Di malam yang pekat
Angin berembus syahduDaku bagai tersekatApabila teringat sosok SyahduAkankah dia menjadi jawaban
Atas segala doa yang kami pinta?Apakah terkabul sebuah harapanApabila Syahdu menjadi perantara?Hati merasa gamang
Jiwa pun tak lagi tentramTeringat rupanya yang menawanJuga bibir yang begitu ranumSekelumit kisah tentang kami
Yang selalu harapkan buah hatiHaruskah ikhlas berbagiMerelakan dia hadir di antara kami?Sekalipun mata terpejam,
luka tak pernah mau beranjakSekalipun bibir mengukir senyum,sesak di dada tak henti membelengguAku terluka, tetapi harus menerima
Berharap kelak ada buah di balik kesabaranku~~~
"Istri mas lagi ngapain?" tegur Mas Hanan membuatku segera menyimpan kembali buku itu.
Sebuah buku yang selalu menjadi tempat pelarianku selama ini. Di dalamnya berisi banyak puisi sebagai bentuk curahan hati.
Jam sudah menunjuk angka sembilan, tetapi aku masih belum mengantuk. Bagaimana bisa sementara hati terus memikirkan omongan Bu Wenda.
"Mas, aku mau nanya sesuatu sama kamu."
"Nanya apa?"
Aku beranjak dari kursi, kemudian duduk di samping Mas Hanan yang bersandar pada kepala ranjang. Jantung berdegup tidak normal, ada rasa ragu dan takut mendominasi jiwa.
"Mas tahu Syahdu?"
"Tahu. Dia salah satu perempuan yang belajar lughoh dan syariah. Kenapa?"
"Di-dia anu, Mas. Syahdu itu mencintaimu." Aku memejamkan mata, kemudian menggigit bibir setelah mengucapkan kalimat tadi agar bulir bening tidak jatuh membasahi pipi.
Seperti inilah cara setiap perempuan menahan luka. Walau sulit dan butuh perjuangan, paling tidak aku sudah berusaha menyampaikan maksud pada suami.
"Lalu kenapa kalau Syahdu mencintai mas?"
Aku membuka mata, kemudian menatap netranya yang indah. Lelaki bermata teduh itu selalu berhasil mengirim angin sejuk dalam dada. Akhirnya bibir mengukir senyum beriring air mata.
Tanpa kata. Kini aku menatap suami tanpa tahu harus menjawab apa. Biasanya setiap malam dia memintaku menceritakan semua hal yang sudah terjadi siang tadi, begitu pun sebaliknya. Kini berbeda karena ada yang mengganjal dalam hati.
"Nikahi Syahdu, Mas. Aku yakin dia bisa memberimu anak yang lucu dan juga taat pada Tuhan. Syahdu gadis yang baik, aku rasa bisa menerimanya sebagai adik madu."
"Baiklah, mas akan menikahinya."
Ucapan Mas Hanan bagai belati yang menusuk jantung. Aku terpengarah mendengarnya, bahkan sampai sulit menyembunyikan raut cemburu di wajah.
Bibir ingin mengukir senyum, tetapi sulit. Aku seketika beku dengan perasaan hampa. Jantung rasanya ingin berhenti berdegup, entah mengapa sesakit ini mendengar jawaban yang memang ingin kudengar.
"Mas bercanda. Mas hanya ingin melihat apa kamu benar bisa menerima Syahdu sebagai adik madu atau tidak. Nyatanya tidak, 'kan?" Mas Hanan meraih tubuhku membawa dalam pelukannya. "Mas tahu kamu cemburu."
Aku meremas baju karena tersulut emosi. Ibu benar, aku tidak ikhlas berbagi. "Aku ikhlas, Mas. Mungkin di awal akan sulit, tetapi nanti juga pasti terbiasa."
"Sampai kapan pun, mas hanya akan punya satu istri dan itu kamu. Mas gak mau menikahi Syahdu. Biar saja kita hidup menua berdua, dengan itu kamu bisa mengurusku dengan baik, 'kan? Kita bisa leluasa ke mana-mana, hanya berdua."
"Tidak, Mas. Aku memahami nalurimu yang ingin menjadi seorang ayah. Apa mas mengira aku tidak peka ketika meminta Fatimah memanggilmu Abi Hanan dan bukan lagi paman?"
