Share

Bab 9 - Kelakuan Ernest

"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. 

"Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya.

"Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey.

Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya.

"Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan.

"Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi.

"Tapi dia sudah membuatmu hidupmu sulit. Kamu dikejar - kejar debt collector karena dia pengecut. Kamu menanggung cicilan kartu kredit si brengsek ini. Enak saja dia hilang dan muncul sesukanya," protes Harvey.

"Tapi bukan seperti ini caranya, Har," ketus Lillian. Dia tahu bagaimana sifat Ernest, laki - laki itu bisa saja mengadukan Harvey ke polisi dengan pasal penganiayaan. Jujur, Lillian lebih khawatir pada nasib Harvey dibandingkan dengan keadaan Ernest yang babak belur saat ini. Tapi mulut dan hatinya seakan tidak sinkron, apa yang terucap berbeda dengan yang dipikirkan.

"Jangan ikut campur urusan kami, Har. Sebaiknya kamu pergi dari sini. Ini urusan rumah tangga. Kam itu cuma orang luar," potong Ernest. Dia duduk di sofa sambil memegang pipinya yang mulai bengkak, sengaja memasang ekspresi kesakitan untuk menarik simpati Lillian.

Lillian memang melihat Ernest kesakitan, tapi dia tidak berani meninggalkan mereka berdua untuk mengambil peralatan P3K. Ruangan ini masih dipenuhi dengan aura permusuhan. Salah - salah, Harvey kembali menghajar adiknya.

Harvey terdiam sambil menatap Lillian. Wanita bertubuh mungil itu tertegun mendapati ada kilatan sedih di dalam mata Harvey. Rasanya Lillian ingin memeluk Harvey saat itu juga. Dia tak tega melihat Harvey yang sakit hati dan kesepian. Sayangnya, disini ada Ernest yang kesakitan. Tidak etis rasanya kalau dia lebih condong ke kakak iparnya dari pada suami sendiri.

"Har, untuk malam ini. Hanya malam ini saja. Pulanglah ke rumahmu sendiri. Ernest benar. Kami akan menyelesaikan masalah ini berdua. Ya?" Kali ini Lillian mengucapkannya dengan nada lebih lembut, ada permohonan disana.

"Kamu juga mengusirku, Lili?" desis Harvey tak bisa lagi menyembunyikan sakit hatinya.

"Tidak, Har. Bukan seperti itu. Ini rumahmu. Tenangkan pikiranmu dulu, lalu kembalilah saat dirimu sudah lebih tenang. Aku tidak suka melihatmu melukai orang hanya karena emosi," jawab Lillian dengan sabar. Dia berusaha meredakan emosi Harvey.

Tapi siapa sangka, Lillian tak sengaja salah memilih kalimat. Kalimat terakhir terasa menyakitkan bagi Harvey. Lillian membela Ernest yang bisanya hanya menyusahkan orang lain. Kekesalan itu meluap begitu saja.

"Terserah kamu saja, Lili," geram Harvey, merasa sia - sia dirinya berada disini. 

Harvey mengalihkan pandangan dari Lillian ke Ernest. "Aku pergi karena Lillian yang memintanya. Jangan berani menyentuh dia seujung jari pun, atau aku akan membunuhmu! Aku tidak main - main," ancamnya.

Setelah itu Harvey keluar rumah dengan membanting pintu keras - keras. Bunyinya sampai membuat Lillian terjengit saking kerasnya. Dalam hati Lillian heran dengan emosi Harvey hari ini.

"Hei, Har! Ada apa denganmu?" Lillian berseru keras dari jendela, tapi Harvey tidak mendengarnya. Dia keluar pagar dan langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Raungannya menggema di jalanan yang sepi.

"Apa yang membuatnya begitu emosi? Apa sebenarnya yang terjadi tadi?" gerutu Lillian sambil mengambil peralatan P3K untuk mengobati memar di wajah dan luka di tangan Ernest. Harvey yang dikenalnya adalah tipe lelaki dewasa yang tenang dan mengayomi.

