Setengah jam ia menunggu. Tak ada suara, hanya gemerisik alat-alat bergesekan dari dalam kamar ulah tangan Inez yang terdengar hingga ke luar. Marwan membisu sambil berbaring di sofa ruang keluarga. Satu tangannya ia letakkan di atas kening, sedang tangan lainnya diletakkannya di atas dada. Ingin rasanya ia terlelap dalam alam bawah sadar. Otak dan hatinya terlalu lelah hari ini. Namun, upayanya gagal. Hingga satu jam emudian ia tetap terjaga, terlebih ketika telinganya menangkap suara langkah kaki mendekat. Inez berjalan perlahan dengan koper di tangannya. Wajah perempuan itu masih terus ditekuk. Marwan berjalan mengambil kunci mobil yang ia letakkan di lemari TV, kemudian berlalu keluar menuju garasi di mana mobil satu-satunya terparkir di sana. Mobil yang dulu pernah berniat ia jual demi mengurangi operasional. Namun, Inez melarangnya dengan alasan ia akan malu jika bertemu dengan teman-temannya yang jauh lebih sukses daripadanya. Marwan masuk tanpa peduli Inez kesusahan memas
Inez kian membeku. "Jawab!" bentak laki-laki itu dengan tatapan nyalang. Yusra beberapa kali mencubit tubuh Inez dengan sangat keras, hingga Inez mengaduh kesakitan. Gigi perempuan berusia 55 tahun itu bergemeretak. "Tak bisakah kau melihat Ibu dan ayahmu ini tenang, Nez? Apa kau ingin kami mati berdiri karena ulahmu?" tanya Burhan setengah berteriak. Telunjuknya yang kini gemetar terarah tepat di wajah sang anak. Marwan tak sampai hati mendengar kalimat barusan. Tapi, ia mesti bagaimana? Bertahan pun percuma jika hati Inez untuk Rio. "Sudah, Yah, Bu. Lebih baik sekarang Ayah dan Ibu bertenang terlebih dahulu. Maafkan Marwan karena nggak bisa menjaga amanah Ayah dan Ibu lagi," ucap Marwan. Tatapannya luruh pada taplak meja berenda yang menyentuh kakinya. "Perempen seperti ini memang pantas diberi pelajaran!" ucap Yusra sambil menampar pipi sang anak. Air mata tak terbendung lagi, hingga akhirnya tumpah di pipi tuanya. "Kau tak pernah bersyukur bersuamikan laki-laki yang tak ban
"Oh, jadi sekarang udah pinter bandingin aku dengan si Hana cupu itu?" tanya Inez dengan alis terangkat. Rasanya begitu singkat kebahagiaan rumah tangga mereka. Sebulan lalu mereka menikah, kini mulai terasa membosankan. "Kau pikir saja sendiri. Hana dengan 3 orang anak, 2 di antaranya sudah sekolah. Ia bahkan harus membeli anak bungsunya susu berkilo-kilo dalam setiap bulan." Rio tak mau kalah. "Ya, karena Hana rela wajahnya lusuh karena tak tersentuh perawatan. Aku, mana mau? Kau sendiri yang mengeluh Hana tak sepintar aku dalam merawat penampilan, giliran dimintain duit aja, baru muji-muji mantan istrimu yang buluk itu." Inez mendengkus kesal. "Kau saja yang berlebihan. Kau pikir gajiku 100 juta perbulan?" Suara Rio kian meninggi. "Sudahlah, kalau pelit, ya, pelit aja, nggak perlu menceramahiku." Inez beranjak. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kala berjalan menuju kamar. Brak! Pintu dibantingnya dengan kuat, membuat Rio tersentak. "Das*r perempuan gil*!" umpat Rio
"Bang Hakim …," ucap Hana dengan dahi berkerut. Ibu jari kanannya terarah pada laki-laki itu. "Hana Humayra," jawab laki-laki itu sambil terkekeh. Hakim adalah rekan kerjanya di kantor tour dan travel dulu. Tempat kerjanya saat sebelum menikah. "Masih kerja di tempat lama?" tanya Hana. "Nggak, Na. Setahun setelah kamu berhenti kerja, aku pun sama, sekarang kantorku dekat-dekat sini.""Kita bicara di sana, Bang," ucap Hana sambil menunjuk salah satu meja kosong. "Oke, siap." Tanpa menunggu lebih lama, laki-laki itu berjalan menuju meja yang Hana maksud. Hana mengekor di belakang. "Sukses kamu, Na. Sekarang udah punya usaha sendiri." Hakim berbasa-basi. "Syukurlah, Bang. Meski belum sesukses Abang," balas Hana dengan senyum ramah. "Nggaklah, Na. Oh, ya, nggak nyangka bisa ketemu di sini. Abang kira kamu ikut suami." "Nggak, Bang," jawab Hana singkat. Ia tak ingin memperpanjang pembahasan tentang hal itu. Hakim cukup paham. Ia berpikir mungkin Hana tak ingin membicarakan masal