Air mata mengucur deras, Mas Hanan tahu aku sedang menangis karena bahu terguncang hebat. Dia mengurai pelukan, kemudian kedua ibu jarinya menyeka air mataku.
Rasa takut kehilangan semakin menjadi. Aku dilema terutama mengetahui Mas Hanan menolak permintaan ini. Entah bagaimana Tuhan menjawab doa kami.
***
"Kenapa kamu tidak coba beli tespeck lagi, Dek?" tanya Mas Hanan begitu kami selesai sarapan.
Hari jumat pengajiannya diliburkan, maka Mas Hanan senantiasa membantuku mengurus rumah. Dia mencuci piring sementara aku sibuk menyapu dan mengepel lantai atau sebaliknya.
"Aku lagi dapet, Mas," jawabku lesu.
"Biar mas saja!" Mas Hanan menyambar piring kotor di kedua tanganku, lalu membawanya ke wastafel.
Dia dengan cekatan membersihkan itu semua. Aku kembali duduk di meja makan karena rasa semangat sudah hilang. Sepanjang malam aku memikirkan Syahdu dan Mas Hanan.
Selain perempuan itu, masih banyak yang menaruh hati pada suamiku. Akan tetapi, aku merasa hanya Syahdu yang tidak genit. Selama ini tidak pernah ada gosip berlebih tentangnya kecuali hanya rumor tetangga.
Syahdu begitu menjaga harga diri sebagai perempuan. Aku juga bingung bagaimana bisa tetangga lain tahu mengenai isi hati Syahdu.
"Mas, tolong pikirkan sekali lagi. Syahdu mencintaimu, kenapa kamu tidak mau menikah dengannya?"
"Syahdu, Syahdu, Syahdu." Mas Hanan meletakkan sapu asal. "Kenapa kamu selalu menyebut nama itu?"
"Karena Mas harus menikah dengannya."
Mas Hanan membuang pandang. Sebelum aku sampai memeluknya, dia sudah melangkah ke luar rumah. Entah ke mana dia dalam suasana hati yang kacau itu.
Aku jadi semakin merasa bersalah karena mendesaknya menikah lagi. Bukan mengekang, tetapi Mas Hanan berhak mendapat kebahagiaan.
Bingung sendiri di rumah, aku memilih duduk di teras untuk menenangkan pikiran. Akan tetapi, sepertinya nasib buruk kembali menimpa karena harus bertemu Bu Arin.
"Kenapa dengan Gus Hanan, Yum? Apa dia mulai marah karena kamu belum hamil juga?"
"Mas Hanan gak apa-apa, Bu. Tidak usah kepo dengan rumah tangga orang. Jujur ya, Bu, mohon maaf ... kenapa sih kalian selalu hadir di saat seperti ini?" Aku bertanya sedikit dongkol.
"Memang benar kamu gak ngebiarin Gus Hanan menikahi Syahdu? Kasihan loh suami kamu itu, dia pasti mau punya anak juga."
"Bu Arin, urusan rumah tanggaku bukan urusan ibu."
"Padahal di masjid, Gus Hanan beberapa kali beradu pandang dengan Syahdu. Pasti ada bunga-bunga cinta yang mekar di antara mereka karena setelah memandang, ada senyuman di wajahnya."
Aku mengusap wajah pelan. Entah yang dikatakan Bu Arin itu benar atau tidak, sudah pasti melukai hati. Tanpa merespon, aku segera masuk rumah merogoh ponsel dan mencari sebuah nama di aplikasi F******k.
[Assalamualaikum, Syahdu. Bisa kita bertemu di pelataran masjid?] Sengaja aku mengirim pesan itu padanya untuk memecahkan teka-teki. Untung saja dia sedang online.
[Wa'alaikumussalam, nggih boleh, Mbak.]
[Sekarang aku ke sana!]
Rumah nenek Syahdu berada di samping masjid sehingga tidak perlu menunggu lama. Aku mengganti jilbab, kemudian melangkah cepat ke masjid.
Hati merasa gundah, tidak henti-hentinya lisan melafazkan zikir sebagai penenang hati. Beberapa ibu-ibu melirik sinis padaku ketika kami berpapasan, tetapi itu tidak penting sekarang.
Sesampainya di lokasi tujuan, aku sudah melihat Syahdu berdiri dengan gamis lebar berwarna abu basah. Dia cantik, apalagi setelah mengukir sebuah senyum yang melukai hati.
