Nita mengecek beberapa kontak yang ada di ponsel tersebut, sekaligus memastikan jika masa aktif kartunya masih panjang.Karena memang, sudah lama sekali Nita tidak menyalakan ponsel tersebut, untung saja baterainya masih banyak.Orang yang hendak pertama kali Nita hubungi adalah Om Herman, dia ingin memberitahukan pada orang itu, kalau untuk saat ini, dia akan memakai ponselnya yang dulu, karena sebuah alasan tertentu.Yaitu, Nita tidak ingin Fahmi menghubunginya selama beberapa waktu ini, dia masih begitu muak dengan pria itu.Sulit sekali bagi Nita untuk memaafkan sekaligus mendengarkan penjelasan Fahmi yang Nita yakini, semuanya berisi sebuah kebohongan belaka."Nita, sejak kapan kamu menggunakan nomor ponsel ini lagi?" tanya Om Herman, ketika sambungan telepon diantara mereka saling terhubung."Baru saja, Om. Aku malas berhubungan dengan
"Jadi, apa yang harus Om lakukan, Nita?"Nita menghela napas, kemudian menjatuhkan dirinya sendiri ke atas ranjang."Om, hanya perlu membantu Mbak Tari saja, membawanya pulang ke kampung halamannya, karena dengan begitu, aku bisa memastikan kalau dia selamat sampai tujuan.""Baiklah, kamu tinggal atur waktunya saja," balas Om Herman.Kedua sudut bibir Nita terangkat ke atas, akhirnya satu-persatu rencananya sudah tersusun dengan cukup matang. Dia hanya tinggal menghubungi Tari saja, membicarakan rencana yang baru dia susun."Aku minta, Om melakukannya dengan cukup baik, aku tidak ingin jika Mbak Tari gagal melakukan aksinya.""Kamu tenang saja, Nita, Om, akan mengerahkan anak buah Om untuk membantumu.""Terima kasih, Om. Agar lebih matang lagi, aku akan mengajak Om bertemu dengan Mbak Tari.""Itu jauh lebih bagus, Nit
Sudah hampir tiga hari, tiga malam Fahmi tidak bisa mengabari istrinya, dia benar-benar gelisah sampai tidak bisa memejamkan mata, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua malam.Fahmi berguling ke kanan, kemudian ke kiri, begitulah seterusnya. Hingga pada akhirnya, Fahmi mengerang, kemudian bangkit dari ranjang.Fahmi benar-benar tidak bisa, jika harus seperti ini terus. Dia rindu suara Nita dan Andika, hingga rasanya sulit baginya untuk terpejam, jika keinginannya itu belum terpenuhi.Tidak ada yang bisa Fahmi lakukan, selain mengambil ponselnya yang ada di atas ranjang, kemudian mencari nomor Nita, menghubunginya.Akan tetapi, nomor Nita tetaplah tidak aktif, perempuan itu sepertinya dengan sengaja mematikan ponselnya."Nita, tolong aktifkan ponselmu, aku begitu merindukanmu, Sayang," racau Fahmi sambil terus menelpon nomor Nita.Namun, semuanya nihil, ma
[Mbak, hari ini aku tunggu di depan gang, ya!]Tulis Nita di ponselnya, kemudian dia langsung menekan tombol kirim. Dirasa sudah cukup beres, Nita langsung meraih tasnya yang tergeletak di ranjang, kemudian melangkah menuju pintu kamar, membukanya secara perlahan.Sebelum menutup pintu, Nita sempat menatap Dika yang masih tertidur dengan cukup pulas.Nita terpaksa meninggalkan Dika pagi-pagi buta, dikarenakan harus bertemu dengan Om Herman dan Tari di restoran miliknya, untuk membahas tentang kepulangan Tari beberapa hari lagi."Astagfirullah!" pekik Nita, kala dia membuka pintu dan mendapati seorang wanita tengah berdiri di hadapannya.Nita membulatkan mata, tangannya mengelus dada yang terus berdegup dengan cukup kencang."Ya, ampun, Bu Zainal, ngagetin aja."Tanpa memiliki rasa bersalah sedikitpun, Bu Zainal malah terkekeh pelan, dia menggaruk lehernya yang tidak gatal."Maaf, Bu, barusan saya mau ketuk pintu, eh malah keduluan di buka, jadinya saya juga ikut kaget.""Aduh, maafin
