"Bawa masuk saja Fiona kedalam kamar, Yas." suara barinton milik Ayah terdengar ditelinga. Memaksa aku menghentikan, sengatan tanganku.
Mas Yasir meringis, saat aku melepaskan tangan. Lalu mengusap- ngusap pipinya yang terlihat memerah sebab ulahku. "Ish ... sakit tahu," rengeknya dengan bibir yang mencucut, sangat menggemaskan."Biarin! Wee ..." ucapku sambil menjulurkan lidah.Mas Yasir, menyipitkan mata menatapku tajam. "Jahat kamu, awas aja!" ancamnya.Tak kuhiraukan ucapannya, tanganku meraih sendok, menyendok nasi goreng lalu memasukkannya kedalam mulut."Maklum pengantin baru ..." goda Ayah, sambil melirik Bik Inah. Bik Inah hanya terkekeh melihat expresi Ayah, yang menurutku menyebalkan itu."Sarapan, Tuan?" tanya Bik Inah sopan."Iya ... mau nasi goreng juga, seperti Fio." jawab Ayah, sambil menarik kursi yang ada didepanku."Ayah belum sarapan?" tanyaku setelah menelan nasi goreng yangPov Mas Yasir.Alhamdulillah, wasyukurilah.Allah selalu memberi kemudahan, setelah kesulitan. Percayalah, bahwa pertolongannya begitu dekat.Setelah sadar dari tidur panjang, hanya ada satu nama yang muncul dikepala. Dialah Fiona, seorang wanita dingin berwajah jelita. Yang mampu membuat hati berdebar-debar ingin segera memilikinya.Kepala berdenyut hebat, ingatanku tertuju pada sorot mata yang menghunus perutku dengan belati. Alis tebal dengan bulu mata panjang, seperti pernah melihat, namun entah dimana.Acara pernikahan berjalan dengan lancar, tak henti kupanjatkan doa pada Tuhan serta shalawat kepada Nabi besar kami. Ibu menangis haru, meski air mata menetes dipipinya, namun raut wajahnya menyimpan kebahagiaan.Setelah tiga hari tinggal dirumah Fiona, kini giliran dia yang tinggal dirumahku. Ayah menemani perjalanan kami, khawatir dengan kondisiku yang bisa dibilang belum membaik ini.Keluargaku menyam
"Sudah sana panggil Fiona, kita masak sama-sama, biar lebih akrab dan dia tidak canggung ada dirumah ini." lanjutnya sambil bangkit dari duduk, meninggalkan aku dengan rasa penasaran yang mengganjal dihati.Tercenung sendiri, mata beralih pada bingkai besar foto keluarga kami. Senyum tipis diwajah Ayah, terlihat muram dimataku.Pasti ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh, Ibu. Aku bahkan baru tahu, fakta yang selama ini tersimpan rapi tanpa celah.Saat itu .., ketika aku sedang mencoba jas untuk acara pernikahan. Ibu menatapku sendu, dengan air mata yang menganak sungai. Kukira itu adalah suatu hal yang wajar, mengingat keinginan Ibu, untuk aku menikah sudah ada didepan mata."Yas ..." lirih suara Ibu, ada rasa ragu saat dia ingin melontar kata."Kenapa, Bu?" tanyaku sambil berjalan mendekatiny
Fiona membuka jendela kamar, angin malam langsung berhembus menerpa wajah cantiknya. Rambut hitam panjangnya dia biarkan terurai, terpaan angin membuat rambutnya menari-nari diudara.Sungguh, satu ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.Dari tatapan mata bening itu terlihat kosong, seolah menerawang jauh, entah apa yang tengah difikirkan oleh pemilik hatiku ini. Ingin bertanya, namun lidah ini begitu kelu. Untuk pertama kali dalam kebersamaan kami, aku melihatnya seperti ini."Sayang ..." ragu, aku bersuara.Fiona menoleh, dan melempar senyum termanisnya."Apa ada yang mengganggu, fikiranmu?" ucapku hati-hati.Fiona mendesah lelah, dan menggelengkan kepalanya."Kamu tidak nyaman tinggal disini?" lagi aku bertanya."Nyaman." ucapnya. "Ibumu, sungguh baik padaku. Aku sangat diperhatikan," Fiona bicara dengan tatapan yang entah kemana."Apa lagi Putri, dia sangat menghormatiku." sambungnya.
Sepanjang perjalanan, tangan halus Fiona menggenggam jemariku, seolah memberikan aku ketenangan dan kekuatan. Jujur saja, aku sedikit gemetar mengingat kejadian itu. Entah apa motif dari pelaku, entah dia ingin merampokku atau bisa jadi ingin membunuhku.Dengan hati yang berdebar aku dan Fiona menuruni mobil, melangkah lebar mengikuti langkah dua Polisi tadi."Silahkan, Pak." Polisi dengan kumis tebal dan perut sedikit maju, menunjuk kursi didepan meja, yang penuh dengan berkas dan satu buah laptop."Agak jauh dari lokasi kejadian. Didepan pabrik terdapat cctv yang menangkap wajah tersangka tengah menembak pistol keudara saat warga berusaha mengejar pelaku. Ini dia Pak, mungkin Pak Yasir mengenal orang ini." Polisi mendekatkan layar 14inci didepanku, terlihat walau tidak terlalu jelas wajah penjahat yang sudah menyerangku."Plat mobil itu palsu, jadi kami tidak bisa melacaknya."jelas polisi, saat mempertegas gambar nomer plat mobil.
