"Kamu apa-apaan, sih, Nina? Sampai malam kita nungguin transferan dari kamu. Gak dikirim juga uangnya."
Aku menoleh. Menatap Mas Reno yang marah-marah. "Malu-maluiin." Mama meletakkan tas sembarang tempat. "Aduh, tadi ada temanku, apa kata mereka liat tadi gak bisa bayar makanan." Rini ikut bergumam. Wajah mereka terlihat menanggung malu. Sambil menyapu, aku diam-diam tersenyum. Memangnya enak makan tanpa bisa bayar."Jangan makan di restoran kalau gak bisa bayar," gumamku. "Kamu tadi katanya mau transfer. Kamu gimana, sih, Nin? Aku capek lama-lama kayak gitu. Pusing." Mas Reno mengacak rambut. Dia ikut duduk di sebelah Mamanya. Ah, bisa dibayangkan wajah bingung mereka tadi. Diam-diam, aku tersenyum. Sok-sokan makan di restoran mahal, tapi gak bisa bayar. Maunya enak, tapi gak mau usaha. Mau pakai uangku? Maaf saja, tidak akan lagi. Sudah cukup yang dulu. Aku"Mau minta makan, minta uang. Minta semuanya."Pria tanpa tahu malu itu langsung masuk begitu saja. Aku menggeram pelan. Benar-benar tidak punya urat malu."Kemana semua uang yang kamu ambil dari dompet Mbak, hah?! Habis?"Ya ampun, hidupku benar-benar dipenuhi oleh orang pencari masalah, juga penghabis uang.Dia adalah Kafka. Adik angkatku yang sejak dulu kerjaannya hanya menghabiskan uang saja. Dia baru saja pergi satu bulan yang lalu. Katanya tidak betah di sini."Aw. Ada benalu rupanya." Langkah Kafka terhenti di dekat meja makan.Tidak sadar diri kalau dia sendiri benalu. Aku mengusap wajah. Kalau mereka disatukan, semakin kacau dunia."Aku ke kamar dulu." Kafka melewatiku begitu saja."Kenapa adek kamu sampai pulang, sih?" tanya Mas Reno kesal."Mana kutahu."Aku mengangkat bahu, memilih untuk pergi ke kamar.
"Serius? Kamu gak bohongin Mbak kan? Mbak gak suka kalau kamu bohong, ya.""Serius, Mbak. Kafka janji, deh."Mataku menyipit. Bagaimana caranya agar Kafka bisa dipercaya?"Kalau buat surat perjanjian, kamu tanda tangan mau gak?"Kafka diam sejenak. Beberapa detik, dia menganggukkan kepala. Seolah sedang menantangku."Oke. Siapa takut. Yang paling penting, aku udah janji bakalan bantuin Mbak."Ya. Terserah dia sajalah. Aku masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Kafka, membawa berkas yang tadi diberikan orang kepercayaanku masuk ke dalam."Berkas apaan itu, Nina?"Langkahku terhenti mendengar perkataan mertuaku. Untung saja bukan Mas Reno. Aku sudah mempunyai tempat penyimpanan rahasia."Nina? Jangan jadi patung." Mama tampak gemas menatapku."Bukan urusan Ma
"Nyebelin banget. Untung gak sampai dipanggilin satpam."Aku menoleh. Keluarga Mas Reno sudah masuk ke dalam rumah. Mereka baru kembali dari acara pesta itu.Entah pesta apa. Sepertinya berakhir memalukan."Aku pergi dulu."Kami menoleh ke Mas Reno yang beranjak. Mataku menyipit, dia mau kemana? Padahal, ini sudah beranjak malam."Mama ikut.""Rini juga ikutan."Aku hanya melirik mereka sekilas. Paling juga jalan-jalan. Terserah mereka saja. Kafka datang, dia membawa makanan, kemudian meletakkan ke atas meja."Mbak, apa yang buat Mbak bertahan sama si Reno itu? Ditambah keluarganya lagi. Ih, kalau aku gak betah.""Harta." Aku menjawab pendek.Kafka mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia seperti mengerti saja."Rumahnya keluargany