"Harvey memang gila. Posesif akut. Tukang ikut campur. Sok kuasa." Ernest mencaci maki sambil berkacak pinggang. Dia berdiri di jendela dengan wajah puas karena rivalnya sudah berhasil disingkirkan. Ernest mengenal Lillian dengan baik. Wanita itu pasti membela yang lebih lemah. Oleh karenanya, Ernest sengaja tidak melawan, merelakan diri untuk menjadi samsak bagi Harvey. Dia punya tujuan lain datang ke rumah Lillian malam ini.

"Apa maksudmu?" Lillian berhenti tepat di depan Ernest sambil memegang kotak P3K. Cara bicara laki - laki itu membuat Lillian enggan mendekat, apalagi mengobati. Harvey yang dihina, Lillian yang merasa sakit hati.

Ernest malah berbalik lalu mendorong Lillian dengan kasar. Dia masuk ke kamar Lillian dan berkaca. Tulang pipinya robek tapi darah sudah berhenti. Lillian mengikuti Ernest, sambil terheran - heran pada dirinya sendiri. Sedikit pun tidak ada rasa iba pada Ernest.

Saat ini yang perasaan yang tersisa pada Ernest hanya satu, yaitu kewajiban. Iya. Dia tahu kalau laki - laki di hadapannya adalah suaminya. Seburuk - buruknya Ernest, Lillian tetap harus menghormati. 

"Dimana tasmu?" Ernest balik bertanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar dan menemukan sebuah tas tangan berwarna hitam teronggok diatas nakas.

Lillian mengerutkan kening ketika melihat Ernest menyambar tas miliknya dan menuang begitu saja isi tas ke atas tempat tidur. Ponsel, dompet, alat make up, handsanitizer dan beberapa keperluan wanita lain berserakan disana.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan," protes Lillian marah.

Ernest tak merespon. Dia mengambil dompet Lillian, membukanya dan mengambil semua lembaran uang yang ada disana lalu mengantonginya.

"Cih, cuma segini uangmu! Ini masih kurang."

Melihat gelagat buruk Ernest, Lillian membelalakkan matanya lebar - lebar. Dengan matanya, Lillian mengikutk gerak gerik Ernest. Kini laki - laki itu beralih ke ponsel Lillian dan mengutak atiknya. "Bagus. Kamu masih menggunakan password yang sama. Dasar bodoh!" ujarnya sambil tertawa licik.

Lillian merasa seperti tersengat lebah. Jangan - jangan.... 

"Hei! Kembalikan ponselku!" seru Lillian marah. Semua akun pribadi ada di ponselnya termasuk rekening bank dan e-money lainnya. Semua password yang dipakainya selalu sama sejak dia masih SMA. Lillian gemetar saat melihat Ernest membuka aplikasi berlogo salah satu bank swasta yang terkenal. Jangan sampai Ernest merampok dirinya. Seingat Lillian, Ernest sering meminjam uang darinya tapi tak pernah sekali pun dia mengembalikan.

"Ernest!" seru Lillian sambil menyambar ponsel miliknya. Namun Ernest lebih cepat, dia berkelit lalu mendorong Lillian hingga wanita itu terpental ke belakang.

"Mengganggu saja!" Ernest mengumpat sambil melanjutkan aksinya sambil berdiri memunggungi Lillian. Di lantai Lillian duduk dengan sambil menyentuh dahinya yang terasa nyeri karena terantuk nakas. Ini bukan pertama kali Ernest berlaku kasar seperti ini. Ingatan - ingatan masa lalu kembali muncul, sikap - sikap kasar Ernest. Setelah menikah, Ernest jadi kasar dan ringan tangan.

Sekali lagi Lillian mengusap dahinya yang sakit, lalu melihat jarinya sendiri. Untung saja tidak berdarah, meski kemungkinan besok akan lebam.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nurliza Eri
Keren kak cerita semangat ya kak ...
goodnovel comment avatar
Effie Widjaya
lilian terlalu sabar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status