Belum sempat terlontar pertanyaan dari mulut Arjuna setelah melihat secara langsung keadaan Shanti, sang perawat sudah langsung mengambil sikap."Mari ikut saya, Pak. Ada dokter yang lebih berkompeten menjelaskan."Mbak, Anda itu sengaja membuat saya semakin panik, ya? Kenapa saya nggak dari tadi dipertemukan dengan dokternya. Kalau begini sama saja buang energi saya. Kini suara Arjuna sudah mulai sedikit lantang.Kurang tidur, belum makan, ditambah lagi diperlakukan seperti itu membuat Arjuna tak bisa lagi sabar menghadapi situasi.Tahu keluarga pasien yang ditanganinya itu semakin panik hingga mengeluarkan suara yang lebih vokal, perawat itu pun meminta maaf."Maaf, Pak. Bukan berniat membuat keruh dan panik, tapi biarlah yang kompeten menjelaskan ke bapak. Saya tadi begitu, biar bapak nggak shock saja. Sekali lagi saya minta maaf."Perawat itu mengetuk pintu ruangan dokter yang menangani Shanti."Permisi, Dok." Disertai dengan ketukan pintu."Anak dari pasien atas nama Ibu Shanti s
"Anak ibu sudah sampai di sini, sekarang sedang sarapan di kantin," jelas perawat.Tadi, saat berpapasan di dekat IGD, Arjuna sempat berpesan pada perawat."Mbak lagi nggak bohongin saya 'kan?""Mana mungkin saya bohong, Bu. Selepas saya mint nomor hapenya sama ibu, saya langsung hubungi."Mata Shanti yang tadinya penuh kecewa, berubah berbinar karena haru."Suruh dia kesini, Mbak! Saya nggak sabar ingin bertemu." Shanti memegang tangan perawat itu dengan tatapan penuh harap."Iya, akan saya telepon, tapi ibu harus semangat buat sembuh, biar kita sama-sama klop berjuangnya, gimana?""Iya, saya janji."Perawat itupun merogoh ponsel dari saku bajunya, kemudian menghubungi Arjuna melalui ponsel pribadinya."Halo, Pak. Saya ingin memberitahu jika ibu sudah bangun.""Oh, oke. Saya segera kesana."Detik itu juga Arjuna langsung membayar dan bertolak ke ruangan IGD. Dalam hatinya jelas tak sabar ingin segera bertemu Shanti."Miii …," panggilnya seraya menyibak tirai.Shanti menoleh bersamaan
Semenjak pertanyaan Shanti itu, Arjuna memang tak banyak bicara. Bukan pertanda marah, hanya saja dia dihantui oleh pikiran bagaimana jika Shanti pergi secepat ini. Sebagai anak, masih ada rasa tidak siapnya.Saat mendorong brankar Shanti dari kamar inap menuju ruangan CT-scan pun Arjuna masih dingin. Sesampainya di ruangan yang dituju, hanya Shanti yang diperbolehkan masuk, sedangkan Arjuna menunggu di luar.Terbesit pikirannya untuk memberi tahu kakak dan adiknya, karena jika benar umur Shanti singkat, Arjuna jelas merasa bersalah karena menunda-nunda memberi kabar, meskipun itu kabar buruk."Halo, Kak," sapanya saat telepon tersambung, Arjuna tengah duduk sedikit membungkuk di kursi tunggu."Heh, kamu. Tumben nelpon?"Sebelum memberitahu keadaan Shanti, Arjuna terlebih dahulu berbasa-basi."Jadi kamu ada apa nelpon? Pasti ada sesuatu 'kan?" tembak Sonia tak sabar."Iya, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan ke kakak.""Sesuatunya itu apa? Kakak nggak bisa lama-lama nelponannya.""Ka
Mendekati adzan Ashar Lidya dan Santoso sampai di rumah sakit, Lidya pun menghubungi Arjuna,"Aku sama papi udah di parkiran, mas dimana?""Kamu disuruh Kak Sonia?""Iya, Mas. Kirim ke aku nomor kamar mami dirawat!""Papi gimana?""Aman. Kirim cepat, Mas!"Begitu sambungan terputus, Arjuna lekas mengirim nomor kamar inap Shanti. Dan, Lidya serta Santoso pun bergegas menuju kamar Shanti."Papi udah siap segala kemungkinan buruk soal mami?" tanya Lidya saat berjalan."Siap, tapi semoga kondisi mami kamu nggak parah.""Ya, semoga saja, Pi.Lidya dan Santoso berhenti di sebuah kamar VVIP No. 2 sesuai dengan yang diberikan Arjuna."Ini kamarnya, Pi," ucap Lidya.Lidya pun mengetuk pintu.Tok … Tok … Tok …Saat pintu terketuk, Arjuna dan Shanti hampir bersamaan menoleh ke sumber suara."Siapa itu, Ar?" tanya Shanti."Hmmm …." Belum tuntas Arjuna menjawab, rupanya Lidya sudah lebih dulu membuka pintu."Mamiiii …!" Lidya berlari seiring dengan bulir bening yang turun dari bola matanya."Lidya
