"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara.
"Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya.
"Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey.
Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya.
"Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan.
"Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi.
"Tapi dia sudah membuatmu hidupmu sulit. Kamu dikejar - kejar debt collector karena dia pengecut. Kamu menanggung cicilan kartu kredit si brengsek ini. Enak saja dia hilang dan muncul sesukanya," protes Harvey.
"Tapi bukan seperti ini caranya, Har," ketus Lillian. Dia tahu bagaimana sifat Ernest, laki - laki itu bisa saja mengadukan Harvey ke polisi dengan pasal penganiayaan. Jujur, Lillian lebih khawatir pada nasib Harvey dibandingkan dengan keadaan Ernest yang babak belur saat ini. Tapi mulut dan hatinya seakan tidak sinkron, apa yang terucap berbeda dengan yang dipikirkan.
"Jangan ikut campur urusan kami, Har. Sebaiknya kamu pergi dari sini. Ini urusan rumah tangga. Kam itu cuma orang luar," potong Ernest. Dia duduk di sofa sambil memegang pipinya yang mulai bengkak, sengaja memasang ekspresi kesakitan untuk menarik simpati Lillian.
Lillian memang melihat Ernest kesakitan, tapi dia tidak berani meninggalkan mereka berdua untuk mengambil peralatan P3K. Ruangan ini masih dipenuhi dengan aura permusuhan. Salah - salah, Harvey kembali menghajar adiknya.
Harvey terdiam sambil menatap Lillian. Wanita bertubuh mungil itu tertegun mendapati ada kilatan sedih di dalam mata Harvey. Rasanya Lillian ingin memeluk Harvey saat itu juga. Dia tak tega melihat Harvey yang sakit hati dan kesepian. Sayangnya, disini ada Ernest yang kesakitan. Tidak etis rasanya kalau dia lebih condong ke kakak iparnya dari pada suami sendiri.
"Har, untuk malam ini. Hanya malam ini saja. Pulanglah ke rumahmu sendiri. Ernest benar. Kami akan menyelesaikan masalah ini berdua. Ya?" Kali ini Lillian mengucapkannya dengan nada lebih lembut, ada permohonan disana.
"Kamu juga mengusirku, Lili?" desis Harvey tak bisa lagi menyembunyikan sakit hatinya.
"Tidak, Har. Bukan seperti itu. Ini rumahmu. Tenangkan pikiranmu dulu, lalu kembalilah saat dirimu sudah lebih tenang. Aku tidak suka melihatmu melukai orang hanya karena emosi," jawab Lillian dengan sabar. Dia berusaha meredakan emosi Harvey.
Tapi siapa sangka, Lillian tak sengaja salah memilih kalimat. Kalimat terakhir terasa menyakitkan bagi Harvey. Lillian membela Ernest yang bisanya hanya menyusahkan orang lain. Kekesalan itu meluap begitu saja.
"Terserah kamu saja, Lili," geram Harvey, merasa sia - sia dirinya berada disini.
Harvey mengalihkan pandangan dari Lillian ke Ernest. "Aku pergi karena Lillian yang memintanya. Jangan berani menyentuh dia seujung jari pun, atau aku akan membunuhmu! Aku tidak main - main," ancamnya.
Setelah itu Harvey keluar rumah dengan membanting pintu keras - keras. Bunyinya sampai membuat Lillian terjengit saking kerasnya. Dalam hati Lillian heran dengan emosi Harvey hari ini.
"Hei, Har! Ada apa denganmu?" Lillian berseru keras dari jendela, tapi Harvey tidak mendengarnya. Dia keluar pagar dan langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Raungannya menggema di jalanan yang sepi.
"Apa yang membuatnya begitu emosi? Apa sebenarnya yang terjadi tadi?" gerutu Lillian sambil mengambil peralatan P3K untuk mengobati memar di wajah dan luka di tangan Ernest. Harvey yang dikenalnya adalah tipe lelaki dewasa yang tenang dan mengayomi.
"Harvey memang gila. Posesif akut. Tukang ikut campur. Sok kuasa." Ernest mencaci maki sambil berkacak pinggang. Dia berdiri di jendela dengan wajah puas karena rivalnya sudah berhasil disingkirkan. Ernest mengenal Lillian dengan baik. Wanita itu pasti membela yang lebih lemah. Oleh karenanya, Ernest sengaja tidak melawan, merelakan diri untuk menjadi samsak bagi Harvey. Dia punya tujuan lain datang ke rumah Lillian malam ini.
