Setelah Tukiman berangkat menuju perkebunan, Sumini pun berangkat menuju rumah Mak Siyem menggunakan sepedah jengki, hadiah dari Tukiman. Kala itu sepedah adalah benda yang masih merupakan hal mewah di desanya. Tidak semua orang memilikinya. Melewati rumah besar peninggalan Ki Harjo yang dibiarkan kosong, seketika membuat hati Sumini meradang. Dulu ketika rumah itu akan ditinggalkan Nyi Saminah, emaknya pernah menawarkan diri untuk menempati rumah itu. Sangat disayangkan jika rumah sebesar itu kosong lalu lapuk tanpa ada yang menghuninya. Namun jawaban mereka sungguh menyesakkan dada. "Lebih baik rumahku lapuk dimakan rayap, dari pada harus kamu kuasai. Sekarang kamu berdalih ingin merawatnya dengan menempati. Namun besok-besok bisa jadi bila aku kembali kamu usir karena sudah merasa berhak memiliki. Aku cukup belajar dari apa yang sudah kalian lakukan kepada keluarga keponakanku. Buktinya setelah kalian datang, ada saja ke
"Astutik sini!" Panggil Mak Siyem kepada Astutik yang terlihat sedang sibuk melakukan sesuatu dikamarnya. Astutik pun datang, meski dia begitu kesal, tapi tak sopan rasanya bila seorang anak muda yang menolak panggilan orang yang lebih tua, seperti apa yang dulu selalu dinasehatkan ibunya, untuk bersikap sopan kepada orang yang lebih tua."Kembalikan perhiasan milik anakku yang kamu ambil!""Seperti apa perhiasan milik anakku yang aku ambil?" Astutik merasa tersinggung, sehingga niatnya untuk bersikap sopan kepada nenek tirinya tersebut menguap begitu saja."Jangan pura-pura bodoh kamu, kamu mengambil perhiasan milik anakku dari kamar bapakmu kan? Jangan mentang-mentang kamu anaknya, sehingga bisa berbuat seenaknya dirumah ini""Tapi maaf Mbah, perhiasan itu adalah milik ibuku, tidak ada hak sedikitpun anakmu mengambilnya dariku! Aku adalah anaknya, jika selama ini anakmu bebas menggunakannya, anggap saja aku berbaik hati meminjamkannya!""Dasar anak kurang ajar, ibumu itu sudah pergi
Mak Siyem menikmati pagi dengan sepiring pisang goreng dan segelas teh panas yang disuguhkan Sumini sebagai temannya untuk menikmati sejuknya udara pagi.Mak Siyem sengaja memisahkan diri dari kegiatan sarapan dimeja makan dengan keluarga ini, dia hanya ingin Tukiman mengira bahwa dirinya masih tersinggung dengan perbuatan Astutik.Sehingga menimbulkan perselisihan diantara bapak dan anak itu.Padahal dia lebih memilih duduk menyendiri di halaman belakang yang sama luasnya dengan halaman depan itu, karena disini dia merasa lebih tenang.Rumah ini terasa begitu jauh dari tetangga, karena luasnya halaman yang mengelilingi rumah ini. Sehingga penghuninya bisa bebas dan tenang. Tidak ada tetangga yang setiap saat selalu mengomentari apapun yang penghuninya lakukan. Rumah ini bagus, seharusnya sejak awal dia dan Suminilah yang lebih berhak tinggal dirumah ini. Mereka tidak mengambil apapun dirumah ini, Mursiyem hanya berusaha mengambil sedikit dari apa yang seharusnya menjadi miliknya seja
Ketika tersadar Sumini sudah berada dirumah dengan banyak orang yang mengelilingi nya.Dia pingsan dalam waktu yang cukup lama.Dia masih bingung dengan apa yang terjadi.Yang dia ingat adalah waktu itu dia dan Mak nya ingin makan diseberang jalan, lalu semuanya gelap dan dingin dengan suara-suara berisik disekitarnya. Dan ketika bangun, dia merasakan sakit luar biasa pada sekujur tubuhnya."Ada apa ini?""Alhamdulilah mbak sampean sudah sadar""Aduhhhh, kenapa badanku sakit semua, kenapa kakiku susah digerakin?""Mbak, sampean diem dulu, kata dokter nggak boleh banyak bergerak""Apa yang terjadi denganku?""Sampean tadi kecelakaan mbak, tertabrak mobik ketika dipasar""Lalu bagaimana dengan Mak ku? Dimana Mak ku? Dia baik-baik saja kan?""Yang sabar ya mbak, sampean pulihkan diri sampean dulu""Yang sabar? Ada apa memangnya? Kenapa?""Mbak, tenang! Kakimu masih sakit, kalau kamu paksakan, nanti akan berdampak buruk untuk kesehatanmu dimasa mendatang""Tidak, aku mau mencari Mak ku!"
