"Langsung aja ya, Mas, aku nggak punya banyak waktu. Ada perlu apa Mas Riko sampai mencariku jauh-jauh ke sini?""Yang jelas bukan karena kangen sama Mbak Lisa, jangan geer, ya." Bukannya Mas Riko yang menjawab tapi malah wanita itu yang mendahului dengan mencibirku."Lagian siapa juga yang mau dikangenin sama dia. meskipun Mas Riko saat ini masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sudah tidak punya perasaan." Aku menjawab ucapan Alin dengan tenang."Sudahlah, Sayang. Jangan memperkeruh suasana. Aku bilang juga tadi apa, kalau kamu mau ikut kamu jangan macam-macam." Mas Riko melirik Alin, rasanya aku ingin mengeluarkan isi perutku melihat tatapan keduanya."Kamu yang memancingku datang untuk ke sini, Lis. Aku sudah teleponin kamu tapi ponselnya tidak aktif-aktif. Kalau kamu ganti nomor kenapa tidak memberitahuku?" "Apa urusannya kalau aku gak ngasih tahu Mas Riko, nanti ada yang cemburu. Di antara kita sudah tidak ada keperluan lagi, hubungan rumah tangga kita juga sebentar lagi akan
Pov RikoTernyata Lisa bukan karyawan di butik itu, melainkan ownernya. Kenapa dulu aku tidak mempertanyakannya sewaktu kami masih pacaran. Memang dulu kami hanya kenal selama satu bulan sebelum memutuskan untuk menikah. Waktu itu kutahu Lisa adalah gadis yatim piatu yang tinggal bersama kakak sepupunya, Mbak Tika. Itu sebabnya dia memintaku untuk segera melamarnya. Tanpa pikir panjang aku pun melamarnya lalu kami pun menikah. Namun sialnya aku tidak sempat bertanya tentang butik itu sebab Lisa tidak pernah bercerita kalau dia adalah pewaris tunggal usaha itu. Kenapa juga aku harus menegaskan, bahwa aku tidak suka wanita bekerja dan berpenghasilan. Dulu, semata-mata itu kulakukan supaya aku lebih mudah mengatur hidup Lisa. Sebab jika Lisa tidak berpenghasilan maka hidupnya akan tergantung padaku dan ia tidak mungkin macam-macam. Walau bagaimana aku butuh seorang Ibu dan istri yang bisa mengurus rumah dan anakku. Tapi kenyataannya berkata lain, Lisa ternyata punya usaha sendiri tanpa
Alin bangkit sambil menarik tanganku, mau tidak mau aku pun harus berdiri. Tidak enak kalau berlaku seperti anak kecil di depan Lisa. Kulirik Lisa sedang memijit pelipisnya, meski tanpa kata, aku tahu bagaimana penilaian Lisa terhadap Alin."Aku pulang dulu, Lis, dan aku harap kamu berpikir ulang tentang gugatan cerai itu.""Mas!!"Tanpa diduga Alin mencubit tanganku hingga aku meringis."Kalau sudah tidak ada keperluan lagi, silakan." Lisa ikut berdiri lalu menunjuk ke arah pintu keluar menuju tangga.Di sini perbedaan keduanya, jelas terlihat Lisa bersikap tenang dan berwibawa. Sementara Alin begitu kekanakan dan tidak bisa menahan emosi. Ya Tuhan, ternyata cantik saja tidak cukup untuk menyenangkan hati.Alin berjalan tergesa-gesa sambil menarik tanganku. Aku sudah mirip anak TK yang dipaksa pulang oleh Ibunya. Berkali-kali aku mencoba menarik tangan untuk melepaskan diri dari cengkraman Alin, namun semakin ditarik wanita itu semakin kuat mencengkram pergelangan tanganku. Sampai di
Pov LisaKedatangan Mas Riko memang benar untuk mempertanyakan tentang beberapa tagihan di rumah. Menurutku, dia tidak seharusnya sampai se-repot itu. Apalagi datang menemuiku untuk urusan yang tidak penting lagi bagiku. Seharusnya Mas Riko bertanggung jawab, pasalnya dia kepala rumah tangga di rumahnya.Apa itu alasannya saja supaya bisa bertemu denganku. Kalau benar seperti itu, kok, aku merasa lucu. Apalagi kedatangannya bersama Alin. Wanita itu seakan tidak mau jauh barang sebentar pun. Takut kalau Mas Riko kuambil alih lagi? Tidak ada kata balikan bagiku, apalagi bobroknya pria itu sudah diketahui. Mas Riko kaget ketika aku memberitahu bahwa gugatan cerai sudah kuajukan. Sepertinya ia tidak rela menceraikan aku. Serakah sekali kamu, Mas. Dulu dia mengabaikan aku karena Alin, dan sekarang dia malah tidak ingin berpisah. Mas Riko berusaha menahanku dengan alasan Kayla. Kenapa baru sekarang dia memikirkan Kayla, padahal dulu waktu dia berselingkuh dengan Alin, aku yakin Mas Riko sam