"Apa maksudmu?" Lillian berhenti tepat di depan Ernest sambil memegang kotak P3K. Cara bicara laki - laki itu membuat Lillian enggan mendekat, apalagi mengobati. Harvey yang dihina, Lillian yang merasa sakit hati.
Ernest malah berbalik lalu mendorong Lillian dengan kasar. Dia masuk ke kamar Lillian dan berkaca. Tulang pipinya robek tapi darah sudah berhenti. Lillian mengikuti Ernest, sambil terheran - heran pada dirinya sendiri. Sedikit pun tidak ada rasa iba pada Ernest.
Saat ini yang perasaan yang tersisa pada Ernest hanya satu, yaitu kewajiban. Iya. Dia tahu kalau laki - laki di hadapannya adalah suaminya. Seburuk - buruknya Ernest, Lillian tetap harus menghormati.
"Dimana tasmu?" Ernest balik bertanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar dan menemukan sebuah tas tangan berwarna hitam teronggok diatas nakas.
Lillian mengerutkan kening ketika melihat Ernest menyambar tas miliknya dan menuang begitu saja isi tas ke atas tempat tidur. Ponsel, dompet, alat make up, handsanitizer dan beberapa keperluan wanita lain berserakan disana.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan," protes Lillian marah.
Ernest tak merespon. Dia mengambil dompet Lillian, membukanya dan mengambil semua lembaran uang yang ada disana lalu mengantonginya.
"Cih, cuma segini uangmu! Ini masih kurang."
Melihat gelagat buruk Ernest, Lillian membelalakkan matanya lebar - lebar. Dengan matanya, Lillian mengikutk gerak gerik Ernest. Kini laki - laki itu beralih ke ponsel Lillian dan mengutak atiknya. "Bagus. Kamu masih menggunakan password yang sama. Dasar bodoh!" ujarnya sambil tertawa licik.
Lillian merasa seperti tersengat lebah. Jangan - jangan....
"Hei! Kembalikan ponselku!" seru Lillian marah. Semua akun pribadi ada di ponselnya termasuk rekening bank dan e-money lainnya. Semua password yang dipakainya selalu sama sejak dia masih SMA. Lillian gemetar saat melihat Ernest membuka aplikasi berlogo salah satu bank swasta yang terkenal. Jangan sampai Ernest merampok dirinya. Seingat Lillian, Ernest sering meminjam uang darinya tapi tak pernah sekali pun dia mengembalikan.
"Ernest!" seru Lillian sambil menyambar ponsel miliknya. Namun Ernest lebih cepat, dia berkelit lalu mendorong Lillian hingga wanita itu terpental ke belakang.
"Mengganggu saja!" Ernest mengumpat sambil melanjutkan aksinya sambil berdiri memunggungi Lillian. Di lantai Lillian duduk dengan sambil menyentuh dahinya yang terasa nyeri karena terantuk nakas. Ini bukan pertama kali Ernest berlaku kasar seperti ini. Ingatan - ingatan masa lalu kembali muncul, sikap - sikap kasar Ernest. Setelah menikah, Ernest jadi kasar dan ringan tangan.
Sekali lagi Lillian mengusap dahinya yang sakit, lalu melihat jarinya sendiri. Untung saja tidak berdarah, meski kemungkinan besok akan lebam.