Lidya mengetuk pintu tak lama kemudian saat itu juga Shanti terbangun. Bukannya menemui Shanti, Lidya malah berjalan mendekati sofa yang diduduki Santoso, dan tanpa basa-basi langsung mengajak Santoso pulang bersamanya."Pi, pulang sekarang yuk!" ajaknya tanpa rasa segan."Terserah kalau papi sih. Gimana mami kamu juga, boleh apa enggaknya papi pulang sama kamu.""Mi, nggak apa-apa kan aku pulang sama papi? Soalnya ada urusan mi, penting. Kalau nggak, aku mau nemenin mami di sini," sahut Lidya seolah perhatian. Dia melirik sekilas ke arah Arjuna yang acuh."Nggak apa, Lid. Karir kamu jelas lebih penting," balas Shanti seperti yang tadi, dia terlihat memaksakan senyumannya."Aku bareng juga biar nggak repot Arjuna nganterin nanti," kilah Santoso seraya bangkit dari duduknya."Bener, Mas. Makin repot Arjuna nanti, ngerti aku." Shanti sengaja memperlurus ucapan Santoso, dia tidak peduli jika lelaki berusia 65 tahun itu tersindir."Kamu marah sama, Mas?""Buat apa marah, Mas. Udah kalian
Hari ini adalah hari yang sama-sama ditunggu Arjuna dan Shanti, mereka tak sabar terbang ke Jakarta meski dalam keadaan duka."Ternyata, bahagia itu kala seperti ini ya, Ar. Beda banget bahagianya ketika punya tas mewah, mobil keren, jalan-jalan keluar negeri.""Tapi 'kan keadaan mami begini," lirih Arjuna yang pasti merasa prihatin atas kondisi Shanti."Ya nggak apa-apa. Daripada mami hidup penuh dusta dan maruk terus-menerus," sahut Shanti.Keduanya tampak berbincang saat terbang menuju Jakarta."Ya Allah, jika Engkau memanggil hamba, panggil lah aku dalam keadaan husnul khotimah," batin Shanti terus mengatakan itu sejak kecelakaan itu terjadi."Namun, jika boleh meminta, beri hamba waktu untuk memperbaiki diri. Membenahi diri. Mempertebal iman serta taqwa. Hamba takut, jika pulang kepada-Mu tidak ada modal apapun yang akan dibawa."Kata batin Shanti juga tak jauh beda dengan harapan yang disimpan Arjuna dalam batinnya."Ya Allah, jangan ambil mami hamba saat ini. Beri dia kesempata
"Kalau itu Nana setuju, Oma." Bukan Devina namanya yang tidak berceletuk sesuka hati. Padahal dia sedang memainkan tabletnya tapi masih fokus mendengar pembicaraan antara Shanti dan Ratna.Wajah Ratna jelas semakin bersemu merah menahan malu di depan Shanti."Berarti kamu satu ide sama Oma 'kan?""Iya, Oma. Nana sudah nggak sabar jadi anaknya Oom Ganteng. Eh, tapi, Oma nerima nggak kalau Nana jadi cucunya, Oma?""Nerima, Sayang. Oma bakal nerima sepaket," sahut Shanti seraya mengulas senyum pada Devina. Pun Devina membalasnya dengan senyuman termanis."Jadi, gimana Ratna? Bulan depan ya?""Hmm … menurutku, kita lebih baik fokus sama keadaan mami dulu. Untuk urusan yang tadi itu, bisa dibahas kapan-kapan, Mi.""Malah kebalik. Urusan kamu sama Arjuna yang lebih penting didahulukan. Kalian memang sudah sepatutnya segera dinikahkan. Jangan buat mami makin bersalah. Mau ya kamu?"Nada Shanti menelan secara perlahan. Ratna yang tadinya tertunduk, menatap dalam.Jika ditanya ingin hatinya, s
Ratna tampak terperangah mendengar rentetan kata yang begitu lancar terucap."Kok gitu ekspresinya?" tanya Arjuna yang jelas peka akan bahasa tubuh calon istrinya itu."Aku masih merasa shock, Mas. Apalagi kamu ngikutin maunya aku, biar aku nyaman, dan aku ngerasa kamu kayaknya mau lancar biar nggak banyak belibetnya.""Harus gitu dong. Perjalanan kita sudah cukup penuh perjuangan, aku nggak mau menghabiskan energi lagi cuma karena berbeda keinginan soal acara nikah dan resepsi. Lebih baik aku ngikutin mau kamu, nyamannya gimana. Aku ikutin semuanya. Termasuk, mahar. Kamu mau maharnya apa?"Deg!!!Jantung Ratna kembali memberi kode."Aku maunya seperangkat alat sholat saja, Mas.""Aku boleh tambahin perhiasan nggak? Sebagai tanda bentuk terima kasih aku. Boleh?""Hmm … aku pikirkan soal itu, Mas."Jawabannya yang sangat dirasa aneh terdengar, membuat kening Arjuna mengkerut."Kenapa harus dipikirkan? Memangnya berat sekali bagi kamu?""Iya, Mas. Aku takut jika tidak amanah dan menjaga