Share

Bab 2

BAB 2

"Apa yang kamu katakan, Melati? Bercanda kamu," ucap Mas Bima sembari terkekeh. Aku tahu pasti dia mengira aku hanya bercanda. Karena selama ini aku tidak mau memperpanjang masalah.

"Ya sudah kalau begitu, masalah sepele jangan dipermasalahkan. Aku pengennya kita rukun-rukun aja, tapi lain kali jangan diulangi lagi!" Kata-kata itulah yang selalu keluar dari mulutku jika kami berdebat. Akan tetapi, tidak pagi ini. Aku berbicara lantang dengan kepala tegak. Maaf, Mas. Aku tidak akan mengalah untuk saat ini.

"Aku tidak bercanda, Mas. Kemasi pakaian kalian dan angkat kaki dari rumah ini!" Aku segera meninggalkan ibu dan anak itu yang masih diam mematung. Berjalan cepat menyambar kunci motor yang digantung pada dinding. 

"Bim- Bima …." Terdengar Ibu mertua yang meneriaki sang putra agar sadar. Karena mungkin Mas Bima tengah terserang syok akut. 

Sudut bibir ini menyunggingkan senyum. Lalu berjalan menuju motor yang masih terparkir di sudut ruang tamu. Aku memutar kunci motor lantas menstaternya menuntun kuda besi itu menuju halaman rumah dengan keadaan mesin menyala. Terdengar derap langkah seseorang yang berjalan mengejarku. 

Terlihat dari kaca spion Mas Bima mencoba mengejarku. 

"Melati … kita perlu bicara!"

"Ha?" Sengaja aku berteriak seolah tidak mendengar ucapannya. Karena suara motor matic yang aku nyalakan cukup membuat suara berisik. 

Ceklek

Mas Bima sengaja memutar kunci motor berniat mematikan suaranya. Lantas aku yang melihat tingkahnya panik hanya menatapnya dengan seksama.

"Ada apa?" Aku bertanya, tingkah Mas Bima yang terlihat panik membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, aku urungkan. Aku berusaha bersikap setenang mungkin.

"Kita perlu bicara!"

"Mau bicara apa? Kurang jelas ucapanku tadi? Apa perlu aku ulangi, bahwa kalian harus angkat kaki dari rumahku ini. Termasuk kamu, Mas!" Aku mengucapkan kata demi kata dengan lancar. Meskipun tidak aku pungkiri degup jantungku disana bekerja lebih cepat dari biasanya. Cintaku kepada laki-laki itu masih ada, masih aku simpan dalam hati ini. Akan tetapi, sikapnya yang selalu mementingkan keluarganya sendiri membuat cinta ini semakin tergerus.

"Ini kan masalah sepele. Masak iya kamu Semarah itu?" ucap Mas Bima dengan santai. 

"Memang sih."

"Benar kan? Sudahlah, masalah sepele tidak usah dibesar-besarkan. Kita hidup rukun seperti biasa. Mas janji akan menasehati Klara dan juga Ibu nanti. Agar mereka berhemat!" Jika memang nasehat itu akan disampaikan kepada Ibu dan adiknya. Kenapa tidak dari dulu? Baru sekarang, saat aku meminta mereka angkat kaki dari rumah ini. Benar-benar tidak bisa dipercaya.

"Tapi tidak untuk saat ini, Mas. Aku udah mulai bosen sama kata-kata kamu! Minggir, aku mau kerja. Jangan lupa, kemasi barang-barangmu sekarang. Jadi nanti kalau Melati pulang, kalian sudah siap pergi!"

Aku mengerjakan tangan, memberi isyarat bahwa laki-laki itu bergeser memberiku jalan.

"Kalau kamu pergi pake motor Mas. Nanti Mas kerjanya pake apa?" Laki-laki itu masih bertanya perihal motor yang selama ini ia gunakan. Motor yang dibeli dengan uangku, tapi jarang sekali aku mengendarai.

"Motor ini punyaku, Mas! Jadi mulai detik ini juga motor ini bakal aku pakai! Soal kamu! Terserah mau jalan kaki apa ma terbang, aku nggak mau tahu!"

Ngeeeng 

Aku memutar gas setelah berhasil menstater. Melirik sekilas pada kaca spion. Disana Mas Bima tengah mengacak rambutnya dengan kasar. Dihampiri sang Ibu yang entah berbicara apa. Karena setelah ucapanku soal angkat kaki dari rumah itu. Tidak ada lagi sepatah katapun yang terdengar dari mulutnya.

Motor yang aku kendarai melaju perlahan membelah jalan raya yang lumayan lengang. Menghirup udara pagi yang sejuk membuat pikiranku semula semrawut kini terurai dan lebih segar.

Kenapa tidak aku lakukan dari dulu? 

Ada rasa plong dalam hati, sesak yang kadang membuat sulit bernapas kini lebih longgar. Usia pernikahan yang baru setahun lebih kini tidak aku pikirkan. Yang aku pikirkan sekarang, membahagiakan diriku sendiri. 

Tidak berapa lama aku tiba di pabrik. Pabrik garment yang cukup terkenal di kotaku. Penghasilan kurang lebih lima juta per bulan, tidak pernah sekalipun aku menggunakannya untuk memanjakan diri. Biasanya aku menggunakan gajiku itu untuk membantu Mas Bima membayar biaya kuliah Klara, adik perempuan Mas Bima. 

"Woi, keknya bahagia nih yang mau gajian." Lina menepuk bahuku, sontak membuatku menoleh ke arahnya. Lantas aku mengingat-ingat tanggal hari ini, benar saja hari ini hari dimana gaji akan turun.

"Ya Allah, sampai lupa aku. Terlalu banyak yang dipikirin sampai lupa mau gajian." Aku terkekeh, Lina sahabat karibku melingkarkan tangannya pada lenganku. Kami berjalan menuju pintu utama.

Kring

Suara ponsel terdengar membuatku dan juga Lina berhenti berjalan. Merogoh saku berniat mengambil benda pipih itu. Benar saja, nama Mas Bima tertera jelas di sana. Lingkaran hijau itu melompat-lompat meminta untuk segera di geser.

Hanya kupandangi sekilas lalu ku kembalikan kedalam saku. 

"Kenapa nggak diangkat? Itu suamimu kan?" tanya Lina heran, tidak biasa aku mengabaikan panggilan dari laki-laki yang sekarang masih bergelar suami itu.

"Bukan!" jawabku singkat, membuat Lina menatapku keheranan. 

"Lha?"

"Calon mantan suami!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status