Share

2. Hai Mas

❤ Rina

"Nggih Bu, terimakasih. Saya titip El nggih Bu. InsyaAllah, setengah jam lagi saya sampai di sekolah."

" ..... "

"Nggih Bu Dewi, sekali lagi terimakasih. Wa'alaikumsalam."

Setelah selesai dengan panggilan teleponku, aku lekas meletakkan kembali ponselku ke dalam tas jinjingku.

"Yang telepon siapa, Rin?"

Mendengar pertanyaan seperti itu, aku langsung menolehkan kepalaku ke arah ibu mertuaku.

"Tadi yang telepon Bu Dewi, wali kelasnya El di sekolah, Bu."

"Bu Dewi bilang apa Rin? Ngabarin kalau El udah balik dari Cimory?"

Aku memberikan anggukan kepalaku. "Nggih Bu, tadi Bu Dewi ngabarin kalau El udah bisa dijemput di sekolah."

(Nggih = Iya)

"Ya sudah, kamu langsung jemput El aja Rin. Ibu bisa sendiri di sini."

"Nggak Bu. Rina tunggu sampai Ibu masuk ke ruang periksa."

"Nggak usah, Rin. Ibu nggak papa. Ibu bisa sendiri di sini, kasian El kalau nunggu kelamaan di sekolah."

"Nggak papa, Bu. Tadi Rina juga udah titipin El sama Bu Dewi. Jadi insyaAllah, El aman di sana, Bu."

"Jemput El sekarang aja, Rin. Sebentar lagi udah masuk jam makan siang. Takutnya jalanan macet, nanti kamu malah makin lama sampai sekolahnya El."

"Nggak papa, Bu. Pokoknya Rina tunggu sampai Ibu masuk ke ruang periksa, baru nanti Rina tinggal untuk jemput El di sekolah."

"Kalau nggak, kamu telepon adikmu aja Rin. Telepon Shinta suruh temani Ibu di sini. Jadi kamu bisa langsung pergi buat jemput El."

"Tadi Rina udah telepon Shinta, Bu. Tapi katanya, Shinta belum bisa keluar sekarang. Soalnya pasiennya masih lumayan banyak."

"Walah terus piye nduk?" (Terus gimana nak?)

(Nduk = di Jawa, ini merupakan sebutan/panggilan sayang untuk seorang anak perempuan)

"Mboten nopo-nopo Bu. Ibu nggak usah khawatir, insyaAllah El aman di sekolah. Jadi Rina temani Ibu di sini sampai Ibu masuk, atau sampai Shinta datang."

(Mboten nopo-nopo = Tidak apa-apa)

"Maaf ya Rina, Ibu jadi buat kamu repot terus karena harus nganterin Ibu kontrol kaya gini."

Aku langsung meraih tangan Ibu mertuaku, dan tak lupa juga untuk memberikan senyumanku. "Ibu kan Ibu Rina. Jadi Ibu sama sekali nggak pernah buat Rina repot. Dan ini memang sudah jadi tugas Rina untuk berbakti sama Ibu."

Ibu balas tersenyum dan ikut menggenggam erat tanganku. "Makasih ya sayang. Rina memang menantu perempuan Ibu yang paling baik."

Aku terkekeh untuk sesaat. "Ya iya Bu, kan Rina memang menantu perempuan Ibu satu-satunya. Suami Shinta nanti kan menantu laki-laki Ibu."

Ibu ikut terkekeh bersamaku. "Intinya, buat Ibu, Rina akan tetap selalu jadi menantu yang paling baik."

"Aamiin. Terimakasih Bu."

*****

Sejak tadi, aku masih setia duduk di kursi yang ada di ruang tunggu poli syaraf rumah sakit Karyadi.

Setelah Ibu terkena penyakit stroke, memang sudah jadi rutinitasku selama kurang lebih satu tahun ini, setiap dua minggu sekali, harus mengantarkan Ibu untuk kontrol rutin, dan cek kondisi kesehatan Ibu.

