"Di gendong?"
"Iya, Mas Hamaz. Saya melihat ini, dalam mimpi saya. Antara sadar dan tidak sadar. Saya melihat semua."
Tampak lelaki muda itu, berpikir keras. Lalu mengarahkan pandangannya bergantian pada Raisa dan Delon.
"Lalu apa yang harus kami lakukan Mas?" tanya Raisa.
"Tolong ceritakan dulu dari awal. Bagaimana kalian bisa berhubungan dengan Bu Sapto ini?"
Perlahan Raisa mulai menceritakan dari awal mula. Saat pertama mendapat tugas memandikan jasad Bu Sapto. Sampai pertemuan dia dengan Mbah Karsiyem. Hingga kematian para pemandi jenazah.
Sampai akhirnya mereka berkunjung ke rumah Bu Sapto. Menyaksikan toples-toples yang berisi potongan atau sisa tubuh korban kecelakaan. Tumbal dari pesugihan Bu Sapto. Hingga mereka berkunjung ke salah seorang anaknya.
Tampak Hamaz mendengarkan dengan mimik wajah yang sangat serius. Lalu sekilas memerhatikan Raisa. Yang terlihat kuyu dan lelah.
"Dari anak Bu Sapto, Mas Delon dan Mb
"Kau bisa merasakannya Raisa?" bisik Delon. "Iya, tengkuk aku berdiri, Mas. Merinding benagt, kayak ada angin dingin." "Itu kekuatan dari makhluk ini. Dia ingin berusaha menembus rumah ini tapi tak bisa. Dia juga ingin menembus Mbak Raisa juga enggak bisa. Makanya Mbak Raisa merasakan hal aneh." Lalu Hamaz mengambil sebuah buku tua yang tersimpan di dalamnya. Lalu menunjukkan pada Raisa dan Delon. "Apa Mas Delon dan Mbak Raisa sudah membaca ini?" Mereka menjawab dengan gelengan kepala. "Saat kami ingin membaca, Raisa sudah dirasuki terlebih dahulu, Mas Hamaz." "Kita baca sama-sama. Jangan lupa sholawat ya. Karena makhluk ini mengincar Mbak Raisa. Jangan lupa dalam hati kalian terus berdoa. Dia benar-benar bisa merasuki kita dalam keadaan apa pun. Jadi hanya diri kita yang harus bisa menjadi benteng yang kuat. Untuk diri kita sendiri." "Baik, Mas," ucap mereka berdua. Hamaz mulai memerhatikan buku yang ada di tan
Tetap saja tak ada sosok yang muncul di hadapan Mariman. Saat dia hendak berbalik. Sebuah bayangan hitam sudah berdiri tak jauh darinya. Sontak membuat Mariman terkejut."Si-siapa kamu?" Dengan suara yang tergagap. Mariman mundur beberapa langkah. Dia melihat sosok wanita yang memakai pakaian serba hitam dan kerudung hitam. Menutupi wajahnya, dengan membawa sebuah keranjang. Digantung di lengan."Si-siapa kamu, Mbak?" ulang Mariman.Sorot matanya tajam mengarah pada sosok wanita itu. Yang masih berdiri tegak di hadapannya. Dengan sorot mata merah teru menatappada Mariman yang gelagapan. Antara rasa takut dan bingung."Apa yang kau ingin kan?""A-aku ...?"Wanita itu tetap diam tanpa ekspresi sama sekali."Apa yang kau ingin kan?" ulang sosok wanita itu.Tubuh Mariman bergetar seketika. Dai mulai merasa semilir angin malam ini begitu dingin menembus hingga ke dalam daging dan tulang. Dagunya bergetar hebat. Hingga dia kesulitan
Mereka berdua bagai terkesiap, saat mendengar Hamaz menceritakan isi diary dari Marsinah. Hamaz pun menutup buku itu dan mengangkat wajahnya mengarah pada mereka. "Apakah yang dipanggil Dewi itu yang merasuki Raisa, Mas?" "Sepertinya iya. Hanya saja saya sangat yakin ini semua dikendalikan oleh seorang dukun atau seperti itulah." "Kenapa Mas Hamaz berpendapat seperti itu?" "Karena persyaratan itu, tak mungkin dikatakan langsung oleh sang iblis dengan gamblang." "Apakah mungkin kalau saat itu, iblis yang merasuki tubuh seseorang?" lanjut Raisa. "Bisa saja seperti itu, Mbak. Para manusia-manusia sesat yang memang menunggu mangsa. Untuk dijerat dan dijadikan budak napsu manusia itu sendiri." Mereka berdua manggut-manggut. Apa yang disampaikan oleh Hamaz sangat masuk akal. Bisa saja itu semua memang terjadi. Benar-benar semua hal yang terungkap di luar logika mereka berdua. Sangat mengejutkan. "Menurut Mas Hamaz. Apakah Bu
"Kenapa aku merasa Mas Mariman benar-benar telah berubah. Dia tak pernah lagi menyentuh tubuhku. Apalagi sampai mengajak untuk berhubungan intim. Kenapa? Apa aku sudah tak menarik lagi buat dia?" Tepat pada lembaran ini. Terdapat coretan yang tebal menghapus beberapa kalimat. Membuat Hamaz melewati untuk membuka lembar berikutrnya. "Kenapa kok di lewati Mas?" "Enggak tau ini dihapus, Mbak." Lalu Hamaz memerlihatkan lembaran itu, ke arah mereka. Raisa langsung menoleh pada Delon yang juga menoleh kearahnya. "Kira-kira kalimat apa itu Mas Hamaz?" "Saya juga enggak tau Mbak Raisa. Mungkin dia tak ingin ada yang tau, tentang perasaannya ini." "Ya udah Mas Hamaz, lanjut aja ke lembar berikutnya," cetus Delon. Hamaz melanjutkan lagi membaca lembaran berikutnya. Sangat terlihat jelas kegelisahan Marsinah tentang suaminya. Serta hubungan mereka yang semula harmonis, kini mulai berubah hambar dan dingin. Sampai suatu mal
