"Mbak—serius? Mbak ketemu sama Bang Reno? Dimana? Kapan?""Iya, Mbak ketemu sama Mas Reno." Aku menganggukkan kepala. Tentu saja aku berkata benar. Untuk apa aku berbohong? Kafka menatapku serius, dia memperbaiki posisi duduk. Aku menghela napas pelan. Pasti dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada kehidupan Mas Reno juga terutama Rini. "Mbak udah ngobrol atau cerita apa aja sama Bang Reno? Ada Rini gak?"Mendengar itu, aku tertawa pelan, membuat Kafka mengernyitkan dahi, mungkin dia bingung kenapa aku malah tertawa. "Kamu lucu, Kaf. Bilangnya udah ngelupain Rini, bilangnya udah gak peduli lagi sama Rini. Kamu bahkan mau cari wanita lain yang bisa diterima oleh Mama, tapi apa? Saat Mbak bilang ketemu sama Mas Reno tadi, yang kamu tanyain pertama kali dan ini paling utama adalah Rini. Lucu." Adikku itu langsung mengatupkan mulutnya. Dia baru sadar kalau baru saja menyebut nama Rini di hadapanku. Padahal awalnya dia bahkan sudah bilang sudah mulai melupakan Rini. "Kan ber
"Kenapa, Mbak? Siapa?" tanya Kafka berbisik penasaran. "Nanti malam jadi gak ya?" Nanti malam? Aku kembali mengingat apa yang dikatakan oleh Mas Fajar tadi, karena suamiku itu sudah izin juga tadi. Ah, dia akan bertemu dengan klien wanita nanti malam. Penting katanya. Wanita yang aku tau wajahnya, aku memang pernah melihat wanita itu. "Halo, Fajar, ini benaran nomornya kan? Gak salah?""Halo, ini istrinya. Maaf, Mas Fajar lagi sibuk. Nanti saya sampaikan ke Mas Fajar, ada yang perlu disampaikan?"Kali ini, wanita di seberang telepon yang terdiam mendengar suaraku. Kenapa dia? Apakah dia juga mengenali suaraku?"Oh, istrinya ya? Saya kira Fajar belum menikah. Gak ada, saya mau konfirmasi saja untuk nanti malam, apakah Fajar bisa bertemu dengan saya atau tidak.""Nanti ya, saya tanyakan dulu ke suami saya.""Yaudah, maaf ya Mbak. Saya matiin dulu teleponnya." Aku menghela napas pelan, telepon sudah dimatikan. Kemudian menatap Kafka yang penasaran sekali dengan wanita yang baru saja
"Ah, dia temen kerja aku, Sayang."Mas Fajar buru-buru menjelaskan padaku. Aku menghela napas pelan, kemudian menganggukkan kepala kepada wanita itu. "Sayang? Kamu udah punya istri, Jar? Ganteng, muda kayak gini? Kaya lagi, kenapa udah nikah aja? Wah, sayang banget."Apaan sih nih cewek? Nyari ribut sama aku, hah?! Dia gak tau siapa aku? Suamiku langsung memegang tanganku, kemudian menggelengkan kepala. Iya, aku tau jangan sampai membuat keributan di sini, tapi ini menyebalkan sekali. Kenapa juga aku harus bertemu dengan wanita ini sih? Harusnya aku tidak usah ikut saja tadi untuk menghindarkan sakit hati. Aku menghela napas kesal. "Kan saya udah pernah bilang, saya udah punya istri. Jangan ganggu saya lagi. Maaf banget, saya ada pertemuan penting. Permisi."Mas Fajar menggandeng tanganku. Kami masuk ke dalam restoran. Sungguh, aku terkejut sekali dengan perkataan Mas Fajar tadi. Dia berani mengatakannya ke rekan kerjanya?"Kamu kayaknya terkenal banget ya, Mas. Kamu berarti boho
"Mantan istri nya Reno?" gumamku sambil mengernyitkan dahi bingung. Aku menoleh ke Mas Fajar yang menggelengkan kepala. Mas Fajar juga seperti nya tidak tau kalau wanita ini ternyata mengenaliku. "Maaf ya, kamu tau dari siapa kalau saya adalah mantan istri nya Reno? Dan itu masa lalu, tolong banget jangan bawa ke masa sekarang." Aku menatap nya kesal. Sudah lah kalau begini, aku merasa tidak dihargai. Bukan nya membahas soal pekerjaan, dia malah membawa-bawa masa lalu. "Loh kenapa? Kan saya hanya bilang tentang kamu mantan istri nya Reno. Kenapa kamu seperti tidak terima begitu? Kan memang itu fakta nya."Hampir saja aku menimpuk wanita ini dengan sesuatu. Dia sangat menyebalkan. Kenapa sih wanita ini? Dia ada masalah hidup apa hah denganku?!Kalau bisa, aku mengajak nya untuk bertengkar sekarang. Sudah lah, aku sudah tidak ada mood lagi untuk menemani Mas Fajar di sini. Aku hendak pergi saja dari sini. "Sayang." Mas Fajar mengelengkan kepala nya. Dia tersenyum padaku, berusaha m