Bersyukur sekali, karena pengobatan Ibu selama ini berjalan dengan lancar dan memberikan hasil yang cukup memuaskan. Sebab kini Ibu sudah mulai bisa berjalan pelan, walau masih harus dengan menggunakan bantuan tongkat sebagai penopang.

Yang penting kuncinya, Ibu tak boleh banyak pikiran. Tak boleh stres. Harus tetap rileks, supaya tekanan darah Ibu tak naik. Makan makanan sehat dan minum obatnya. Terutama, Ibu tak boleh terlalu banyak makan makanan yang mengandung santan maupun kacang-kacangan.

Masih berkutat dengan pikiranku yang kembali teringat tentang bagaimana perjuangan dan pengobatan untuk Ibu, tiba-tiba aku jadi terkejut karena ada seseorang yang kini sudah duduk di sebelahku dengan napas terengah-engah yang terdengar sangat jelas di dalam pendengaranku.

"Maaf Mba, aku lama. Soalnya tadi pasienku banyak banget, jadinya nggak bisa ditinggal walau cuma sebentar."

Aku tersenyum untuk menanggapi ucapan Shinta, adik iparku tercinta. "Nggak papa, Mba paham kok. Tenang aja."

Shinta terlihat masih berusaha keras untuk mengatur napasnya. Jadi aku langsung mengulurkan satu botol air mineral ke arahnya.

"Nih, kalau udah tenang, minum dulu. Kamu juga ngapain lari-lari sampai ngos-ngosan begini si?"

Setelah napas terengah-engah darinya mulai mereda, Shinta langsung menerima dan meminum uluran minuman dariku sampai habis setengah botolnya.

"Takut Mba nunggu aku kelamaan, makannya tadi aku jadi lari waktu ke sini."

"Besok-besok, nggak usah sampai lari-lari begini lagi. Ya?"

"Iya Mba. Udah, sekarang, Mba Rina langsung ke sekolah aja buat jemput El. Kasian keponakan cantikku udah nunggu lama di sana."

Aku terkekeh, lalu menepuk-nepuk bahu Shinta secara perlahan. "Oke. Ibu udah masuk sekitar 20 menitan, jadi kayaknya bentar lagi selesai."

"Iya Mba. Tenang. Ibu aman pulang sama aku. Jadi Mba cepet ke sekolah aja. Dan bilangin sama tuan putri, nanti, Tante Shinta beliin boneka frozen lagi."

"Nggak usah, Dek. Jangan manjain El begitu, nanti takutnya El malah jadi minta dibeliin mainan terus sama kamu."

"Ya nggak papa, Mba. Santai aja. Uangku udah banyak sekarang. Jadi nggak masalah kalau buat beliin El boneka atau alat make up," jawab Shinta sambil memberikan tawa pongahnya ke arahku.

Aku juga jadi ikut terkekeh karena mendengar bualan yang sebenarnya memang adalah sebuah kenyataan dari Shinta.

Memang dasar Shinta, adik kesayangannya Mas Rama.

"Gayamu. Nggak boleh banyak belanja atau jajan. Uangnya disimpen. Ditabung. Soalnya biaya pernikahan sekarang makin mahal, Dek."

Shinta tersenyum semakin bahagia ke arahku. "Tenang aja Mba. Mas Cahyo udah bekerja keras sampai siap nikahin dokter cantik kaya aku. Jadi Mba Rina tenang aja. Karena insyaAllah, biaya nikahan kita aman, damai, dan sentosa."

"Iya. Mba tahu, kamu ataupun Cahyo memang nggak bakal bingung kalau soal uang. Tapi tetep aja, kalian harus hemat. Buat tabungan masa depan kalian dan anak-anak kalian nanti."

