinding itu terdapat beberapa tumbuhan yang merambat namun kondisinya layu, juga tangkainya yang berduri melilit pagar yang mengelilingi rumah itu.
Aku seketika terjatuh, namun kulihat ada retakan kecil yang berlubang di bawah dinding tersebut, sebuah retakan yang bisa kumasuki, mungkin ketika aku memasuki lubang itu, aku terhindar dari kuntilanak yang mengejarku.
Secara spontan aku merangkak melewati lubang itu, rasa takut ini masih saja ku rasakan. Aku hanya berpikir bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini, karena baru pertama kali aku mengalami kejadian yang menyeramkan seperti ini.
Hah, hah, hah,
Aku berhasil masuk dalam retakan itu, ternyata di balik tembok itu terdapat banyak tumbuhan yang merambat yang menutupi badanku, sehingga ketika aku masuk aku tertutup oleh tumbuhan tersebut.
Jantungku masih berdegup kencang, aku sengaja menutup mulutku dengan tanganku di balik lubang kecil itu, berharap makhluk itu tidak menemukanku sekarang ini.
Tiba-tiba,
Hihihihihi
Aku melihat wanita terbang tepat di atasku, dia mengelilingi halaman rumah itu untuk mencariku, kali ini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, wajah yang pucat dengan beberapa luka darah yang sudah mengering semakin membuat wanita itu sangat mengerikan.
Aku berusaha sekuat tenaga menyandarkan tubuhku di balik tembok itu, berharap tubuhku yang tertutup oleh tumbuhan tersebut bisa membuat diriku tidak terlihat oleh kuntilanak tersebut.
Butuh waktu hingga 10 menit aku berdiam diri di sana, sampai akhirnya aku tidak mendengar lagi suara makhluk tersebut, aku memastikan bahwa makhluk itu benar-benar tidak ada, dengan melihat ke sekeliling rumah besar itu, hingga akhirnya aku perlahan-lahan keluar dari tumbuhan yang merambat tersebut, dan berjalan menuju rumah besar yang ada di depanku.
Aku sudah tidak heran dengan rumah-rumah besar yang berdiri di Kampung Halimun, karena hampir seluruh penduduk Kampung Halimun kaya raya, para tetua kampung mengatakan bahwa semua warga Kampung Halimun diberkahi oleh kekayaan yang melimpah dari zaman dahulu hingga sekarang, juga kemudahan dalam menjalani kehidupannya dari lahir hingga meninggal.
Termasuk aku dan keluargaku, banyak para warga Kampung Halimun yang berdagang di luar kampung dan kerja di kota dan sukses di sana, namun mereka tidak bisa tinggal di luar kampung, mereka harus kembali ketika sudah selesai dengan pekerjaannya di luar kampung, karena itu adalah syarat mutlak yang diamanatkan oleh para tetua kampung.
Aku melihat rumah besar itu, berharap aku bisa berlindung dari makhluk yang mengerikan malam ini, aku melihat suatu simbol di atas rumah tersebut salah satu simbol yang menjadi simbol keluarga yang ada di Kampung Halimun.
“Aku berlari hingga ke wilayah keluarga Mandala ternyata, aku tak sadar melewati rumahku ketika aku berlari,” pikirku sembari melangkah maju ke arah rumah tersebut.
Tok
Tok
Tok
“Kang,, punteunn, Kanggggg! (Kang,,, permisi,,, Kangg!)” Aku mengetuk pintu dalam keadaan panik, sesekali aku menengok ke arah belakang, aku takut makhluk wanita itu muncul lagi dan akan mengejarku lagi.
“Kang, Kang, punnnn....” Aku mencoba mengetuk pintu sembari mencoba membuka engsel pintu di rumah itu, namun ternyata rumah tersebut tidak dikunci sama sekali.
Drrrrkkkkkkk
Pintu rumah besar itu tiba-tiba terbuka, keadaanya sangat gelap gulita di dalam, namun pikiranku saat ini, daripada aku harus berada diluar dengan kabut merah dan makhluk yang mengejarku, aku lebih baik masuk rumah dan mencari tempat perlindungan di dalam.
