"Syukurlah Tania mau membuka diri pada gadis itu, Raya." ucap Oma, yang juga tampak bahagia, melihat cicit nya mulai terlihat ceria lagi.
Ketika Mama Tania meninggal, waktu itu Tania baru berusia 4 tahun.Hampir 3 bulan lamanya, semenjak Mamanya pergi, gadis kecil itu setiap hari menangis mencari Mamanya, dan selalu berlari kesana kemari, mencari sang Mama.Tak ada yang tak menangis, melihat gadis kecil itu, begitu kehilangan sosok sang Mama.Setiap pengasuh yang datang, tak ada satupun yang bisa merebut kembali hati bocah itu.Bu Raya menyusut air matanya, karena bahagia, akhirnya cucunya bisa tersenyum lagi.Niko hanya diam saja menyaksikan itu, walau dalam hati kecilnya, dia sungguh merasa sangat bersyukur, akhirnya ada orang yang bisa mengasuh Putri semata wayangnya itu.Sisil yang menyaksikan itu semua, merasa sangat kesal, apalagi saat di lihatnya, Denis kekasihnya juga menatap kagum ke arah Sekar."Adududuhhhh..jangan keras-keras donk pijitnya, kan sakit !" seru Oma, memecah keheningan penghuni rumah, yang sedang memperhatikan Sekar dan Tania.Bu Raya segera mendekati ibu mertuanya itu. "Ada apa Ma?" tanyanya. "Ini nih, si Sisil pijit nya keras banget, kan pundak Oma jadi sakit." Oma yang sikapnya sudah kembali seperti anak-anak, karena usianya yang sudah lanjut itu, mengadu kepada Bu Raya.Bu Raya segera melotot ke arah Sisil. "Kamu gimana sih pijitnya? kalau Oma sampai kenapa-napa gimana? mau kamu tanggung jawab? ?" omel bu Raya, kepada Sisil."Maaf Nyonya, tidak sengaja!" jawab gadis dengan rambut yang digerai sebahu itu, tampak kesal, karena di omelin oleh majikannya.Apalagi saat di lihatnya, Denis terlihat acuh saja kepadanya, seakan tak mengenali dirinya."Sudah, sekarang kamu siapkan makan buat Oma, sebentar lagi waktunya Oma minum obat!" perintah bu Raya, kemudian segera membawa oma masuk ke kamarnya.Dengan sedikit menghentakkan kakinya, Sisil pergi ke dapur, untuk membuatkan bubur Oma."Kalau bikin bubur yang enak ya, itu sudah ada resepnya, tinggal kamu ikuti saja langkahnya. Oma akan sangat marah, kalau makanannya tidak enak." pesan Novi kepada Sisil."Iyaa!" jawab gadis berambut coklat itu, ketus.Novi hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja, melihat tingkah juniornya itu."Sekar, sudah waktunya Tania mandi, tolong kamu ajak mandi ya, setelah itu kamu suapi dia makan." perintah bu Raya, tersenyum kepada Sekar."Baik Nyonya." gadis berkerudung segi empat itu, segera membawa Tania masuk. "Kita mandi dulu ya? Non Tania mau kan?" tanya Sekar, sembari mencubit-cubit pelan hidung bangir, gadis kecil itu.. Tania hanya mengedip-ngedipkan matanya sembari tersenyum lebar. Dengan cekatan, Sekar segera menyalakan bak mandi, yang di isi dengan air hangat, sesuai dengan yang sudah di ajarkan oleh Novi.Gadis berwajah Ayu itu, tampak begitu tulus memperlakukan Tania, sehingga membuat gadis kecil itu merasa nyaman, dalam asuhannya."Uhhh cantik sekali sih Non Tania, kalau sudah mandi begini??" Sekar mencium pipi gadis kecil itu dengan gemas.Tania tampak terkikik geli, dengan perlakuan pengasuhnya itu."Awas bolong entar pipi Anak gue!" seru Niko, yang tiba-tiba sudah masuk ke kamar Tania."Eh Mas Niko, ya masak iya, gara-gara dicium pipinya bisa bolong! Mas Niko ada-ada saja." jawab Sekar terkekeh.."Ya bisa aja! lah hidung kamu panjang begitu!" jawab pemuda berusia 30 tahun itu tergelak.Seketika Sekar memegang hidungnya, yang kata orang-orang seperti hidung bulé, sambil nyengir."Ya sudah, saya gak akan cium Non Tania lagi," ucapnya sambil mengelus hidungnya, yang memang lancip.Niko semakin tergelak dengan keras, mendengar jawaban pembantunya, yang begitu polos itu."Ya ampun, ada juga ya, orang kayak kamu. Ya sudah, sekarang kamu siapkan makan, buat Tania, biar aku jaga dulu disini." usir Niko, kepada pembantunya itu."Emm, tapi Non Tania mau makan pakai apa ya?" tanyanya, menghentikan langkah, dan menatap ke arah Tania, yang sekarang berada dalam gendongan Ayahnya."Kamu tanya ke Novi saja! dia yang tahu!." jawab Niko, sedikit ketus. "Nggih Mas! ganteng-ganteng kok galak!" Sekar segera keluar dari kamar, sambil menggerutu, membuat Niko tersenyum geli di buatnya.