Sudah hampir jam setengah sembilan. Hujan bertambah deras. Kuputuskan untuk mencari Vania. Setelah mengenakan mantel plastik yang sudah sedikit robek, aku nekat menerobos hujan dengan motor. Kususuri jalan dengan pelan. Siapa tau Vania sedang berteduh di suatu tempat. Sesekali kuperhatikan juga mobil yang lewat. Yang kuingat, mobil Bella berwarna putih dengan tempelan stiker bertuliskan Baby Bella.Tak lupa aku selalu berhenti di tempat-tempat yang dulu senang ia kunjungi. Tujuan pertamaku adalah restoran seafood langganan kami dulu. Setelah turun dari motor, aku bergegas masuk. Suasana di dalam sangat ramai. Pemilik restoran yang mengenaliku, langsung menyapa. Pria yang kupanggil Koko itu lantas mendekat."Lho, Bang Dani? Sudah lama gak mampir. Mau pesan apa, Bang?" tanyanya, terlihat senang melihatku. Karena dulu aku selalu royal saat makan di sana."Bukan mau makan, Ko. Saya lagi cari Vania. Tadi ada mampir di sini tidak?" jawabku sedikit malu-malu."Ohhh Vania! Tidak ada. Seingatk
Brak!Kakiku melayang tanpa sadar, menendang pintu kamar mandi dengan kuat."Vania!" teriakku menggelegar.Dua insan yang tadinya saling berdekapan, langsung melepaskan diri. Wajah Vania pucat, sementara si lelaki terlihat kebingungan."Baâbang Dani?!" cicitnya dengan suara yang sedikit tertahan. Wajahnya pias, seperti kehilangan darah.Kudekati mereka berdua dengan tatapan nyalang. Tanpa ba bi bu, langsung kutarik kerah baju lelaki yang masih berdiri di samping Vania.Bukk! Bukk!Tinjuku melayang membabi buta. Vania langsung berteriak histeris. Lelaki itu mencoba melawan dan melepaskan diri. Entah dari mana asalnya tenagaku, tapi ia tak bisa berkutik sama sekali. Badannya terhuyung, jatuh ke lantai granit yang dingin."Berhenti! Berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Vania sambil mencoba menarik tanganku. Kutepis tangannya hingga tubuhnya terdorong lalu terjengkang. Lelaki di bawahku menggeliat, mencoba untuk melepaskan diri. Aku masih menghujaninya dengan bogem."Tolongg! Tolong! Toloooo
Perlahan kubuka mata. Seluruh badan terasa remuk dan sakit. Sejak kapan aku tertidur di lantai dapur? Kuangkat kepala yang rasanya berat, lalu duduk bersandar di dinding. Ternyata sudah pukul tujuh pagi. Sudah terlalu terlambat untuk berangkat kerja. Aku mendesah. Aku akan meminta izin kepada Pak Wira nanti.Kenapa hidupku jadi kacau begini? Teringat kembali peristiwa semalam, rasa sesak kembali hadir di dada. Sesakit inikah rasanya dikhianati? Dulu aku menganggap orang-orang yang patah hati terlalu berlebihan. Namun kini, aku sangat paham seperti apa rasanya.Sedikit terhuyung aku beranjak, lantas berlalu ke kamar. Kubuka pintu pelan, takut akan membangunkan Vania. Ia pasti masih terlelap sekarang. Namun alangkah terkejutnya, saat tak kudapati sosoknya di sana. Kudapati kamar mandi dan seluruh ruangan dalam keadaan kosong."Vania!" panggilku lantang. Bahkan di halaman belakang pun tak kutemukan sosoknya.Kucek pintu depan yang sudah dalam keadaan tak terkunci. Vania pergi? Sejak kapa
Ruang tamu berukuran 3x4 itu menjadi hening seketika. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar."Da-Dani ... kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan, Dan?" bisik Papa dengan wajah memucat.Aku menghela napas."InsyaAllah, Dani sadar, Pa. Maaf, selama ini belum bisa membimbing Vania dengan baik," ujarku sambil memandang Vania yang tampak meremas ujung bajunya."Ya, baguslah! Berarti Vania segera akan bebas darimu! Kamu senang kan, Sayang?" Mama mengusap-usap kepala putrinya yang sedari tadi tertunduk."Papa tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Salah Papa juga, dulu tidak mendidik Vania dengan tegas!" Papa mengusap wajahnya kasar. Matanya tampak memerah."Papa apa-apaan sih! Harusnya kita justru senang. Lagi pula, kalau keadaan mereka terus-terusan begini, kasihan Vania! Nafkahnya tidak tercukupi. Kalau pun Dani tidak mentalak Vania, Mama akan suruh dia menggugat cerai!"Wajah Papa tampak memerah."Vania akan menjadi janda, dan Mama malah senang? Mama tau makhluk apa yang tert