Seketika aku masuk, aku melangkahkan kakiku secara perlahan-lahan, dan aku menutup kembali pintu itu, rumah itu sangat gelap, tidak ada penerangan sama sekali sehingga aku meraba-raba di sekitar dinding rumah tersebut, untuk mencari saklar lampu untuk menyalakan lampu di ruangan tersebut.
Clak
Aku berhasil menyalakan saklar di dalam rumah itu, tak lama lampu dari rumah itu menyala, namun nyala lampu tersebut ternyata redup, setidaknya aku bisa melihat isi dalam rumah tersebut.
"Punten Kang?"
Aku berusaha memanggil pemilik rumah, salah satu pemilik rumah dari keluarga Mandala, namun tidak ada yang menjawab panggilanku, yang ada hanya foto besar leluhur keluarga Mandala dengan baju kerajaan zaman dulu yang berdiri tegak dalam bingkai yang besar menempel di dinding ruang tamu, tempat ku berdiri saat ini.
"Punten, aya jalmi teu? (Permisi, ada orang tidak?)"
Aku mencoba berkeliling di rumah itu, untuk memastikan bahwa rumah tersebut aman, dan aku juga tak henti-hentinya memanggil para pemilik rumah itu, namun tidak ada satupun jawaban yang keluar, seperti hanya aku saja seorang yang sedang berada di rumah itu saat ini.
Butuh waktu setengah jam aku berkeliling untuk memastikan aku aman untuk beristirahat di malam ini, karena aku takut apabila aku kembali keluar, aku akan dikejar-kejar kembali oleh wanita yang terbang itu.
Hingga akhirnya aku pun duduk dibalik pintu depan, mencoba menghalangi mereka apabila mereka memaksa masuk ke dalam rumah untuk mencari ku, aku mencoba duduk dan tertunduk, karena rasa kantuk sudah mulai menyerangku. Aku berpikir tentang banyak hal selama aku duduk di sana, hal yang aku tidak mengerti selama aku berada di kampung ini, karena semuanya tiba-tiba berubah, berubah menjadi menyeramkan ketika aku datang.
Aku larut dalam lamunanku malam itu, rasa kantukpun semakin menyerang, beberapa kali aku ketiduran di sana, namun aku mencoba untuk bangun dan waspada, karena aku merasa aku belum sepenuhnya aman.
Brak
Brak
BRAKKKK
Sebuah tangan besar terlihat di sebelahku menembus pintu rumah itu secara tiba-tiba, dia dengan sekuat tenaga memukul pintu di dalam rumah itu hingga akhirnya tangan itu masuk, seketika pintu rumah itu rusak, aku yang sedang duduk sembari menutupi pintu itu terpental beberapa meter.
Krak
Krak
Krak
Brak
Tangan besar itu mencoba meraba-raba, lalu seketika tangan itu menarik pintu tersebut, sehingga membuatnya hancur berantakan ketika ditarik kembali.
Cahaya merah yang tadinya tidak terlihat kini terlihat kembali, cahaya yang tertutup kabut merah itu tertutup oleh salah satu bayangan yang hitam dan besar yang menutupi pintu masuk dari rumah tersebut.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA..... "
Aku sontak berteriak, berteriak sekeras-kerasnya pada malam itu, terlihat makhluk itu mendekat secara perlahan, lalu secara tak sadar badanku mulai lemas dan pandanganku secara perlahan menjadi gelap gulita, aku tersungkur tidak berdaya di dalam rumah itu dengan beberapa makhluk yang mengelilingiku malam itu.