***"Mbak, biasanya Non Tania makan pake apa?" tanya Sekar, begitu sampai di dapur."Buatkan sup daging saja, itu wortel dan brokoli nya udah Mbak potong- potong tadi." tunjuk Novi, ke sebuah wadah, berisi potongan wortel dan brokoli."Yo wes Mbak, tak kerjakan dulu ya." Sekar pun kemudian segera mengeksekusi semua bahan, untuk ia jadikan sup daging."Masakan kayak gini sih, sipil!" ucapnya sambil tersenyum, mengulek merica, bawang putih, yang ia tambahkan sedikit pala dan jahe, resep ibunya di kampung.Setelah daging empuk, Sekar segera memasukan bumbu, dan potongan wortel. Sambil menunggu wortel setengah matang, Sekar memotong-motong daun bawang dan juga seledri, sebagai pelengkap sup nya nanti, dan segera memasukkan brokoli, begitu air mendidih kembali.Bau harum masakan, segera memenuhi dapur, yang cukup luas itu.Setelah semua di rasa pas di lidahnya, Sekar segera memasukan potongan daun bawang dan seledri, juga bawang merah yang sudah di goreng garing."Sedep banget baunya, kamu yang masak??" tanya bu Raya, tiba-tiba muncul di belakang nya."Iya Nyonya." jawab Sekar sopan.Bu Raya segera mengambil sendok, untuk mencicipi kuah sup itu.Dengan perasaan cemas, Sekar melihat majikannya itu, takut masakannya tidak cocok di lidahnya."Hmmm, enak! ternyata kamu juga pinter masak ya?!" puji bu Raya."Sedikit Nyonya, dulu sering bantu Ibu masak, waktu di kampung." jawab Sekar tersenyum. "Enak lo ini, kamu wadahi mangkuk ini ya, lalu bawa ke meja makan." Bu Raya memberikan sebuah mangkuk bening yang cukup besar, kepada Sekar."Siap Nyah!" jawab Sekar bersemangat, karena masakannya cocok untuk lidah majikannya itu."Lo lo lo...Sisil! itu kok bubur Oma masih penuh gitu??" tanya bu Raya heran, saat melihat Sisil membawa mangkuk bubur, dalam kondisi yang masih terlihat penuh."Itu Nyonya, Oma gak mau makan." jawab Sisil, dengan wajah yang di tekuk.Bu Raya kemudian menoleh ke arah Novi, yang baru masuk ke dapur."Kata Oma buburnya gak enak Nyonya." jelas Novi, yang hendak mengambilkan makanan baru untuk Oma."Kok bisa??" Bersambung"Kata Oma buburnya gak enak Nyonya." jelas Novi, yang hendak mengambilkan makanan baru untuk Oma."Kok bisa??" Bu Raya segera menatap ke arah Sisil, yang hendak membuang bubur ke tempat sampah."Tunggu, jangan di buang dulu, tadi sudah kamu icipi belum? terus kamu bikinnya sesuai dengan resepnya kan??" tanya bu Raya, menatap tajam, ke arah gadis yang memanyunkan bibirnya itu."Sudah kok." jawab Sisil, tampak sedikit gugup."Coba sekarang kamu cicipi bubur itu!" perintah bu Raya tegas."Tapi tadi sudah saya icip kok Nyah!" Sisil tampak tidak mau, untuk mencicipi bubur buatannya sendiri."Sudah, sekarang coba kamu icip lagi!" Dengan berat hati, akhirnya Sisil menyuap satu sendok kecil, bubur yang dia buat tadi."Huekkk! " dengan langkah tergesa, dia segera berlari menuju kamar mandi belakang, ingin muntah.Bu Raya tampak geram melihat itu."Bagaimana rasanya??" tanya perempuan paruh baya itu, begitu Sisil telah keluar dari kamar mandi. "Eng..gak enak Nyonya." jawab Sisil, nyengir tan
