Tanganku bergetar hebat saat akan menandatangani surat perceraian ini. Bukan ini yang aku inginkan. Istri mana yang ingin menandatangani surat perceraian. Istri mana yang rela mengiklaskan suaminya untuk perempuan lain. Namun ini mungkin sudah jalan hidup yang harus aku hadapi. Semoga ada hikmah yang besar dari semua ini. Kutarik nafas dalam, kukeluarkan dengan pelan. Hingga tanganku mulai membubuhkan tandatangan di atas namaku.
Aku tersenyum lega. “Ma, Firza menang ma. Firza telah memenangkan cinta ini.”
Aku menelfon seseorang untuk mengatur keberangkatanku besuk pagi. Ya, setelah menyerahkan surat ini ke Endruw aku akan pergi dari sini. Pergi ke tempat yang sangat jauh.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui rencana ini, kecuali Rani. Tadi malam tiada henti-hentinya dia menangis setelah mendengar rencanaku. Namun tekatku sudah bulat, aku ingin menjauh dari Endruw dan semua yang bisa mengingatkanku padanya. Biarkan Endruw bahagia dengan
“Fir, beneran kamu mau pergi.” Pertanyaan kesepuluh yang Rani tanyakan setelah baru lima menit dia tiba di rumahku.“Mau berapa kali lagi sih Ran kamu tanya. Aku akan pergi. Roni udah nyiapin semuanya.” Jawabku pelan sambil mengusap pipi sahabatku ini.“Terus aku gimana? Nanti kamu juga enggak datang di pernikahanku.” Rengeknya lagi, kali ini air matanya mulai menetes.“Maafin aku ya Ran, maaf banget.. Aku harap kamu bisa mengerti. Doaku selalu menyertai kamu sayang. Semoga kamu selalu bahagia, pernikahan kamu menjadi pernikahan yang pertama dan terakhir. Punya anak-anak yang lucu.” Aku pun mulai ikut meneteskan air mata. Aku berusaha menguatkan hati agar tidak goyah dengan rengekan-rengekan Rani.Kupandangi foto pernikahanku dengan Endruw yang aku pajang di figura kecil. Aku ragu untuk memasukkannya ke dalam tas. Namun akhirnya figura itu masuk juga ke dalam tas jinjing besarku. Foto ini adalah satu-satunya
“Bagaimana Fir, kamu siap menghandle pekerjaan ini kan? Kita akan untung besar jika pekerjaan ini selesai sebelum deadline. Dan Om yakin hanya kamu yang bisa mengaturnya. Minggu depan kamu bisa mulai bekerja di sana. Om sudah siapkan tiket pesawat menuju Jakarta buat kamu berangkat besok lusa.” Dan seperti biasa aku tidak bisa menolak perintah Om Gino.Lima tahun sudah aku berada di negara orang. Aku bekerja d tempat Om Gino, tentunya atas bantuan Roni. Perusahaan Om Gino ini merupakan salah satu perusahaan besar di negara ini. Sebuah prestasi yang membanggakan bagiku, Om Gino sangat menyukai hasil kerjaku. Sehingga baru lima tahun aku bekerja di sini, jabatan manager sudah berhasil aku dapatkan. Begitu juga dengan pundi-pundi uang yang aku dapatkan. Sehingga aku bisa hidup dengan mandir dan nyaman di sini.Aku menghela nafas panjang saat duduk di meja kerjaku. Aku tahu pasti bahwa Om Gino memintaku untuk kembali ke Jakarta dan bekerja di sana sampai proyek
“Hai Bry..” Sapaku saat sampai di dekatnya. “Tumben kafe ini sepi banget, biasanya rame.”Bryan menggeser kursi dan mempersilakanku untuk duduk. “Waow, spesial banget Bry.” Bryan hanya menyunggingkan senyum manis di bibirnya.Beberapa makanan sudah tersedia di meja. Makanan-makanan tersebut adalah makanan favoritku. Yaa, Bryan tahu betul makanan kesukaanku karena kami memang sering makan di sini bersama teman-temanku sekantor yang lain.Bryan memang sering menghabiskan waktu istirahat siangnya di sini. Meskipun tempa kerja Bryan dari tempatku bekerja lumayan jauh. Bryan tidak bekerja di perusahaan Om Gino. Dia mendirikan perusahaan sendiri tanpa bantuan dari Om maupun orang tuanya. Bryan memang laki-laki yang mandiri dan patut dibanggakan. Usianya dua tahun lebih muda daripada aku. Pembawaan yang jenaka membuatnya memliki banyak teman. Namun sepengetahuanku dia masih sendiri. Entah karena dia tidak laku atau mema