Kadang, bagian terberat dari perpisahan bukanlah melepaskan ... tapi, melupakan semua kenangan yang tercipta dari setiap detik yang dilalui bersama.Berapa banyak orang yang gagal untuk melupa? Berapa banyak yang tetap mencintai dalam diam, meski raga sudah tak lagi bersama? Jawabannya, banyak, ada banyak. Mereka, tetap setia dengan ingatan-ingatan indah tentang orang-orang yang dikasihi.Aku, sepertinya akan menjadi salah satu yang gagal dan menolak untuk lupa. Meskipun kata perpisahan itu keluar dari mulutku, tapi rasa cinta yang besar tak berkurang barang setitik pun. Vania, mungkin aku terlalu mencintainya. Salahkah? Kalian anggap aku lemah? Tidak apa-apa. Masalah perasaan, bukanlah hal sepele. Bahkan, seorang Napoleon pun bisa patah hati.Mataku terpejam sesaat, tanpa menyadari bahwa aku sedang berada di atas motor menyusuri jalanan yang padat. Sepertinya, aku terlalu lelah. Tubuhku terasa seperti melayang. Ringan, seperti kapas. Ah, nyaman sekali. Biarlah kupejamkan saja mata.K
Wajah Vania pucat pasi. Sedangkan Mama salah tingkah dan tampak gelisah. Aku dan Kak Fitri menghalangi pintu kamar. Jangan sampai mereka coba-coba kabur. Beberapa detik kemudian, Mama menyembunyikan tangan di belakang badannya yang tambun."Apa yang kalian ambil?" tanyaku sambil memandang kedua orang itu tajam."Aâapa? Vania cuma ambil baju, kok!" jawab Vania berkilah. Dia pikir aku bodoh. Kak Fitri tergelak."Baju? lantas apa yang disembunyikan Mama di tangannya?" Aku mendekat. Mama dengan cepat mundur, merapatkan badannya ke dinding."Tiâtidak ada apa-apa! Jangan mendekat kamu, Dani!" usir Mama. Aku tak menggubris."Kalau tidak mau diapa-apakan, cepat serahkan apa yang sudah Mama ambil!" titahku. Vania melirik Mama, lalu mengangguk. Wajahnya mengisyaratkan sesuatu."Tidak, tidak akan kuserahkan!" tolaknya."Oh, begitu? Mau kupaksa, Ma?" kataku sambil terus mendekat."Jangan kurang ajar kamu, Dani! Awas kalau berani menyentuhku, akan kulaporkan ke polisi!" ancam Mama.Aku seketika te
Setelah mengobrol, ternyata kami tahu bahwa Kak Fitri adalah kakak tingkat sekaligus teman satu kosan dengan Tyas, saat mereka kuliah di Padang. Keduanya sangat dekat dan aktif terlibat dalam organisasi yang sama.Setelah kehilangan kontak selama bertahun-tahun, ternyata takdir masih mempertemukan mereka. Siapa sangka dunia begitu sempit? Seperti kata Pak Wira dulu. Kalau Tuhan sudah berkehendak, ikan yang berada di lautan akan bertemu dengan kera yang berada di gunung. Kira-kira begitulah.Aku dan Pak Wira akhirnya meneruskan obrolan di kursi teras, sementara para wanita kasak kusuk di belakang. Entah apa yang mereka bicarakan, sekali-kali terdengar tawa renyah mereka. Heboh sekali."Mas Dani, istrinya kok gak kelihatan?" tanya Pak Wira tiba-tiba. Mungkin ia heran karena sedari tadi tak ada wanita yang kuperkenalkan sebagai istri.Aku terdiam sejenak, lantas tersenyum miris. Teringat Vania, rasanya dadaku kembali nyeri dan tersayat."Istri saya ... saya kembalikan kepada orang tuanya
(PoV Mama)Semua orang tua di dunia ini, pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tak ada satu pun orang tua yang mau melihat anaknya hidup susah. Termasuk aku, ingin melihat anak-anakku bahagia dan sukses. Aku akan senang dan bangga jika hidup anakku bergengsi dan bergelimang harta. Hidup itu keras, kamu harus memilih agar mendapatkan kehidupan yang layak dan mudah. Sudah tidak jaman hidup susah dan kerja keras. Jika bisa hidup senang dengan mengandalkan orang lain, kenapa tidak?Aku pun, sejak muda sudah pilih-pilih suami. Begitulah tuntutan menjadi perempuan. Karena dibesarkan dari keluarga miskin, akhirnya aku muak dan bertekad untuk tidak lagi hidup susah di masa depan. Dulu, aku adalah kembang desa. Banyak pemuda yang berusaha merebut hatiku. Beberapa di antaranya merupakan juragan atau pun pengusaha.Namun entah mengapa, hatiku tercantol pada seorang abdi negara dengan gaji pas-pasan. Yah paling tidak, aku bisa hidup sederhana meskipun tidak mewah. Kadang terbersit rasa