"Gak mau ke Kafe Bang? sekarang pesanan via online sedang rame-rame nya," ujar Denis, yang melihat Kakaknya masih asik memainkan ponselnya di ruang tengah. "Iya, gue mandi deh." jawab Niko, yang mulai remaja sudah turun langsung, ke dunia bisnis orang tuanya dan membantu usaha kuliner, milik keluarga nya itu.Niko kemudian segera beranjak, dan naik ke lantai lima, menggunakan lift yang memang tersedia di rumah yang memiliki ruangan, hingga 5 lantai itu."Sekar, setelah buburnya matang, kamu langsung antarkan ke kamar Oma ya?" perintah bu Raya, karena kebetulan Tania masih tidur."Emm tapi kamar Oma yang mana ya, Nya? saya tidak tahu." jawab Sekar bingung."Biar saya aja, yang antar kan Nyah..!" Sisil yang tengah mengepel lantai, menawarkan diri, karena merasa jenuh harus memegang gagang pel terus mulai tadi. "Gak usah, biar Sekar aja! lagian Oma juga sudah tidak mau di urusin sama kamu!" cetus bu Raya, dengan tegas menolak.Sisil memberengut kesal, dan langsung pergi sambil menghent
"Kenapa kakinya Bang?" Denis menata heran, kaki Kakaknya yang berbalut kain kasa."Iya, kamu kenapa Niko?" bu Raya juga tampak penasaran. "Ini nih, ulah pembantu kesayangan Mama!" cetus pemuda berambut cepak itu, melirik kesal ke arah Sekar, yang sedang membuang sisa pecahan gelas, ke tempat sampah."Maksud kamu siapa sih?" tanya bu Raya, pura-pura tak tahu."Tuh!" Niko memonyongkan bibirnya, menunjuk Sekar."Ohh, jadi gara-gara Sekar lagi ya? kok bisa sih?" tanya bu Raya, merasa penasaran. "Dia jalan gak hati-hati, main tabrak orang saja, jadi pecah deh gelas yang di bawanya, beling nya kena kaki Niko nih!" jawab Niko, menunjukkan lukanya."Ya ampun. tapi sudah di obati kan?" tanya bu Raya, sambil sibuk meletakkan bunga-bunga baru ke dalam vas, yang ia letakkan di meja."Sudah. Pokoknya jangan dekatkan dia ke Niko Mah, bisa sial hidup Niko, kalau kayak gini terus. Kemarin muka di bonyokin, sekarang kaki hhuh!" gerutunya, tak selesai selesai."Jangan gitu Bang, entar Abang jatuh cin
Sepanjang perjalanan, Tania tampak menikmati perjalanan dengan terus menatap ke arah luar jendela. Tapi tiba-tiba Tania menangis, sambil terus menarik-menarik tangan Sekar. Sekar jadi bingung dibuatnya, karena gadis kecil itu sama sekali tak mau mengungkapkan dengan kata_kata-kata, hanya tangannya saja, yang terus menarik-menarik tangan Sekar, sambil menangis."Tania kenapa?" tanya Niko, menatap melalui kaca depan. "Tidak tahu Mas, sepertinya ada sesuatu yang di inginkan sama Non Tania." jawab Sekar, tampak sedikit kewalahan menghadapi Tania yang menangis.Niko segera minggir, dan menghentikan mobilnya.Lelaki dengan postur tinggi tegap itu, segera turun dari mobil, padahal perjalanan menuju restonya, tinggal sebentar lagi."Ada apa?" Niko segera membuka pintu belakang, dan mengambil Tania dalam gendongannya."Tidak tahu Mas, sepertinya ada sesuatu yang Non Tania inginkan.." jawab Sekar, segera ikut turun."Apa ya?" gumam Niko, sambil melihat ke sekeliling.Tiba-tiba Niko teringat,
"Lah, kok gitu sih Ma? ya gak bisa main pecat gitu aja dong!" Denis yang mendengar itu, tampak tak terima."Kamu kenapa sih Denis? aneh banget, langsung nyolot gitu Mama mau pecat Sisil? jangan-jangan kalian??" Bu Raya, menatap Denis dan Sisil bergantian, membuat wajah manis Denis, seketika gugup. "Bukan gitu maksud Denis, Mama.." ucapnya, mencoba sesantai mungkin."Denis kan jadi gak enak sama teman Denis itu, coba beri kesempatan sekali lagi aja Ma." ucap pemuda berparas tampan itu, membujuk ibunya. Bu Raya yang marasa curiga dengan gelagat putra bungsunya itu, akhirnya mengangguk setuju. Dia ingin tahu, kenapa putranya seakan ada sesuatu yang sedang ia tutupi.Sikap Denis akhir-akhir ini, dan gerak gerik nya, memang sangat mencurigakan."Oke, Mama akan beri dia kesempatan sekali lagi, Mama ingin tahu, bagaimana selanjutnya.." jawab bu Raya, kemudian menyuruh Sisil ke belakang. Denis tampak tersenyum lega, karena Mamanya urung, memecat kekasihnya itu."Napa senyum-senyum gitu?