"Kemungkinan lusa, Pak, saya sudah menyiapkan beberapa barang," jelas Tari.Kedua tangannya terlipat di dada, tatapan matanya tampak menerawang jauh, membayangkan hari yang sudah dia bayangkan sebelumnya.Om Herman mengangguk pelan, tangannya meraih gagang telepon, dia menempelkan benda itu ke telinga, kemudian menekan beberapa buah angka, "Halo, kamu sudah sampai ke restoran, 'kan?" tanya Om Herman melalui sambungan telepon."Sudah, Pak, ada keperluan apa, ya?" Orang yang ada di ujung sambungan telepon, segera merespon pertanyaan Om Herman."Bagus! Tolong segera antarkan minuman untuk tiga orang." "Baik, Pak."Karyawan yang tidak di ketahui namanya itu, segera mematikan sambungan telepon.Begitupun dengan Om Herman yang segera menyimpan gagang telepon ke tempatnya semula, kemudian menatap Nita dan Tari secara bergantian."Bagaimana kalau pergi sebelum azan subuh saja, biasanya orang-orang sedang pulasnya tertidur dan itu akan memudahkan langkah, Ibu Tari, juga.""Itu ada benarnya
Sontak, Om Herman langsung tersentak, kala pintu yang ada di belakangnya terbuka, sehingga ponsel yang ada di genggamannya jatuh ke lantai.Nita maupun Om Herman sama-sama terpaku, menatap ponsel yang sudah ada di atas lantai dengan keadaan telungkup.Nita meraih benda persegi tersebut, kemudian menatap layar ponsel yang menampilkan nama seseorang."Dia siapa, Om? Kenapa, Om sampai terkejut, ketika tahu ada seseorang yang membuka pintu?" tanya Nita dengan spontan, membuat Om Herman langsung menarik Nita untuk segera menjauh dari depan ruangannya."Dia orang suruhanku yang aku perintahkan untuk mengawasi rumahmu dan kamu tahu Nita, ada seseorang yang datang ke rumahmu tersebut."Nita langsung membulatkan mata ketika mendengar penuturan Om Herman, dia begitu panik, karena memang Dika dan Bu Zainal masih ada di rumahnya."Memangnya siapa orang tersebut?" "Dia ... suamimu.""Apa?!" pekik Nita sambil memicingkan mata.Nita terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata Om Herman. Dia sediki
Nita mendengus, dia membuang pandangan ke arah lain. Seperti Titi dan Martin belum tahu, kalau mesin pencetak uang berjalan milik mereka telah pulang.Andai saja Titi dan Martin tahu, pasti mereka tidak akan tinggal diam, mereka akan langsung menyuruh Fahmi untuk kembali pulang ke kota tempatnya bekerja."Untuk apa kamu kembali, Mas?""Nita, Mas, begitu merindukanmu, Mas, ingin menjelaskan semuanya, Sayang."Fahmi melangkah ke hadapan Nita, dia menatap mata istrinya dengan begitu lekat, tetapi wanita itu malah membuang pandangan ke arah lain.Seolah-olah menghindari tatapan Fahmi. Bahkan, bibir Nita tampak mengatup rapat, enggan mengatakan sepatah katapun."Tidak ada yang perlu di jelaskan lagi!" Nita menoleh, menatap Fahmi sambil menyunggingkan senyum sinis. "Kamu inget, gak, Mas, kalau aku pernah berkata, ketika kamu pulang, aku akan mengajukan cerai padamu."Deg!Rasanya jantung Fahmi berhenti berdetak kala itu juga. Mulut dan mata pria itu membulat sempurna, dia masih belum percay
"Kapan kamu pulang? Kenapa gak kabari Ibu dulu."Dari pertanyaan yang baru saja Titi lontarkan, Nita dapat menangkap, kalau perempuan itu begitu tidak suka atas kepulangan anaknya.Tidak seperti orangtua pada umumnya yang justru akan senang, kalau anaknya baru saja pulang dari perantauan."Tadi, Bu. Lagipula aku tidak mengabari siapapun, Nita saja tidak tahu, kalau aku akan pulang."Titi berdecak, dia menatap sinis ke arah Nita, tetapi sama sekali tidak Nita hiraukan. Dia begitu malas, jika harus berhadapan dengan mertua seperti Titi. Sudah pasti, Titi akan berakting sebisanya, untuk meyakinkan Fahmi."Ngapain si Nita nangis?"Mendengar pertanyaannya Titi, Nita langsung mengusap pipi dan matanya dengan kasar."Aku gak nangis.""Ya, sudah, lagipula Ibu tidak peduli." Titi kemudian beralih menatap Fahmi. "Kamu kalau pulang harusnya kabari Ibu dulu, nanti Ibu minta belikan oleh-oleh. Lagipula untuk apa kamu pulang, sudah diam saja di kotamu."Fahmi sebenarnya cukup kecewa dengan respon