"Iya Mba Rinaku sayang. Siap laksanakan. Udah, sekarang Mba meluncur aja buat jemput ponakan wedokku satu-satunya. Cerita dan gosipnya kita lanjutin besok lagi di rumah Mba Rina," gurau Shinta dengan kekehan renyahnya.

(Ponakan wedokku = Keponakan perempuanku)

"Besok mau main ke rumah?" tanyaku.

Shinta mengangguk, dan memberikan senyum lebarnya ke arahku. "Iya Mba. Kan udah lama aku nggak main ke rumah Mba Rina. Sekalian mau nganterin set frozen yang udah aku janjiin buat El juga."

Aku memutar bola mataku sekilas, "Kamu itu dibilangin kok ngeyel banget si Dek? Mba udah sering bilang, jangan manjain El. Takutnya nanti El jadi tuman."

(Tuman = Ketagihan, atau bisa juga jadi Kebiasaan)

Mendengar nasihat dariku, Shinta malah cengengesan ke arahku. "Udah sana ah. Mba Rina lama-lama ketularan ribet banget kaya Ibu," ucap Shinta sambil pura-pura mendorong bahuku.

"Awas kamu. Tak bilangin Ibu lho."

Bukannya takut dengan ancamanku, Shinta malah menjulurkan lidahnya padaku. "Sana bilangin aja, lagian aku juga udah kebal kena omelannya Ibu."

"Dasar. Ya udah, Mba jemput El dulu ya?"

"Iya Mba Rinaku yang paling cantik. Udah sana pergi."

"Malah ngusir. Ya udah, sini sayang dulu," ucapku sambil merundukan badanku untuk cipika-cipiki dengan adik ipar kesayanganku.

"Mba, besok, kalau aku ke rumah, masakin tongseng ya. Soalnya aku udah kangen banget sama tongseng sapi buatannya Mba Rina."

"Oke. Siap."

"Nanti hadiahnya, tak beliin matcha greentea kesukaannya Mba Rina."

Aku langsung tertawa karena mendapat sogokan dari Shinta. "Oke. Beliin dua ya. Jangan lupa esnya dikit aja. Sama topping-nya extra cheese ya."

"Oke. Bisa diatur," jawab Shinta sambil memberikan acungan jari jempolnya.

Setelah berpamitan dengan adik perempuanku tercinta, aku segera berlalu dari hadapan Shinta untuk pergi menjemput gadis kecilku yang saat ini pasti sudah menunggu kedatanganku di sekolahnya.

*****

Beruntung sekali, karena jalanan menuju sekolah Elysia tak macet walau waktu sudah menunjukan jam makan siang seperti saat ini. Sehingga kini aku sudah tiba, dan siap untuk bertemu dengan putri kecilku tercinta.

Ternyata, masih ada beberapa anak yang terlihat bermain di halaman depan sekolah dengan begitu cerianya. Jadi sepertinya, apa yang dikatakan Bu Dewi memang benar adanya. Kalau di sini masih banyak teman-teman Elysia yang juga belum dijemput oleh orangtuanya.

Setelah selesai mengunci pintu mobilku, aku segera berjalan menuju kelas putri kecilku.

Tapi belum sampai di kelas Elysia berada, aku sudah berhenti di dekat taman karena melihat Elysia yang sepertinya sedang duduk di ayunan bersama seorang laki-laki sambil memakan donat yang ia genggam erat di tangan kanannya.

"El sama siapa?" tanyaku bingung, karena sepertinya aku belum pernah melihat laki-laki itu di sekolah Elysia sebelumnya.

Aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin laki-laki itu adalah guru atau staff baru. Karena sekolah Elysia termasuk sangat cermat dalam memasukan seseorang ke dalam area sekolah. Untuk akses masuknya saja menggunakan finger print dan scan wajah. Bahkan untuk orangtua atau penjemput siswa juga harus membawa kartu tanda anggota supaya bisa menjemput siswa di sekolah ini. Dan aku percaya, kalau hal itu adalah salah satu cara yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk memastikan bahwa seseorang yang menjemput adalah benar-benar anggota keluarga dari siswa yang bisa dipercaya. Jadi mungkin yang sekarang bersama Elysia, adalah guru baru di sekolahnya.