Pov Lisa"Bu Tika menelepon, Bu." Gina menunjuk ponselnya."Terima saja, mungkin dia ada perlu sama aku, tapi ponselku di atas. Paling juga akan menanyakan tentang Mas Riko."Gina menerima telepon dari Mbak Tika, tapi sebentar kemudian wajahnya berubah menjadi tegang dan menyerahkan ponsel itu padaku."Ya, Mbak. Ada apa?""Lis, Riko kecelakaan, sepertinya dia baru pulang dari butikmu.""Apa? Mas Riko kecelakaan? Memang dia baru pergi beberapa menit yang lalu.""Mbak kurang tahu kejadiannya, namun tadi ada seseorang yang menghubungi Ponsel Mbak. Katanya nomor ini yang terakhir dihubungi oleh ponsel Riko, jadi orang itu menghubungi Mbak.""Gimana keadaannya, Mbak?" Jujur, aku khawatir mendengarnya."Mbak kurang tahu, Lis. Tapi menurut berita sudah dibawa ke rumah sakit umum. Setelah ini, Mbak mau cek ke sana.""Kalau begitu aku ikut, ya.""Sebentar lagi Mbak ke sana, kamu siap-siap, ya."Setelah panggilan berakhir aku bermaksud ke atas untuk mengambil tas dan ponsel juga membangunkan Ka
Pov RikoTernyata Lisa masih ada perhatiannya padaku. Berarti aku masih punya harapan. Ibu dari anakku itu datang ke rumah sakit, tempat di mana aku ditangani pasca kecelakaan tadi. Percekcokan yang terjadi antara aku dan Alin menyebabkan konsentrasiku dalam menyetir buyar, ditambah lagi emosi karena perempuan di sebelahku terus berbicara tanpa henti. Aku menjalankan mobil ugal-ugalan dan tidak bisa mengendalikan diri hingga menabrak trotoar, itu menurut informasi yang kudengar dari perawat barusan lantaran setelah kejadian itu aku tidak sadarkan diri. Baru beberapa menit yang lalu ini aku siuman. Jujur saja aku bahagia begitu membuka mata. Tak lama setelah dokter memeriksa, kemudian Lisa datang bersama Mbak Tika. Tapi Alin kembali memperkeruh suasana, ia terus menyerang Lisa meskipun wanita itu bersikap biasa saja malahan Mbak Tika yang terlihat emosi."Lis .... " Aku mengalihkan perhatian mereka dengan memanggil Lisa."Mas .... Aku di sini, Sayang. Aku selalu ada buatan kamu, Mas.
Pov Riko"Mbak Lisa, kok, ngomongnya gitu sih, kayaknya puas, deh, lihat aku kecelakaan." Alin kembali mengomel.Lisa tidak memberikan reaksi apapun pada obrolan Alin. Dia segera keluar dari ruangan ini. Ingin aku berteriak untuk menahannya, tapi rasanya itu percuma. Dari tadi Lisa tidak menunjukkan rasa simpatinya padaku. Wanita itu telah benar-benar pergi dari kehidupanku. "Mas, kok, kamu masih merengek-rengek minta Mbak Lisa membatalkan perceraian itu. Aku nggak terima diperlakukan seperti ini. Sudah dibawa celaka, kamu juga melukai hatiku. Pokoknya setelah ini, Mas Riko jangan dekat-dekat lagi sama Mbak Lisa. Dulu katanya Mas mau mencarikan Mbak Lisa, tapi kenyataannya sekarang apa?"Di ranjang sebelah, Alin tak hentinya mengomel. Kecelakaan barusan tidak lantas membuatnya diam, padahal seharusnya dia berpikir bahwa kecelakaan itu terjadi karena dia yang tidak berhenti berbicara dan menyalahkan aku. Seharusnya dia bisa menjaga emosi dan perasaanku ketika aku sedang menyetir. ***
Pov RikoAlin meringis kesakitan. Mungkin benar yang dikatakan Reka, kalau istriku itu menghentakkan kaki terlalu keras. Rupanya Alin tidak sadar kalau ada beberapa luka di bagian tubuhnya. Aku minta tolong pada Ibu yang hanya duduk melongo, tapi belum juga Ibu bangkit, Reka sudah mendekati Alin."Makanya, Kak, kalau sakit itu harus banyak istighfar jangan marah-marah. Sudah untung masih di beri selamat, bukannya bersyukur malah banyak mengeluh." Reka malah berceramah."Aduh! Kamu gimana, sih, Ka? Bukannya cepet nolongin malah ceramah." Akhirnya aku menegur adik satu-satunya itu."Lagian, istri Mas Riko ini kelewat manja, dia sendiri yang bikin sakit, dia sendiri yang minta tolong." "Kamu mau nolongin nggak, sih?" Aku meninggikan nada bicara supaya menjadi perhatian untuk Reka. Kasihan juga melihat Alin meringis kesakitan.Akhirnya dengan muka cemberut Reka mendekat ke arah ranjang Alin. Tangannya terulur tapi tidak juga menyentuh kaki istriku itu."Yang mana, sih, yang sakit?""Itu