"Kamu jual rumah itu, Nin?"Suara Mas Reno terdengar menggema di ruangan. Aku mengangguk singkat, padahal baru saja sampai di rumah.Sudah disambut saja dengan kemarahan mereka."Menantu kurang ajar. Maksud kamu jual rumah itu apa, hah?! Mau nunjukin kalau kamu yang punya?""Nutupin biaya lahiran."Aku melirik Mas Reno. "Gak bisa bayar, kan?"Mendengar itu, mereka langsung terdiam. Aku mengangkat salah satu sudut bibir."Tapi gak jual rumah itu juga, Nina. Terus Mama sama Rini mau tinggal di mana?""Rumah kecil.""Tega. Parah banget. Udahlah, kamu itu harusnya gak sama si Nina lagi. Mama pusing lihat kamu sama dia."Terlihat wajah Mas Reno tertekuk. Aku melirik Kafka yang mengacungkan kedua jempolnya. Dia juga iku
"Surat apaan itu?"Ya ampun. Aku buru-buru menoleh. Mama Mas Reno kenapa pakai acara bangun segala, sih? Menyebalkan sekali.Aku menoleh ke Kafka yang menganggukkan kepala. Adikku itu langsung mendekati Mama Mas Reno."Kafka ada sesuatu, lho.""Sesuatu apaan?" tanya Mama Mas Reno sambil mengalihkan pandangan. Jangan sampai semuanya ketahuan sebelum waktunya. Aku mengembuskan napas pelan, Mas Reno menahan tangannya, juga menahan kantuknya."Ikut Kafka, deh."Mereka menghilang dari pandangan. Aku memejamkan mata sejenak, kemudian kembali menatap Mas Reno."Ayo, Mas. Tanda tangan sekarang.""Harus sekarang, ya?" Mas Reno menguap. "Gak bisa besok aja?"Eh? Aku langsung memegangi Mas Reno yang hampir saja tidur bersandar.Dia seperti orang yang sudah k
"Hah? Masalah apaan?" tanyaku sedikit khawatir."Butik cabang kedua berantakan, Bu. Ada yang habis membuat rusuh katanya.""Siapa?"Orang kepercayaanku itu menyebutkan satu nama. Aku mengusap kening."Saya langsung kesana sekarang."Memang benar-benar. Aku langsung tancap gas ke butik, memundurkan janji dengan pengacara.Ponselku berdering beberapa kali. Ah, itu bisa diurus nanti-nanti saja. Aku menginjak rem, langsung keluar dari mobil. Memang sedikit kacau.Mataku menyipit. Siapa yang membuat rusuh di sini? Astaga, benar-benar meresahkan."Siapa yang melakukannya?""Maaf, Bu. Kami juga tidak tahu. Dia memakai pakaian hitam-hitam, juga bertopeng."Aku langsung masuk ke ruang keamanan, melihat rekaman CCTV. Seorang pria kalau dari ukuran tubuhnya.
"Buset. Pasti pedas banget itu."Kami mengintip dari balik dinding. Beberapa detik, aku mengangkat bahu. Memilih untuk melakukan hal lain."Mau kemana, Mbak?""Kamar. Kenapa?"Kafka menganggukkan kepala. "Gak papa.""Piringnya jangan lupa suruh mereka cuci."Adikku itu mengacungkan jempol. Dia masih saja mengintip hal tidak penting itu.Sampai di kamar, aku berhenti sejenak ketika mendengar suara ponsel Mas Reno berdenting pelan. Ponselnya ternyata ditinggal di kamar.Ah, kesempatan bagus. Ada yang meneleponnya tadi, tapi tidak terangkat.Aku mencoba membuka sandinya, tapi ternyata sudah diganti. Entah apa. Aku mengusap dahi, meletakkan ponsel itu kembali.Denting pelan kembali terdengar. Buru-buru aku mengambilnya.
"Hah?! Bercerai?"Mama dan Papa bahkan berteriak. Aku menghela napas pelan, sudah tahu apa reaksi mereka."Iya. Bercerai.""Tapi kenapa, Nina? Bukannya kamu baru saja melahirkan? Bukannya—""Ada sesuatu hal, Ma. Bukan hanya soal anak, tapi ini soal semuanya.""Apa? Cerita ke Mama sama Papa. Siapa tahu kamu bisa bantu."Meskipun Mama dan Papa terlihat tidak setuju, tapi mereka menyimak dengan baik ceritaku.Sesekali, aku mengembuskan napas pelan. Tentang semuanya, tentang apa yang belum diketahui oleh Mama dan Papa."Astaga. Si Reno benar-benar! Biar Papa datangin dia. Cuma bisa jadi benalu aja. Papa kira, dia benar-benar menafkahi kamu."Aku melebarkan mata, buru-buru menahan Papa yang sudah beranjak dengan kemarahan di wajahnya."Apa lagi?