Share

Fitnah

Aku bangkit dan segera merampas ponsel genggam yang dipegang Mbak Dila.

"Ini ponselku, Mbak. Jangan lancang seperti itu dong jadi orang! Aku punya privasi!" sentakku sambil mematikan panggilan telepon dari Om Farhan. Sebab, ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telepon darinya.

"Aku heran, kok bisa kamu punya kontak W******p bos besar suamiku?" Mbak Dila sangat yakin bahwa Om Farhan yang di ponselku adalah bos dari suaminya.

Aku terdiam seketika, memutar bola mata sambil berpikir alasan apa yang akan kubuat untuk mengelak. Namun, belum sempat aku menyanggah tuduhan dari Mbak Dila, ia sudah bereaksi seperti menemukan jawabannya. 

"Emm, Aku tahu sekarang," celetuknya sambil mengangguk. "Awas kamu Nilam, akan aku bilang pada Mama Desti, ini tak bisa dibiarkan," ancam Mbak Dila sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. Namun, kakinya melangkah ke arah kamar sang mama mertua. 

Aku yang tidak tahu apa tujuannya Mbak Dila ke kamar mertua pun mengernyitkan dahi, tapi kugunakan kesempatan yang sempit ini untuk chat ke Om Farhan dan memintanya jangan hubungi aku dulu.

Selang beberapa menit kemudian, mereka berdua muncul lagi, tapi raut wajah Mama Desti tampak memerah. Tangannya dilipat dan berada di atas dada, sedangkan Mbak Dila tersenyum miring menunjukkan penuh kebencian. 

Lama kelamaan Mama Desti makin mendekat, matanya menyorotiku tajam dan tiba-tiba tangannya dilayangkan ke pipi ini.

Plak! Aku benar-benar terkejut dengan tamparan keras yang ia layangkan. Salahku apa hingga ia berani menamparku?

"Mah, kenapa Mama tampar aku?" tanyaku padanya. 

Bukannya menjawab, ia malah mau melayangkan tamparan lagi ke pipi sebelah kiri. Namun, karena sudah sekali aku ditampar, jadi paham gerak-geriknya saat tangan sebelahnya melayang, aku menepisnya dengan tangan ini. Kini tangannya aku cekal, matanya yang membulat membuat kami saling beradu pandang. 

"Mau tampar aku lagi, Mah? Sebutkan dulu kesalahanku!" tegasku dengan nada penuh penekanan. Jangan seenaknya menampar orang tanpa alasan yang tepat, pipi ini untuk diolesi oleh bedak, bukan dengan tamparan tak jelas.

Mama tertawa sambil membanting tangannya, dengusan kasar terdengar santar di telinga. Mama Desti memang selalu mengutamakan Mas Gerry dan Mbak Dila, tapi tidak seenaknya juga memperlakukanku seperti barusan. 

"Siapa Om Farhan? Hah! Selingkuhan kamu, kan? Ternyata benar dugaan Mama, kamu itu bekas wanita malam, makanya mencoba nutupin siapa keluarga kamu sebenarnya, ya kan?" tukas Mama Desti dengan berbagai macam tuduhan yang membuatku menggelengkan kepala. 

"Kalian gila, nggak waras, main nuduh sembarangan," sanggahku kesal.

"Heh, wanita murahan, kamu tuh sengaja kan gaet om-om supaya bisa masukin Arlan ke kantor Mas Gerry? Aku tahu kamu tuh iri dengan kemewahan yang kupunya, makanya menghalalkan segala cara," pekik Mbak Dila meluruskan tapi menjerumuskan. Aku benar-benar diuji kesabaran dihadapkan orang yang senang sekali memfitnah.

Darah ini benar-benar mendidih dibuatnya, rasanya ingin meraup wajah kedua orang yang pandai fitnah, lalu mencakar mereka dengan sadis. Namun, lagi-lagi pesan papa bersemayam di kepala, sebuah kesabaran yang harus aku pupuk sampai waktunya tiba.

"Dengar ya, terserah kalian mau bilang apa tentang aku, yang penting bagiku itu Mas Arlan bukan kalian!" tekanku sekali lagi. 

"Kamu pikir Arlan percaya dengan wanita seperti kamu? Sore ini akan Mama bilang semuanya, dan pastinya Arlan akan mengusirmu," cetus Mama Desti dengan satu alis terangkat. 

Tanpa kudengar celotehannya, akhirnya keputuskan untuk masuk ke kamar dan menguncinya. 

"Astaga, kenapa jadi seperti ini? Mama dan Mbak Dila semakin kelewatan, wajahku ditampar. Gila, orang tuaku aja seumur-umur nggak pernah mukul," gerutuku bicara sendirian di kamar. 

Aku mondar-mandir di depan ranjang, sambil mencari cara bagaimana bicara dengan Mas Arlan tentang Om Farhan yang sebenarnya adalah Om-ku, adik dari papa.

Aku usap layar ponsel dan menghubungi papa untuk meminta izin. Ya, mau tidak mau aku harus bilang pada Mas Arlan siapa Om Farhan sebenarnya. 

Hanya satu kali nada sambung, Papa sudah mengangkat panggilan telepon. 

"Halo, Pah, ya ampun tahu nggak tadi Om Farhan nelepon aku, eh ada Mbak Dila, ketahuan foto profil Om Farhan si nenek sihir itu kenal, dan tahu nggak aku difitnah pacaran dengan Om Farhan," terangku dengan nada pelan tapi mimik wajah ini benar-benar sudah sangat muak saat membicarakan mereka pada papa.

Kudengar papa yang ada di seberang sana tertawa kecil, aku sontak kecewa dengan responnya. "Pah, kok malah ketawa?" tanyaku lagi.

"Maaf, Sayang. Papa tertawa dengan panggilan yang kamu nobatkan untuk Dila. Ya udah, kamu kan besok ke sini sama Arlan, bicara saja tentang Farhan malam ini dengannya, minta tolong sama Arlan untuk merahasiakan ini semua," suruh papa. "Nak, Papa ada urusan penting, nanti kita lanjut lagi ya," tambahnya kemudian telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. 

Aku terdiam sejenak, ada satu yang kupikirkan, apa Mas Arlan mau merahasiakan ini dari saudara dan ibunya sendiri? Kecuali kalau mereka itu benar-benar bukan saudara kandung dan ibu kandung, ini masih bisa ia pikirkan tentunya. Dari sinilah aku teringat panggilan telepon dari Om Farhan tadi, siapa tahu ia ingin memberikan kabar tentang desas-desus kabar dari tetangga sekitar sini. 

Lebih baik aku hubungi saja Om Farhan sekarang, siapa tahu ia ingin memberikan kabar baik. Aku usap tombol hijau pada layar yang berlogo gagang telepon dan mencari namanya di log aktivitas panggilan masuk tadi. 

"Halo, Om Farhan," sapaku. "Tadi kenapa, Om, apa sudah ada kabar tentang Mas Arlan anak kandung atau bukan?" tanyaku penasaran tanpa menunggunya menimpali ucapanku lebih dulu.

"Bukan itu, Nilam," jawab Om Farhan membuatku menurunkan bahu seketika. Ternyata harapanku sirna, Om Farhan menghubungiku bukan karena menyampaikan hal itu.

"Lalu apa, Om?" tanyaku lagi.

"Ada kabar gembira buat kamu, tapi tidak untuk kakak iparmu," jawab Om Farhan membuat dahi ini kutautkan seketika. 

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status