"Awas itu kepalanya!!" "Geser geser ke kanan sedikit." "Pelan-pelan." Terdengar suara-suara di telingaku banyak sekali suara gaduh yang terdengar, suara dari orang-orang yang seperti sedang sibuk akan sesuatu, aku secara perlahan tersadar dan membuka mataku, terlihat di sana aku seperti sedang di gotong oleh para warga kampung yang berbondong-bondong membawaku dengan tandu yang dibuat secara darurat. “Bawa ke Puskesmas, awas minggir, ada orang yang selamat,” teriak seseorang yang sedang menanduku. Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit, terlihat cahaya matahari pagi kini menyinari tubuhku, aku menengok ke sebelah kiri dan terlihat rumah-rumah besar yang berjejer dengan mewahnya di kampung tersebut, juga beberapa motor trail yang terparkir berjejer di rumah-rumah tersebut, pemandangan ini adalah pemandangan yang tidak asing bagiku, karena apa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun yang aku kenal. Tubuhku sangat lemas, aku belum bisa
Aku terdiam melihat Ibu menangis siang itu, kulihat orang-orang yang berlalu lalang kini tidak sesemangat seperti dahulu. Terlihat dari kepanikan wajah-wajah mereka yang seolah-olah menginginkan hal yang terjadi ini akan segera berakhir. “Ibu tidak tahu kapan persisnya Abdi,” kata Ibuku sembari memegang tanganku. “Ini dimulai sejak empat hari yang lalu, semuanya tampak normal, Ibu dan Bapakmu seperti biasa pergi ke ladang untuk berkebun dan memanen sayuran yang nantinya akan diberikan ke pengepul di jalan besar dekat hutan perbatasan.” Kulihat wajahnya Ibu tampak sedih ketika dia menceritakan tentang hal yang sebenarnya, aku yang masih belum mengerti tentang semua ini hanya bisa terdiam melihat Ibuku bercerita tentang apa yang dia ketahui selama ini. “Ibu tidak tahu bagaimana awalnya terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak pulang dari kebun sore hari, dan melihat aktivitas kampung seperti biasa.” “Namun ketika magrib menjelang, tiba-tiba terdengar teriakan orang yang berada dari luar,
Waktu sudah beranjak siang di Kampung Halimun, sinar matahari menyinari Kampung Halimun, sinarnya dengan sangat terang. Juga angin hutan yang sejuk membuat hawa di Kampung Halimun sangat sejuk. Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak. Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak. “Bu!” kataku. “Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “ “Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu. Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini. Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saj
“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis
“Arggghhhhh, dimana ini?” Mataku yang awalnya terpejam kini terbuka secara perlahan, tubuhku basah kuyup dengan beberapa luka memar yang aku rasakan sangat pedih ketika aku rasakan. Aku tergeletak tak berdaya dengan tubuhku yang menyentuh tanah yang berpasir pada saat itu, bahkan wajahku sendiri menyentuh pasir sehingga menempel di rambut dan di pipi sebelah kananku pada saat itu. Aku benar-benar tidak ingat ketika aku terjatuh dari lorong yang gelap itu, yang aku ingat hanyalah terjatuh dari atas dan aku baru tersadarkan sekarang dengan baju yang basah kuyup dan beberapa luka memar yang ada di sekitar tubuhku pada saat itu. Zraaaaaaas Aku mencoba mengangkat wajahku, dan aku melihat aliran air yang sangat deras seperti sungai mengalir di belakangku, sepertinya aku jatuh dan terbawa arus sungai bawah tanah hingga akhirnya aku sampai di tempat ini. Sebuah tempat yang sepertinya semacam gua yang gelap, namun kini gua tersebut berubah secara perlahan karena mungkin waktu sudah mulai
Siapa yang akan menyangka, di dalam sebuah lorong panjang dengan lebar sepanjang dua meter dengan dinding yang berwarna merah darah dan memancarkan cahaya redup di beberapa titik. Aku akan menemukan mayat-mayat yang berdiri menghalangiku dengan jumlah yang banyak. Mayat-mayat tersebut kondisinya sangat mengenaskan, sepertinya dia sudah berada disana dalam waktu yang lama, tinggal di lorong yang lembab dan menyeramkan ini. Namun, siapa yang membawa mayat-mayat itu kemari, mereka berdiri tidak beraturan menghadapku dengan tatapan yang kosong. Jujur, aku baru kali ini melihat pemandangan yang seperti ini, sudah cukup aku di kejar-kejar oleh para makhluk yang mengejarku ketika aku pertama kali pulang ke kampung ini, tapi itu tidak sebanding dengan pemandangan yang aku lihat sekarang. Karena mereka terlihat seperti mayat-mayat dari orang-orang yang sudah lama meninggal di kampung ini. Namun semuanya tidak bisa aku kenali karena wajah-wajah mereka terlihat hancur seperti ada benda keras