"Papa berangkat dulu sayang." pamit Niko, pada putrinya, yang sedang asik bermain puzzle, bersama Sekar."Iya Papa, hati-hati di jalan ya! Jangan lupa, pulang bawa oleh-oleh." Sekar memainkan tangan Tania, dan menjawab ucapan Niko, seakan Tania lah yang menjawab itu.Niko terkekeh mendengar suara Sekar yang dibuat seperti suara anak-anak itu. "Kalau oleh-oleh sih, palingan kamu yang mau itu!" ucap Niko, terkekeh."Non Tania kok yang pengen." jawab Sekar, tertawa kecil."Oke, nanti dua-duanya aku bawakan, tak perlu malu-malu begitu yang mau berterus terang." ejek Niko, membuat Sekar nyengir.****"Sekar mana Nov? Oma pengen makan bubur buatannya!" ucap Oma, kepada Novi."Ada Oma, dia lagi temani Non Tania di bawah." jawab Novi."Ya sudah, coba kamu suruh dia masak ya, Oma kepengen banget ini." Novi segera turun ke bawah, untuk menyuruh Sekar membuatkan bubur Oma."Sekar!" panggil Novi, saat melihat gadis berkerudung coklat itu, tengah membereskan mainan-mainan milik Tania, yang bers
"Sakit apa keponakan saya, dokter?" Denis segera menyambut dokter yang memeriksa Tania, begitu keluar dari ruang periksa."Kami masih belum bisa pastikan, perlu melakukan beberapa cek laboratorium, untuk mengetahui penyakitnya.Denis tampak menghela nafasnya kasar. "Apakah penyakitnya berat dokter? kenapa harus cek lab?" tanya pemuda yang hanya mengenakan kaus pendek, dan celana selutut itu, terlihat khawatir."Ada benjolan di leher pasien, tapi kami belum bisa pastikan, benjolan itu karena apa. Besok pagi kami baru bisa melakukan test lab, oleh karena itu, sebaiknya pasien malam ini menginap." jelas dokter, kemudian pergi meninggalkan Denis sendiri.Tak lama, seorang perawat mendatanginya, untuk melengkapi administrasi."Pasien mau di rawat di ruang apa Mas?" tanya perawat itu."Masukkan saja ke ruang VVIP. " jawab Denis, kemudian segera mengeluarkan ponselnya, untuk memberitahu Niko.Setelah beberapa kali melakukan panggilan, akhirnya telpon pun tersambung."Hhhm, ada apa Denis? In
Hari demi hari, harus di lalui dengan berat oleh Tania, karena ternyata, gadis kecil itu dinyatakan terkena kanker kelenjar getah bening, stadium 4.Sekar sebagai pengasuhnya, merasa tak tega dengan penderitaan gadis cilik itu, yang harus menanggung sakit, yang begitu berat.Hampir setiap hari, Sekar menangis, dan selalu mendoakan yang terbaik, untuk nona kecilnya itu.Semenjak dinyatakan terkena kanker, Tania semakin tak mau lepas dari Sekar, apalagi ia sekarang harus selalu keluar masuk rumah sakit, karena kondisinya yang naik turun. Meski sempat membaik setelah di bawa ke luar negeri oleh Papa dan juga Neneknya, namun kondisinya masih belum stabil.Karena kondisi sang cucu yang sedang sakit, Bu Raya tak lagi memperdulikan kondisi rumah, karena fokus pada cucunya.Hal itu tentu saja sangat menguntungkan bagi Sisil, yang selalu bekerja dengan seenaknya.Novi selaku kepercayaan bu Raya di rumah itu, juga sama sekali tak ia takuti.. Denis yang masih terlalu muda, dan mudah terpengaru