Aku sudah dekat dengan tempat Elysia berada. Dan dari sini, aku sudah bisa melihat Elysia yang saat ini sedang lahap sekali menyantap donat coklat yang ada di tangan kanannya.

"El," panggilku pelan.

Mendengar panggilan dariku, Elysia segera menolehkan kepalanya ke arahku. "Mama!"

Kini, Elysia sudah tersenyum lebar sekali sambil berdiri.

Jadi aku juga segera merendahkan tubuhku, dan merentangkan kedua tanganku untuk menangkap tubuh kecil putriku. "Halo sayang," sapaku, saat Elysia sudah berada di dalam pelukanku.

"Halo Ma. Mama habis dari rumah sakit?"

"Iya sayang. Mama habis nganterin Eyang Uti kontrol. Jadi maaf ya kalau El nunggu Mama lama di sini."

"Nggak papa, Ma. Dari tadi, El ada yang nemenin kok. El juga dikasih donat coklat sama Om Eky."

"Om Eky, siapa?" tanyaku penasaran.

"Om yang punya bis, Ma."

Baru saja aku ingin bertanya lagi, tapi seseorang sudah berdiri tepat di hadapanku dan Elysia saat ini.

"Rina?"

Aku langsung mendongak karena ada seseorang yang sedang menyebut namaku.

Berdiri sambil menggandeng tangan kecil Elysia, aku segera memperhatikan siapa laki-laki yang saat ini sedang berdiri di hadapanku dengan senyum cerah di wajahnya.

Sedikit menyipitkan mataku untuk mengingat-ingat, aku langsung balas tersenyum setelah berhasil mengingat dengan sangat jelas siapa pria ini. "Mas Rezky?"

Laki-laki di hadapanku langsung menganggukan kepalanya. Dan juga tersenyum semakin bahagia. "Iya. Ternyata kamu nggak lupa sama aku ya Rina."

Aku masih tersenyum, lalu ikut memberikan anggukan kepalaku. "Iya Mas. Ingat. Maaf ya kalau tadi agak lama nyadarnya. Soalnya udah lama banget nggak ketemu, jadi pangling sama Mas Rezky sekarang."

Rezky Pramurindra, dia adalah kakak kelasku dulu saat SMA.

Mas Rezky mengangguk, dan masih tersenyum cerah sekali ke arahku. "Sama. Tadi aku juga merhatiin dulu, kamu benar Rina adik kelasku atau bukan. Ternyata bener. Nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini?"

Aku mengangguk lagi. "Iya Mas. Mas Rezky apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Rin. Kamu apa kabar? Sekarang tinggal di Semarang?"

"Iya Mas. Alhamdulillah, aku juga baik. Enam tahun lalu, Mas Rama pindah tugas ke sini. Jadi aku ikut."

"Wah, udah jadi orang Semarang ya sekarang?"

"Begitulah Mas. Mas Rezky ada acara apa di sekolah El?"

Mas Rezky menundukan kepalanya, lalu melihat ke arah Elysia yang sampai saat ini masih asik sekali memakan donat di tangan kanannya. "Jadi, El itu anakmu Rin?"

Aku mengangguk kembali. "Iya Mas"

"Pantesan, tadi, waktu pertama kali lihat El, aku kaya nggak asing gitu sama wajahnya. Ternyata anakmu. Soalnya El mirip banget sama kamu Rin."

"Banyak yang bilang gitu Mas."

"Cerewetnya juga sama ya," ucap Mas Rezky dengan kekehan pelannya.

Aku ikut terkekeh juga. Karena ucapan Mas Rezky memang benar adanya.