Hening. Marni masih menunggu dalam diam. "Jadi bagaimana ini, Pak?" tanya Marni setelah beberapa menit tak menemukan jawaban. "Apa Ibu punya bukti kalau Inez memang meminjam uang pada Ibu?" tanya Rio akhirnya. Ia tak ingin asal mempercayai orang yang bahkan baru pertama kali berbicara dengannya. "Buktinya ada di hp saya, Pak. Hp-nya ketinggalan di rumah," ucap perempuan itu beralasan. "Baiklah, sebaiknya kita tunggu Inez pulang, Bu. Biar sama-sama enak." "Kenapa nggak langsung bayar aja, Pak. Saya udah kasih tau Ibu Inez tadi, kalau uang itu mau kupakai buat menjenguk ibuku besok. Tapi, Ibu Ines maksa, katanya malam ini sudah pasti dibayar," keluh perempuan itu. Rio mengusap kasar wajahnya. Belum selesai urusan perutnya yang kian keroncongan, ditambah lagi ulah istrinya itu yang membuatnya sakit kepala. "Yang minjam uang ke Ibu siapa?" tanya Rio dengan suara mulai meninggi. "I—Ibu Ines, Pak," jawabnya tergagap. Ia tak tahu jika tetangga barunya itu segalak ini. "Ya, sudah, ka
"Ibu Hana?" tanya perempuan cantik dengan rambut ikal mayang itu dengan ramah. Fera Marinka, nama pada name tag milik perempuan itu. "Iya, Bu," jawab Hana dengan hal serupa. "Silakan masuk saja, Bu. Ibu sudah ditunggu sejak tadi. Itu ruangan Pak Hakim," ucap Fera. Kelima jarinya terarah ke ruangan dengan pintu tertutup tak jauh dari mereka bersiri. "Terima kasih, Bu," balas Hana. Hana membalikkan tubuhnya ke arah yang di tuju. Membaca plang nama di atas kusen pintu. Hakim Akbari, manager. Hana sedikit tersentak. Namun, sesaat kemudian tersenyum bangga. Bangga karena mantan rekan kerjanya itu tak pernah berubah, meski di kantor jabatannya sekeren ini. Tok … tok … tok. Hana mengetuk pintu, tak lama setelahnya terdengar seruan dari dalam. "Masuk!" Tangannya mendorong pintu kaca itu hingga terbuka lebar. Nampak wajah Hakim yang kini nampak serius memandangi layar PC di hadapannya. Hana tak bersuara, dibiarkannya laki-laki itu menoleh dengan sendirinya, karena khawatir Hakim aka
"Oh, ya? Anak Papa memang hebat. Terus, tadi bekalnya dimakan habis nggak?" tanya Hakim dengan senyum lebar. Wajah anak perempuan berusia 9 tahun itu berubah sendu. "Roti lapis buatan Papa rasanya nggak sama kayak buatan Mama," ucapnya dengan kepala tertunduk. Hakim mengangkat dahu mungil gadis kecil itu. "Nanti, Papa akan belajar lagi biar bisa bikin roti lapis seperti buatan Mama, Sayang," ucap Hakim berusaha menghibur. "Papa serius?" tanyanya antusias. "Iya, Sayang. Nanti Shanum temani Papa, ya, kalau Papa sudah pulang kerja. Oh, ya, ini Papa kenalin sama temen Papa," ucap Hakim seraya bangkit. "Ini namanya Tante Hana, Sayang," ucap Hakim memperkenalkan. "Shanum, Tante." Shanum menyalami tangan Hana. Nampak sekali ia sangat mudah bergaul. Tidak seperti anak-anaknya yang jauh lebih pendiam. "Panggil Tante Hana, ya. Oh, ya, Tante punya anak seumuran Shanum juga sekolah di sini, loh," ucap Hana sambil mengusap pelan pucuk kepala Shanum. Ekor mata Hana menangkap bayangan yang
Rio mematung di tempatnya berdiri. Berniat menunggu Hana kembali ke sini. Ia memilih memesan makan siang di salah satu meja pelanggan. Jika saja Hana masih sah menjadi istrinya, tak akan ia izinkan perempuan itu untuk melakukan hal seperti sekarang dengan laki-laki mana pun. Rio hanya mampu mengeram kesal ketika tatapan matanya tertuju pada mereka. Menangkap pemandangan sebuah keluarga yang nampak begitu hangat. Hakim berkali-kali melirik ke arah Rio yang masih setia menunggu Hana. Ia tahu jika itu adalah suami Hana. Namun, sedikit heran karena Rio tak langsung ke sini untuk makan bersama. Sepanjang acara makan siang, Hakim dilanda banyak pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan Hana dan laki-laki di ujung sana. Hatinya tiba-tiba merasa tak nyaman. Lebih lagi perubahan wajah Hana sejak Rio datang ke tempat ini. "Kenapa suamimu nggak diajak makan bersama di sini? Aku jadi nggak enak, Na," ucap Hakim dengan suara pelan setengah berbisik. Hakim masih sangat kenal wajah Rio, m