Kami duduk berhadapan dengan jarak yang tidak terlampau jauh. Syahdu berwajah ceria, mungkin dia belum bisa menebak kenapa aku mengajaknya bertemu secara tiba-tiba. Beruntung saat ke sini tadi, Bu Arin sudah tidak berdiri di depan rumah. Mungkin dia kesal karena tidak menemukan topik baru. "Syahdu, aku dengar-dengar kamu mencintai Mas Hanan?" Perempuan di depanku terperanjat. Dia pasti tidak menduga aku akan bertanya demikian. Akan tetapi, jika terus mendiamkan juga bisa menjadi fitnah. "Kenapa Mbak Yumna ngomong kayak gitu? Aku ndak berani suka sama Gus Hanan." "Syahdu, kamu memang berkata demikian, tetapi matamu menyiratkan cinta yang besar." Syahdu membuang pandangan. Suaranya yang lembut tentu saja bisa membuat lelaki mana pun jatuh cinta. Matanya yang teduh mungkin memang benar pernah dipandang Mas Hanan. Kalau saja aku bukan istrinya, pasti suamiku akan langsung melamar Syahdu. Perempuan cantik yang sangat menjaga kehormatan. "Aku mau minta tolong sama kamu, Syahdu." Aku
Suara pintu utama terdengar, pasti Mas Hanan sudah pulang dari masjid. Aku langsung ke luar dan menghambur dalam pelukannya."Senang amat, ada apa, ya?" tanya Mas Hanan dengan nada menggoda."Syahdu bersedia, Mas!" pekikku bahagia.Tiba-tiba saja senyum di wajah Mas Hanan sirna. Rembulan di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Aku sudah mengenal Mas Hanan cukup lama dan tahu kalau hati kecilnya terukir luka."Benarkah? Benarkah kamu bahagia dengan kabar itu?""Aku bahagia, Mas. Sekarang masuk kamar karena aku sudah tidak sabar untuk meminta restu ibu.""Tapi aku belum menjawab, Dek. Kamu bahkan belum tahu aku mau apa tidak.""Mas, aku bahagia jika kamu menikahi Syahdu. Rasa cemburu itu hanya ada sebentar, nanti akan sirna jika aku sudah lebih ikhlas. Perempuan yang dipoligami bukan cuma aku dan kita punya alasan kuat. Pokoknya Mas harus menuruti keinginanku ini. Oke?""Terserah kamu lah!" ketus Mas Hanan.Aku meloncat kegirangan. Sekalipun nada bicaranya terdengar ketus, tetap saja ta
Alhamdulillah," ucapku diselingi tawa yang terdengar sumbang. "Apa kamu sungguh-sungguh, Nak Gus?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Matanya bahkan sekilas melirik padaku sebagai tanda tidak percaya. "Jika ini yang diinginkan Yumna, aku bisa apa, Bu? Sudah sering kuingatkan untuk bersabar, memberitahunya kalau aku tidak pernah mau menikah lagi. Akan tetapi, dia selalu memaksakan kehendak bahkan ...." "Sudah, Mas. Ini keputusan terbaik, aku yakin sebentar lagi kita sekeluarga akan bahagia," sambungku cepat begitu Mas Hanan menunduk dalam. Ayah dan ibu hanya bisa diam serta menatap penuh tanda tanya. Aku menautkan ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat kalau hati sedang baik-baik saja. Tidak sabar rasanya menyampaikan berita baik ini pada Syahdu. Aku pun pamit masuk kamar seraya merogoh ponsel dalam saku gamis. "Assalamualaikum, Syahdu. Kamu apa kabar?" sapaku via telepon. "Waalaikumussalam, Mbak. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Mbak gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, Syahdu.