"Awas aja kamu! Kamu gak akan bisa lepas dari aku!"Oh ya?! Coba saja."Aku ingin tau apa yang bisa kamu lakukan. Silakan lakukan saja. Ingat, Mas Fajar milikku. Dia gak akan pernah kegoda sama wanita kayak kamu."Aku tertawa pelan, kemudian melangkah meninggalkan wanita menyebalkan itu. Aneh-aneh saja dia. Dia kira aku ini masih wanita bodoh hah?! Aku tidak kenal sih dia siapa, tetapi aku bisa pastikan, dia mencintai Mas Fajar dan berusaha untuk mendapatkan Mas Fajar. Maka sebelum itu semua terjadi dan aku terlambat, aku harus menjauhkan wanita menyebalkan dulu dari kehidupan Mas Fajar. "Kamu dari mana aja, Sayang? Lama banget. Yuk kita pulang aja."Aku menganggukkan kepala pada Mas Fajar. Ya, aku tidak akan pernah memberikan celah sedikit pun pada wanita lain untuk mendekati suamiku. ***"Kita pagi ini juga, Mbak?" tanya Kafka sambil mengambil makanan yang sudah jadi di atas meja."Iya hari ini, kenapa? Kamu gak bisa?" tanyaku membuat Kafka menggelengkan kepala nya. "Tentu aja
"Wah ngaco ini. Buang aja, Kafka."Mas Fajar langsung menyuruh Kafka untuk membuang kotak itu. Adikku itu menganggukkan kepala, tanpa pikir panjang langsung membuang kota tersebut. "Sayang." Mas Fajar langsung memelukku. Isak tangisku jadi pecah. Aku takut sekali. Bukan karena takut dengan ancaman itu, tetapi aku lebih takut lagi kalau terjadi sesuatu dengan keluargaku. Mas Fajar mengusap rambutku. "Hei, Mas ada di sini. Kamu gak perlu takut, oke? Ada banyak banget yang jagain kamu di sini. Jadi, kamu gak perlu takut, Sayang."Aku menatap Mas Fajar, kemudian mengusap perutku, entah kenapa aku justru takut terjadi sesuatu pada anakku juga. "Udah, jangan mikir yang aneh-aneh lagi, Sayang. Mas selalu ada buat kamu kok. Kamu gak perlu khawatir ya. Di sini, Mas yang bakalan selalu jagain kamu. Oke?"Ah, bagaimana aku bisa percaya pada Mas Fajar? Aku takut sekali. "Sudah Mbak. Itu cuma ornag iseng yang ngirimin Mbak. Dia itu cuma iri sama kehidupan kita. Jadi gak perlu ditanggapi."
"Mama! Ma, bangun, Ma!"Aku menoleh ke Mas Fajar yang mengusap lenganku, aduh aku jadi berpikiran buruk di dalam. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam sana?"Coba Mas masuk sebentar buat ngecek ya, Sayang." Mas Fajar juga tampak khawatir. "Iya, Mas. Kamu cek aja ke dalam, siapa tau memang terjadi sesuatu. Hati-hati, Mas." Mas Fajar menganggukkan kepalanya, dia menoleh ke Kafka. "Titip Mbak kamu sebentar, Kafka. Sekalian minta tolong jagain Raja. Jangan sampai kenapa-napa ya." Kafka dengan mantap mengangguk, dia sudah biasa dititip seperti itu. Meskipun Mas Fajar sudah masuk ke dalam, tetapi aku tetap saja khawatir. Ingin sekali aku masuk ke dalam sana, tetapi mau bagaimana lagi, kan gak mungkin juga aku masuk ke sana. "Udah, Mbak tenang saja di sini. Kan Mas Fajar juga lagi ngecek ke dalam. Nanti malah kenapa-napa kalau Mbak ikutan masuk." Kafka menggelengkan kepalanya, dia melarang aku untuk ikut masuk ke dalam. Baik lah kalau begitu, aku tidak diperbolehkan masuk oleh Kafka. D
"Innalilahi wa innailaihi rojiun." Aku menundukkan kepala mendnegarnya. Sebenarnya aku memang sudah menduga sejak awal, tetapi tadi aku berharap ada keajaiban yang datang, ternyata tidak ada sama sekali. Entah lah, tidak ada lagi keajaiban itu. Aku mengusap wajah berkali-kali. Kasihan Rini, kasihan juga Reno, meskipun kami tidak tau dia ada di mana sekarang. "Mas masih menyuruh orang suruhan Mas untuk mencari Reno. Semoga saja dia segera ditemukan."Semoga saja. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan Mas Fajar. Suamiku banyak sekali membantu di situasi seperti ini. "Boleh aku ke tempat Rini, Mas?" tanyaku pelan. Aku kasihan sekali melihat remaja itu terduduk sambil terisak. Kafka juga tampak sedih, tetapi dia tidak tau mau bagaimana. Dia tidak mungkin mendekati Rini dan memeluknya. Maka nya, seharusnya aku yang menenangkan remaja itu. "Boleh, Sayang. Hati-hati ya, jangan sampai kamu juga ikutan sakit, oke?" Mas Fajar berusaha untuk membujuk aku. "Iya Mas, makasih banyak.