Nafasku masih menderu saat aku duduk di kursi pesawat. Seperti biasa dan sudah menjadi makanan sehari-hari aku terlambat bangun pagi. Mau tidak mau prosesi keberangkatanku ke Indonesia hari ini bak dikejar hantu. “Huff untung aja masih keburu” gumamku lirih.Hari ini sesuai perintah Om Gino aku berangkat ke Jakarta. Setelah berpamitan dengan tunanganku Bryan. Bryan sebenarnya sudah tahu kalau Om Gino akan mengirimku ke Jakarta. “Makanya aku buru-buru melamar kamu Fir sebelum kamu berangkat kesana. Takutnya kamu enggak mau balik lagi kesini karena keenakan disana.” Kata Bryan tadi malam saat membantuku packing.Dengan besar hati Bryan membiarkanku pergi. Mungkin itu cara dia mengambil hatiku. Dengan membiarkanku hidup seperti biasanya, dan pelan-pelan aku akan terkesan padanya.Kubuka ponselku yang kini dalam mode pesawat, kubuka galeri fotoku. Kutemukan orang yang sangat aku rindukan, mama. “Firza datang ma, maafin Fir
Badanku sangat lelah, tulang-tulangku terasa remuk. Kupijat kakiku pelan. Pekerjaan yang ku handle ini sangat menguras energiku. Setiap hari aku harus turun ke lapangan untuk mengecek langsung pembangunan sebuah gedung. Aku memang seorang pekerja yang perfectionist dan sangat detail. Mungkin ini yang menyebabkan Om Gino mempercayakan pekerjaan ini padaku.Sudah seminggu aku di Jakarta, namun aku belum pernah jalan-jalan. Padahal aku sudah sangat merindukan pergi ke mall, jalan-jalan di taman, dan kulineran. Seminggu ini aku sangat disibukkan dengan pekerjaanku.“Gimana Fin, sudah selesai laporan yang kamu buat? Tanyaku pada Fina, sekretarisku disini. Om Gino meminta Fina langsung untuk membantuku bekerja di sini.“Sudah bu, ini tinggal saya kirim melalui email.”“Ok, pastikan semua sudah terlaporkan di situ jangan ada yang ketinggalan.” Perintahku.“Baik Bu. Bu Firza terlihat sangat lelah. Apa tidak
“Firza sayang.. Pulang ke rumah ya nak. Bunda kangen banget sama kamu nak.” Kata-kata bunda masih terngiang di kepalaku. Padahal ini hari kedua setelah pertemuan kami di taman waktu itu. Dari bunda pun aku tahu kalau Anita meninggal saat melahirkan Gavin. Dan yang membuat aku sangat sedih, saat Bunda mengatakan bahwa Endruw tidak pernah menikah dengan Anita. Gavin adalah anak Anita dan Rangga, dia menjadi yatim piatu sesaat setelah dilahirkan. Saat tragedi kecelakaan itu terjadi ternyata Anita sedang hamil, namun dia tidak sempat mengatakan pada Rangga.Cerita Bunda membuat hari-hariku kembali suram. Lima tahun susah payah aku melupakan semuanya, tapi sekarang semua itu sia-sia. Setelah aku pergi, Anita akhirnya sembuh dengan serangkaian perawatan kejiwaan tentunya. Anita dan Endruw tidak menikah, setelah sembuh Anita memutuskan untuk tinggal di rumahnya dulu dengan kenangan bersama Rangga. Sampai akhirnya saat Gavin lahir, kondisi Anita kritis
Kupercepat langkahku menuju mobil. Kemudian ku buka pintu mobilku.Bragggg..Suara yang sangat keras terdengar di telingaku. Aku sangat terkejut, dadaku berdetak semakin kencang. Rasa trauma atas kecelakaan yang menghilangkan nyawa Rangga lima tahun yang lalu muncul kembali. Ingatanku tentang kecelakaan itu muncul kembali. Aku berusaha menguasai diriku. Kuambil botol minum yang selalu aku siapkan di mobil, dan meminumnya. Setelah tenang, aku berusaha mencari sumber suara.Tampak beberapa orang berlari ke pinggir ke pinggir jalan. Ada yang berteriak, tolong tolong ada kecelakan. Aku pun ikut berlari ke arah kecelakaan itu. Orang-orang sudah banyak berkerumun. Ada sesuatu yang mendorong diriku untuk masuk menyeruak ke dalam kerumunan itu. Dengan susah payah akhirnya aku bisa melihat dari jarak dekat korban kecelakaan itu. Orang-orang memindahkan laki-laki yang menjadi korban kecelakaan itu dari dalam mobil ke pinggir jalan. Entah bagaimana caranya, a
“Kamu dari mana aja sih Fir, aku cari-cari dari tadi.” Rani mulai mengomel.“Kamu kenapa Fir? Kamu sakit? Pucet gitu.”“Enggak, enggak apa-apa kok.”“Serius, kamu keringetan gitu. Kamu habis ketemu siapa sih?”“Ketemu hantu. Pulang yuk sekarang!” Aku menarik lengan Rani untuk segera pergi meninggalkan tempat ini.“Serius? Pocong? Kuntil anak? Wewe gombel?”Aku terus menarik lengan Rani, meskipun dia masih mengomel karena penasaran dengan jawabanku. Aku melihat ke belakang, sedikit berharap bisa melihat Endruw lagi. Dan ternyata benar, Endruw berdiri diam sambil memandangku pergi.***“Fir, beneran serius aku tanya. Tadi kamu ketemu siapa?” Tanya Rani masih penasaran.“Ketemu pocong”, jawabku seenaknya sambil melemparkan tubuhku ke kasur di kamarku.“Pocong Endruw ya?” Tanyanya mendelik.