Astutik tak menyangka, bahwa Mursiyem pergi begitu cepat dengan cara setragis itu. Semuanya terjadu begitu cepat, hari itu setelah pulang sekolah untuk pertama kalinya dia tidak langsung pulang. Astutik memilih jalan kaki, sebelumnya Astutik sudah berpesan kepada pak Kusno untuk tidak menjemputnya.Meski matahari cukup terik, namun pohon-pohon besar dipinggir jalan ini cukup membuatnya merasa teduh, Astutik begitu menikmati perjalanan ini. Dalam hati Astutik menyesal, kenapa dia tidak melakukannya dari dulu-dulu. Tidak puas dengan menikmati perjalanannya, Astutik berhenti disungai yang begitu jernih. Astutik sengaja melepas sepatunya dan melangkah, naik diatas sebuah batu besar ditengah sungai tersebut. Sungai besar namun dangkal, airnya jernih, sehingga ikan-ikan kecil terlihat begitu jelas. Astutik merasa seluruh bebannya terangkat. Hingga tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu, hari sudah semakin sore. Astutik yakin sebentar lagi bapaknya pulang, kalau tahu dia belum dirumah,
Astutik tak menyangka, bahwa Mursiyem pergi begitu cepat dengan cara setragis itu. Semuanya terjadu begitu cepat, hari itu setelah pulang sekolah untuk pertama kalinya dia tidak langsung pulang. Astutik memilih jalan kaki, sebelumnya Astutik sudah berpesan kepada pak Kusno untuk tidak menjemputnya.Meski matahari cukup terik, namun pohon-pohon besar dipinggir jalan ini cukup membuatnya merasa teduh, Astutik begitu menikmati perjalanan ini. Dalam hati Astutik menyesal, kenapa dia tidak melakukannya dari dulu-dulu. Tidak puas dengan menikmati perjalanannya, Astutik berhenti disungai yang begitu jernih. Astutik sengaja melepas sepatunya dan melangkah, naik diatas sebuah batu besar ditengah sungai tersebut. Sungai besar namun dangkal, airnya jernih, sehingga ikan-ikan kecil terlihat begitu jelas. Astutik merasa seluruh bebannya terangkat. Hingga tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu, hari sudah semakin sore. Astutik yakin sebentar lagi bapaknya pulang, kalau tahu dia belum dirumah,
Astutik tak menyangka, bahwa Mursiyem pergi begitu cepat dengan cara setragis itu. Semuanya terjadu begitu cepat, hari itu setelah pulang sekolah untuk pertama kalinya dia tidak langsung pulang. Astutik memilih jalan kaki, sebelumnya Astutik sudah berpesan kepada pak Kusno untuk tidak menjemputnya.Meski matahari cukup terik, namun pohon-pohon besar dipinggir jalan ini cukup membuatnya merasa teduh, Astutik begitu menikmati perjalanan ini. Dalam hati Astutik menyesal, kenapa dia tidak melakukannya dari dulu-dulu. Tidak puas dengan menikmati perjalanannya, Astutik berhenti disungai yang begitu jernih. Astutik sengaja melepas sepatunya dan melangkah, naik diatas sebuah batu besar ditengah sungai tersebut. Sungai besar namun dangkal, airnya jernih, sehingga ikan-ikan kecil terlihat begitu jelas. Astutik merasa seluruh bebannya terangkat. Hingga tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu, hari sudah semakin sore. Astutik yakin sebentar lagi bapaknya pulang, kalau tahu dia belum dirumah,
POV MenikKuperhatikan satu persatu karyawan ku yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka.Sungguh, berat rasanya harus meninggalkan semua ini, semua yang ku bangun benar-benar dari 0.Namun bagaimana pun aku harus kembali, bagaimana pun aku harus mengambil apa yang seharusnya milikku.Aku bukan menyerah selama ini, membiarkan mereka menari diatas luka ku.Membiarkan manusia-manusia tak tahu diri itu menikmati apa yang seharusnya menjadi milikku.Aku hanya sedangan berusaha berdiri dan bangkit, sehingga ketika aku kembali, aku bisa berdiri tegak dengan kakiku sendiri.Setelah berunding dengan mas Rudi dan jeng Susi, aku memutuskan untuk tidak menutup usaha ini.Selain karena usaha ini menghidupi banyak kepala, aku juga harus tetap memiliki penghasilan, jika aku kembali nanti, aku harus menjadi seorang Menik yang baru.Aku tak ingin lagi bergantung apapun dengan mas Tukiman, bagaimanapun waktu sudah begitu lama berlalu. Siapa yang tahu dalamnya isi hati? Bisa saja dia kini telah beruba