"Done. Thanks," ucap Ernest sambil tersenyum puas. "Ha?" Lillian melongo melihat Ernest dengan santai melemparkan ponsel yang tadi dia rampas ke tempat tidur. Apa yang telah dilakukan oleh Ernest pada ponselnya? Lillian bergegas menyambar benda pipin itu. Belum sempat dirinya memeriksa ponsel, sudut matanya menangkap bayangan Ernest berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang berharganya. Laki - laki itu terlihat sedang memasukkan kode dan membuka brankas mini milik Lillian. Kemudian dengan santai meraup barang - barang berharga didalamnya lalu memasukkan semuanya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia menggulung beberapa lembar surat berharga dan memasukkannya ke dalam saku bagian dalam jaketnya. Tubuh Lillian semakin gemetar karena marah. Tapi dia juga takut dipukul. Suasana seperti ini sangat familiar dan biasanya akan berlanjut dengan kekerasan fisik apabila dia tak mau patuh pada Ernest. Lillian putus asa. Dia belum sempat membicarakan soal tagihan debt collector dan cic
Di saat Lillian sedang berseteru dengan Ernest, Harvey memutuskan untuk pergi mengunjungi apartment Richard, satu - satunya teman yang bisa dia percaya saat ini. Pengacara itu bergegas membukakan pintu, dia bengong sesaat begitu menyadari siapa yang datang. "Harvey?" "Hey," sapa Harvey yang terlihat lesu. Dia mendorong Richard agar tidak menghalangi jalan masuk ke dalam apartment. Harvey masuk begitu saja seolah masuk ke dalam rumahnya sendiri. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. "Ada apa denganmu?" Richard heran, mereka baru saja bertemu saat makan malam tadi. Dia menutup pintu dan mengikuti langkah Harvey. Harvey menghempaskan tubuhnya di sofa, di depan sebuah ipad yang posisinya berdiri di atas meja. Layarnya dalam kondisi menyala dan menghadap kearah Harvey. "Hey, Har! Harvey!" Suara seorang wanita yang sangat familiar terdengar tak jauh darinya. Nadanya ceria dan bersemangat. Harvey terkejut. Celingukan, dia menoleh ke kanan dan kiri. "Di ipad, Har. Lihat aku!" seru wanita it
"Ya, Sayang?" Suara lembut Ernest seakan bergema di suasana malam yang sepi. Lillian terhenyak. Dia seperti melihat Ernest di masa lalu. Laki - laki ramah dan lembut yang dicintainya. Waktu itu panggilan cinta berhamburan dari mulut manis Ernest, membuat Lillian mabuk kepayang. Siapa sangka, tiba - tiba saja Ernest berubah setelah mereka menikah. Laki - laki itu seperti menunjukkan sifat aslinya. Dia begitu kasar, suka menghambur - hamburkan uang dan ringan tangan. "Oke. Aku datang." Suara Ernest memudarkan lamunan Lillian. "Ern... -" Sebelum sempat Lillian menyelesaikan kalimatnya, Ernest sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melajukan kendaraannya, meninggalkan Lillian begitu saja. Seketika pikiran buruk menyelusup di kepala dan hati Lillian bersamaan dengan angin malam yang menghembuskan udara yang dingin. Lillian memeluk dirinya sendiri, sekali lagi memandang mobil yang dikendarai Ernest. Kendaraan beroda empat itu pergi menjauh, lalu menghilang di tikungan. Terlalu kecew
Telapak tangan Harvey mulai menyusup kebalik piama yang dipakai oleh Lillian, mengusap kulit halus yang ada di dalam sana. Perjalanan tangan Harvey begitu lancar hingga mendapati Lillian tidak memakai bra."Hm..., apa kamu mencoba menggodaku, Lili?" bisik Harvey di sela - sela ciumannya."Ha?""Lembut sekali," bisik Harvey semakin melantur. Tangannya dengan santai menyentuh bulatan kembar milik Lillian seakan benda itu miliknya.Lillian memutar matanya kesal. Di saat orang sedang terhanyut oleh suasana, kata - kata Harvey malah mengembalikannya pada sebuah kenyataan bahwa hubungan mereka terlarang."Har, stop! Kamu yang memancingku. Jangan katakan kamu ingin mengulang kesalahan yang sama lagi!" Lillian berusaha membentengi diri meski tidak ada ketegasan dalam nada suaranya. Akhir - akhir ini, Harvey terlihat lebih tampan dimatanya. Setiap kali bersama Harvey, Ernest pasti akan tersingkirkan dari pikirannya."Woops...!"Harvey tiba - tiba mengganti posisi mereka. Dia tertawa saat tubuh