[Kalau hal ini melukai hati Mbak Yumna, maka tolong jangan biarkan Gus Hanan menikah lagi. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga yang akan berbahagia di hari pernikahan sementara Mbak menahan luka. Tolong dipikir ulang sebelum semuanya menyesal.]"Mas, Syahdu." Aku menyodorkan ponsel pada Mas Hanan. Dia menerimanya lantas membaca pesan tersebut."Syahdu benar, jangan gegabah mengambil keputusan atau kamu menyesal nanti. Jujur saja mas merasa ragu kalau harus menikah sama dia. Kamu mau kan memikirkan ulang perkara ini sambil berdoa sama Allah biar kamu cepet hamil?""Keputusanku sudah bulat, Mas. Kalian memang harus menikah dan aku ikhlas." Getar di dada semakin mengganggu.Tidak ada jawaban, Mas Hanan hanya bisa melipat bibir. Sebenarnya aku pun sama dengan perempuan lainnya, tidak ingin berbagi hati. Namun, bagaimana jika semesta seakan menuntutku melakukan hal ini?Aku mungkin bisa berusaha menjadi istri terbaik untuk Mas Hanan, mengurus makan dan tidurnya. Tidak dengan memberinya seo
Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?""Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada."Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu.""Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap."Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi is
Lepas salat dzuhur, Mas Hanan benar-benar sudah datang, aku langsung mencium punggung tangannya takzim.Setelah kami duduk di karpet depan kamar, aku membuang napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Jujur saja, kaki dan tangan sudah gemetaran duluan."Mas, aku lihat kamu tidak pernah ada niat mencintai Syahdu.""Tentu, kenapa?""Kalau kalian menikah, Syahdu berhak mendapat cinta kamu, Mas. Kamu harus tahu, aku itu ikhlas dimadu. Kita sama-sama ingin punya anak, tetapi sampai tujuh tahun berlalu ... nihil."Mas Hanan mengalihkan pandangan sejenak, sebelum kedua tangannya benar-benar mencengkram bahuku. "Yumna, sampai kapan pun aku akan selalu mencintaimu. Sampai kapan pun hanya kamu yang akan menjadi pengisi hatiku dan tolong, kalau boleh meminta, jangan paksa aku menikahi Syahdu. Tolong, aku ingin hidup berdua sama kamu!""Mas, jangan mengedepankan ego. Aku tahu mas cinta dan sayang sama aku, tapi kita butuh seorang anak. Mungkin Syahdu itu memang jodoh kamu."Tidak ada
Suasana mengharu biru melihat Mas Dika mendekat pada ayah seakan membisikkan sesuatu. Ya, aku berontak dalam pelukan Mas Hanan. Entah kenapa dia tidak membiarkanku dekat dengan ayah.Sialnya, Mas Dika malah menuntun ayah mengucapkan lafaz tauhid. "Mas, kamu apa-apaan, sih?"Dia tidak menjawab, masih terus menuntun ayah sampai tangan lemah berkeriput itu lepas dari genggamannya. Tangis ibu pecah, segera Mas Dika mendekat dan membawanya dalam pelukan."Innalillahi wainnailaihi raajiun," lirih Mas Hanan tepat di dekat telingaku."Mas, kamu ngomong apa sih?" tanyaku masih memberontak.Mas Hanan membawaku keluar dari kamar, masih tidak mau melepas pelukannya. Mata itu sudah basah. "Kamu harus kuat, Yum. Ayah sudah tenang.""Maksudnya gimana?" Aku memaksa melepaskan diri."Ayah sudah mendahului kita.""Apa?" Aku terpukul mendengar jawaban Mas Hanan. Kakiku kembali melangkah cepat langsung menemui ayah yang sudah tidak,lagi bernapas.Beribu maaf kugaungkan, tetapi tidak peroleh jawaban. Pipi
Jam sudah menunjuk angka sepuluh pagi, para tetangga juga kerabat jauh dan dekat sudah mulai berdatangan sejak tadi. Beberapa santri juga sudah selesai membaca al-qur'an untuk ayah. Aku sedih, sekaligus bahagia karena almarhum didoakan oleh anak-anak penghafal al-qur'an.Sejak tadi ibu menyibukkan diri di dapur karena kalau duduk di sisi jenazah, air matanya tidak bisa berhenti mengalir khawatir menjadi dosa karena meratapi mayat. Sebenarnya aku pun sama terlukanya melihat sosok yang sangat aku cintai kini terbujur kaku."Kamu yang sabar, Mbak. Jangan larut dalam kesedihan, nanti hatinya ndak ikhlas," kata Andin yang sejak tadi bersedia menemaniku.Aku membuang napas berat, rasanya masih sulit menerima takdir dari Tuhan. Bukan aku menentang, hanya saja semua terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menjadi anak ayah, sekarang sudah harus berpisah.Luka seorang anak yang ditinggal orangtua itu sangat dalam apalagi aku belum bisa membalas pengorbanannya selama ini. Aku terlalu bodoh dan