Pov Ibu.Rasa cemas mendera jiwa, memikirkan nasib pernikahan Yasir.Untuk yang kedua kalinya dia gagal urusan percintaan. Dari cinta yang dia perjuangkan kandas ditengah jalan, hingga perjodohan yang batal begitu saja.Rasa bersalah kian menjadi, mengingat aku yang memaksanya untuk segera menikah dengan pilihanku. Harapku, semoga Yasir segera menemukan jodohnya.Akhir-akhir ini, aku perhatikan Yasir sering sekali pergi kerumah Mamang nya. Aku merasa ada hal besar yang dia sembunyikan.Setelah Yasir melajukan mobil ketempat kerja, aku memutuskan untuk kerumah Karim dan mencari informasi mengenai anak suamiku itu.Sudah cukup lama aku tak menyambangi rumah Adik iparku, banyak sekali perubahan menuju rumahnya. Termasuk jalan yang sudah teraspal rapih yang sebelumnya banyak lubang dan batu besar.Mobil berhenti dihalaman rumah berpagar bambu, cukup sederhana namun terlihat asri dan nyaman dipandang mata.
Sesak ....Dada bergemuruh dan ingin marah pada diri sendiri.Ragaku beranjak, membuka setiap laci yang ada dilemari. Mengeluarkan semua benda dengan hati yang berkecamuk, sampai manik menemukan benda yang aku cari.Album foto, dengan sampul yang sudah pudar warnanya. Satu demi satu kutoleh semua gambar yang ada didalamnya. Tangan berhenti tergerak, saat menemukan gambar aku dan Fiona dimasa lalu.Lagi ... air mataku meluncur bebas, tubuhku bergetar dengan bahu yang terguncang hebat. Kupandangi wajah lamaku yang begitu mirip dengan anak perempuanku itu. Hati menjerit, mengingat masalalu yang begitu berkubang dosa kenistaan.Yah ... dahulu, aku memang sehina itu.Hah ... kurasa, aku tidak pantas dipanggil Ibu olehnya. Ibu nama yang tega, meninggalkan anaknya demi pergi bersama selingkuhnya. Namun, apakah aku bersalah jika ingin bahagia dengan pilihanku sendiri? Meski jalan yang aku tempuh, memang tidak bisa dibenarkan.
Pov Yasir.Belakangan ini aku mendapati tingkah aneh saat melihat Ibu, dia benar-benar kaget saat aku melihat gambar didalam foto. Aku pun tak kalah terkejut saat melihat foto itu. Gambarnya sungguh mirip dengan Fiona, tidak mungkin aku salah.Lalu jika ini memang sesuai dugaanku, dari mana Ibu mendapat foto ini. Aku yakin betul, gadis kecil didalam gambar ini adalah istriku. Fiona.Wajah Ibu semakin tegang saat melihat kedatangan Fiona. Isrtiku bahkan sangat perhatian, membawa susu nutrisi tulang untuk Ibu.Fiona menyunggingkan senyum manisnya, langkahnya semakin dekat menuju tempatku berdiri.Aku menoleh pada Ibu, yang wajahnya semakin terlihat pucat pasi. Ibu menggeleng lemah, sorotnya memancar harap padaku."Mas ..." sapa Fiona, langkahnya mendekati ranjang lalu menaruh gelas diatas nakas."Diminum Ibu, mumpung masih hangat."ucap Fiona pada Ibu."I-ya ... makasih, Fi." sahut Ibu, suaran
Pov Yasir.Perlahan jemari meraih album yang sampulnya sudah memudar. Menarik nafas lalu menghelanya dari mulut. Entahlah, ada rasa berdebar saat aku menyentuh album foto ini. Karna dari setiap banyaknya album, baru kali ini aku melihat yang sekusam ini sampulnya.Lembar demi lembar aku amati gambar didalamnya. Semua nampak biasa saja, tidak ada yang aneh. Hanya berisi foto jadul keluarga, gambar masa kecil aku dan Ridwan pun ada disini. Semua terlihat normal.Kutoleh wajah Ibu yang memandang lurus keluar jendela. Tak ada gairah disorot matanya, entah apa yang Ibu fikirkan. Aku kembali menekuni gambar, sampai bagian terakhir tidak ada yang mencurigakan.Eh ... apa ini.Alisku menaut dengan keras.Bukankah ini Fiona kecil, dia sedang dipeluk dengan seorang perempuan. Aku berfikir keras, sesekali mataku menelisik sosok yang ada disamping Fiona itu."Bukankah ini, Ibu ..." gumamku. Aku masih hapal betul wajah