Gara - gara melihat bekas merah di leher Lillian, pagi - pagi Harvey sudah uring - uringan. Harvey berusaha menyibukkan diri dengan menyiapkan sarapan pagi untuk mereka dan menunggu Lillian turun dengan sendirinya. Dia sengaja tidak membangunkan wanita itu karena masih marah. Biar saja sekali - kali Lillian ijin tidak masuk kerja, toh jatah libur tahunan milik Lillian masih banyak. Harvey mengambil laptop, duduk di meja makan dan membukanya, lalu tangannya meraih mouse. Dalam sekejap layar monitor yang terpampang di hadapannya menampilkan nilai - nilai mata uang dunia, update harga logam mulia terkini hingga pergerakan saham pagi ini. Laki - laki itu mengerang kesal saat suara ponsel yang nyaring memecah konsentrasinya. Padahal dirinya mulai hanyut dengan berita - berita yang dibacanya. Telapak tangannya menggapai ponsel yang ada di sebelah laptop, lalu membaca nama yang tertera di layar. "Ya, Mama?" sapa Harvey begitu menempelkan ponsel di telinganya. Suaranya terdengar berat dan t
Tangan Lillian bergetar saat melihat sisa saldo yang tertera di rekening bank-nya. Uang tabungannya terkuras habis. Di catatan transaksi jelas sekali tertera nama Ernest sebagai penerima dana. Suami kurang ajar itu benar - benar keterlaluan. Dia hanya menyisakan sedikit uang yang bahkan tak akan cukup untuk makan hingga akhir bulan.Uang tunai di dompet dan perhiasan juga sudah lenyap dibawa oleh Ernest. Mau menyebut Ernest dengan sebutan perampok tapi laki - laki itu suaminya. Lillian benar - benar geram. Perasaannya bercampur baur antara muak dan kalut. Tega sekali Ernest memperlakukan dirinya semena - mena seperti ini. Dia tahu kalau Ernest dari dulu tidak pintar mengatur keuangan tapi bukan berarti harus habis - habisan seperti ini kan? Mereka sama - sama bekerja, punya penghasilan masing - masing. Seharusnya uang tidak masalah kalau hanya untuk dipakai keperluan sehari - hari untuk dua orang. Selama ini, hanya pendapatan Lillian yang dipakai untuk biaya hidup. Pendapatan Ernest ya
"Ada apa lagi? Apa soal Lillian lagi?" tanya Richard jengkel sambil menghampiri Harvey. Setelah membujuk Lillian berkali - kali tanpa hasil, Harvey langsung meminta Richard menemuinya di sebuah cafe.Saat ini mereka duduk di salah satu meja pojok yang jauh dari pandangan orang. Dua gelas kopi dan makanan ringan tersedia menemani bincang pagi ini. Richard menyeruput kopinya sambil memperhatikan cerita Harvey."Kenapa sih kamu tidak mau menuruti usul Amara?" tanya Richard masih jengkel."Tidak bisa. Lillian sedang dalam fase penolakan. Dia curiga Ernest punya wanita lain tapi tidak mau semakin tersulut oleh pernyataanku. Aku tidak mau semakin membuatnya tertekan lalu ngambek," jawab Harvey "Jadi dia ngambek gara - gara kamu ngomong soal itu? Bisa juga Lillian bersikap kekanakan," komentar Richard sambil menyesap kopinya. Di kepalanya Lillian tergambar sebagai wanita yang mandiri dan dewasa, apalagi saat menghadapi Ernest. Jarang sekali terlihat Lillian bermanja - manja.Harvey terkekeh
"Har... !" seru Lillian sekuat tenaga, tapi yang terdengar hanya sebuah bisikan. Tenggorokannya kering, sekujur tubuhnya bergetar menahan rasa sakit. "Tolong aku!" teriaknya lagi, tapi tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Sekeras apa pun usahanya berteriak, dia tidak bisa bersuara. Mulutnya terbuka dan menutup lagi tapi tak ada terdengar apa pun. Tenggorokannya terasa kering. Lillian merasakan tubuhnya terjerembab di lantai yang dingin, terasa ada yang sakit di tulang belakangnya. Belum sempat dirinya bergerak, dia merasakan ada yang menarik rambutnya dengan keras. "Jangan pernah sentuh barang - barangku!" "Ernest!" pekik Lillian. Otaknya berputar cepat, berusaha mencerna perintah Ernest. Dia tak mengerti barang apa yang dimaksud oleh Ernest. Kulit kepalanya terasa perih, bisa jadi ada rambutnya yang tercabut karena jambakan Ernest. PLAAK! "Ssshh... " Kepala Lillian oleng ketika punggung tangan Ernest menempel tanpa belas kasihan di pipi kirinya, memberikan sensasi pana