"Iya Mas. Banget. Jadi maaf ya kalau tadi El banyak tanya-tanya. Oya, Mas Rezky belum jawab pertanyaanku tadi. Mas Rezky ada acara apa di sekolahnya El? Terus, kok bisa bareng sama El di sini?"

"Tadi, sekolahnya El pakai bis dari tempatku buat acara di Cimory. Terus kenapa bisa bareng El, karena tadi aku gemes lihat ada anak gadis main ayunan sendiri. Jadi aku samperin, terus aku tawarin donat, eh dia mau," cerita Mas Rezky cukup panjang sambil tetap memberikan tatapan lekatnya ke arah Elysia.

"Pantesan tadi El bilang dikasih donatnya sama Om yang punya bis."

Mas Rezky tertawa lalu mengalihkan pandangannya ke arahku lagi, "El bilang gitu?"

Aku langsung menganggukan kepalaku, "Sekarang, Mas Rezky buka biro perjalanan?"

"Iya Rin. Baru merintis sekitar dua tahun ini."

"Wah sukses ya Mas. Semoga lancar dan barokah untuk semua usahanya."

"Aamiin. Makasih ya Rina."

Aku mengangguk lagi. Dan memberikan senyumanku untuk Mas Rezky.

Tiba-tiba, Elysia menarik tanganku supaya aku melihat ke arahnya. "Ma, donatnya udah habis. Jadi El minta tisu, Ma. Soalnya tangan El kotor kena coklat."

Aku langsung terkekeh melihat bagaimana wajah dan tangan putriku yang saat ini jadi sedikit kotor karena terkena coklat.

"Wah maaf ya Rina, El jadi belepotan begitu," ucap Mas Rezky kentara sekali sedang tak enak hati.

"Nggak papa Mas, santai aja. Aku yang makasih karena tadi Mas Rezky udah nemenin El sama ngasih donat juga."

"Sama-sama Rina."

Aku kembali menundukan kepalaku ke arah Elysia. "El bersihin tangannya di mobil aja ya? Soalnya Mama lupa nggak bawa tisu di tas."

Elysia langsung mengangguk tanda setuju. Jadi aku segera mengusap puncak kepala Elysia, sebagai tanda bahwa aku bangga dan berterimakasih kepada putriku.

"Sekarang, El pamitan dulu ya sama Om Rezky. Dan jangan lupa bilang makasih juga ya sayang."

Mendengar nasihat dariku, Elysia langsung menurut dan mengangkat wajahnya untuk menatap Mas Rezky.

"Om Eky," panggil Elysia lucu sekali.

"Om Rezky, sayang," selaku, untuk membenarkan panggilan dari putri kecilku.

"Om Eky aja Ma, biar gampang."

Mas Rezky terkekeh, lalu berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan Elysia. "Iya. Buat El, nggak papa kalau panggilnya Om Eky."

Elysia langsung tersenyum sumringah sekali. "Om Eky, makasih ya tadi udah nemenin El main ayunan. Makasih juga buat donat coklatnya, El suka."

"Sama-sama El," jawab Mas Rezky sambil memberikan usapan lembutnya di rambut panjang milik Elysia.

"El pamit pulang dulu ya Om."

"Iya El, hati-hati ya."

Kini, Mas Rezky sudah kembali berdiri di hadapanku. Tak lupa dengan senyum cerah yang sejak tadi ia tunjukan kepadaku.

"Aku sama El pamit pulang dulu ya Mas. Sekali lagi terimakasih."

"Sama-sama Rina."

"Dahhh Om. El pulang dulu ya."

Aku menganggukan kepalaku, sedangkan Elysia melambaikan tangannya dengan sangat riang gembira, yang dibalas lambaian tangan juga oleh Mas Rezky.

*****

"Ada kalanya, apa yang kita kira telah berakhir sejak lama, kini justru seperti hadir kembali dan ingin menyapa"

- Rina -

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status