"Sudah! Cukup untuk semuanya Marsinah. Kalau kau tak ingin aku dan harta aku. Sebaiknya kau pergi saja keluar dari rumah ini!"Kedua tangan Marsinah mengepal erat. Kali ini dia benar-benar marah. Apalagi melihat sang suami yang seperti tak bersalah sama sekali."Kau mengusir aku, Pak?" Kepalanya mendongak ke arah sang suami yang bertubuh tinggi besar."Kalau kau tak mengikuti apa yang aku bilang dan selalu mennetang aku. Silakan pergi!""Mana ada aku mennetang kamu, Pak. Aku hanya menanyakan dirimu yang sudah berubah. Kenapa kamu sekarang tak mau menyetuh aku lagi? Apa aku sudah enggak menarik buat kamu?"Mariman hanya bisa berdiri mematung dengan pandangan mata yang mengarah pada kamar itu. Sepintas Marsinah melihat korden kamar itu bergerak seperti ada seseorang yang sengaja menyibaknya.'Ada apa dengan kamar itu?' bisik Marsinah penasaran.Entah berasal dari mana pemikiran yang ada dalam kepala Marsinah saat ini. Tiba-tiba
"Aku harus melihatnya! Aku harus tahu siapa sebenarnya yang mengetuk pintu kamarku?" ucap Marsinah berbisik. Marsinah memberanikan dirinya untuk melangkah lebih jauh. Dia kini berada tepat di depan pintu. Tangannya sampai bergetar hebat saat ingin memegang handle dan memutar kunci. Napasnya sampai terasa sesak. Berulangkali Marsinah menghela napas panjang. Dia mencoba untuk bersikap tenang. Akan tetapi, suara itu menggetarkan hatinya. Mmebuat jantungnya berdetak semakin kencang. "Marsinaaaahhh!" "Haaaahhhh!" Wanita itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia berusaha untuk tetap tenang. Sembari menarik napas panjang. Perlahan terdengar bunyi handle yang bergerak pelan. Klek! Pintu mulai terbuka perlahan. Marsinah tak langsung keluar. Dia mengintip dari celah pintu. Namun, tak terlihat siapa pun juga. Sejenak membuat Marsinah berpikir. Dia jadi teringat pesan sang suami untuk tetap di dalam kamar. Hanya saja, Marsinah
Marsinah berusaha untuk bergerak maju. Langkahnya mengendap-endap. Agar bisa melihat sang suami dengan jelas.Saat dirinya berusaha untuk semakin dekat. Sosok wanita itu telah menghilang. Membuat Marsinah semakin terhenyak."Ke mana wanita itu? Kok bisa dia menghilang begitu saja?"Tanya itu kian memenuhi lubuk hati Marsinah. Lalu dia mengarahkan pandangannya pada bungkusan yang dibawa sang suami. Tampak Mariman meletakkan di tanah dan mulai membuka perlahan daun pisang yang membungkusnya.Bersamaan itu, terdengar suara monyet yang saling bersahutan. Menambah suasana malam ini benar-benar mencekam. Sesekali Marsinah mengusap tengkuknya. Yang berdiri dan merinding."Apa yang ada dalam bungkusan itu?" ucap Marsinah berbisik, hampir tak terdengar.Namun dia tak bisa melangkah lebih maju dan mendekat. Marsinah tak ingin kalau Mariman tahu, dia membuntuti dirinya.'Sepertinya aku harus menunggu dulu. Sampai Mas Mariman pergi.'
Setelah ragu, dia memaksa hati dan menumbuhkan keberanian diri untuk terus mengikuti. Walau Marsianh masih meraba-raba apa yang telah dilakukan Mariman."Aku tak pernah maafkan kalau memang kau melakukan perbuatan terkutuk itu, Mas! Aku harus bisa buktikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan aku ini salah?"Sampai akhirnya Mariman terlihat berhenti di jalan yang mulai gelap. Jauh dari pencahayaan. Cukup lama Mariman berdiri di tempat itu. Membuat Marsinah heran dan rasa penasaran dalam dirinya semakin terbakar.Marsinah semakin ingin tahu, apa yang sedang ditunggu suaminya di tempat itu?Tiba-tiba saja dedauhan yang berada di dekat Mariman, mulai bergerak-gerak. Membuat suara yang bergemerisik. Lalu Marsinah melihat kawanan monyet yang mendatangi ke arah Mariman. Membawa satu helai daun segar.Tampak Mariman memerhatikan daun itu lamat-lamat. Seketika raut wajahnya menjadi tegang. Sampai membuat giginya gemertak dengan rahang yang mengeras.