“Lepas, saya ingin mengejar Safa.” Faqih berontak dan meminta dilepaskan.Azril menahan Faqih untuk tidak masuk ke dalam. Ia tahu perasaan Faqih yang masih mencintai istrinya, tetapi Safa butuh waktu untuk menata hatinya.“Safa, Mas yakin kamu masih mencintai Mas,” teriak Faqih kencang.“Tolong, jangan membuat keributan di sini.” Sebagai tuan rumah dan kepala rumah tangga wajib baginya melindungi Safa. “Lebih baik Abang pulang sebelum saya menarik paksa Abang.”Azril masih tahu sopan santun dan masih memiliki hati baik. Jangan sampai kesabarannya habis karena sikap Faqih yang melewati batas.Faqih pun mendesis hingga melepaskan cekalannya kasar. Matanya memandang nyalang seolah menyiratkan kebencian yang mendalam. Seketika merapikan bajunya dan melenggang pergi.“Lihat, Dik, Mas tidak akan menyerah,” batinnya melangkah menjauhi rumah Safa.Sementara Azril masih berdiri di pintu memastikan jika pria itu tidak kembali lagi. Setelah aman, ia menyusul Safa yang pasti sedang bimbang.Di da
Safa begitu sumringah menyambut hari. Kegiatannya yang hanya mengurusi suami menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Tidak pernah absen sedikit pun seolah tidak ingin melewatinya.“Biar aku saja, Sayang.” Azril segera merebut dasi di tangan Safa untuk dipakainya.Melihat wajah Safa yang murung tidak bermaksud membuatnya sedih justru dia sudah melakukan tugasnya dengan baik.“Lebih baik kamu segera bersiap. Kamu juga ingin pergi, bukan?” Azril tidak ingin egois. Sejak tadi, Safa sudah sibuk dengan dirinya sedangkan dia sendiri seolah lupa padahal dia pun ingin pergi.“Iya, Mas, tetapi mengurus suami adalah kewajibanku jadi aku melakukan kewajiban terlebih dahulu daripada yang lain.” Safa menyingkirkan tangan Azril dan menyimpulkan dasinya untuk terikat sempurna.“Ma syaa Allah istri salehahku,” puji Azril terharu. Jawabannya selalu mengagumkan dan di luar dugaan. Bagaimana rasa cinta itu tidak semakin besar jika sikap Safa selalu membuat hatinya terbuai.Senyumnya mengembang dan Safa sada
"M-Mas," ujar Safa bernapas lega saat melihat suaminya."Iya, Sayang. Ko kaget gitu, kenapa?" Azril mengernyit bingung.Safa segera mengalihkan, tidak ingin membuat suaminya murka karena dirinya yang melihat Faqih. Mungkin saja matanya memang salah melihat."Ah, tidak, Mas. Mas dari tadi?""Enggak, Sayang. Padahal, aku ada di sampingmu tadi. Aku pikir kamu hapal dengan mobilku, ternyata malah diam di sini." Sebenarnya Azril sudah melihat kehadiran Safa didekatnya.Namun, sepertinya Safa tidak melihat dan justru menghubunginya. Saat itu, Azril pun langsung turun dan menghampiri Safa.Safa hampir terkejut dan karena ketakutannya membuat Safa tak bisa fokus. Ia pun menarik lengan Azril ke dalam mobil untuk menghindari kerumunan para akhwat yang mulai mendekat.Sebelum memasuki mobil, Safa sempat mengedar pandangan untuk memastikan kehadiran Faqih dan ternyata sudah tidak ada."Sayang, ayo," kata Azril yang sudah berada di kursi pengemudi.Safa pun mengiyakan dan segera duduk. Tidak ingin
Azril langsung membawa Safa menjauh dari Faqih, tidak peduli dengan pria itu yang terus meraung dengan tangis. Hatinya sakit melihat Safa yang harus menjadi korban.“Mas Azril, kenapa dengan Neng Safa?” Bi Inah terkejut melihat nona mudanya dibopong.“Bi, tolong bawakan air minum dan air hangat di dalam wadah ke kamar, ya,” perintah Azril, lalu membawa Safa ke kamar.Tubuhnya bergetar memandang Safa yang belum sadarkan diri. Kemudian membaringkan Safa di atas ranjang dengan isak tangis penuh salah.“Mas Azril, ini airnya.” Bi Inah membawa pesanan yang diminta tuan mudanya dan meletakkan di atas nakas.“Terima kasih. Tolong panggilkan dokter sekalian, ya, Bi. Khawatir ada luka dalam di wajah Safa,” pinta Azril sendu.Pandangan Azril tak beralih dari Safa. Ia masih memerhatikan matanya yang masih terpejam dan tangannya segera memeras kain yang berisi air hangat untuk mengompres wajah Safa. Andai Azril lebih gercap menahan Safa, kejadiannya tidak sampai seperti ini.Tidak seharusnya Safa
“Nanti kamu akan tahu. Sekarang kamu istirahat saja,” kata Azril tersenyum.Seketika kaki Safa turun dan langsung dicegah oleh Azril. Belum juga ucapannya kering di tenggorokan. “Mau ke mana?”Safa mengembuskan napas pelan. Hanya luka kecil, tetapi Azril sudah banyak perintah yang menurutnya berlebihan.“Aku mau bebersih, Mas, seharian aku habis dari luar. Bau tahu,” ujar Safa sembari mengendus tubuhnya sendiri. Rasanya tidak betah dan ingin segera mengganti baju.“Lagipula yang luka itu pipi bukan kaki. Jadi aku masih sehat untuk berjalan.”Safa kembali mengingatkan, lalu berdiri jika dirinya mampu. Kepalanya menggeleng dan bergegas pergi sebelum ditahan oleh Azril. Keesokan harinya, Safa merasa berat meninggalkan rumah. Entah ke mana suaminya akan membawa pergi hingga tatapannya tak lepas dari ruangan kamar yang penuh kenangan.“Kenapa?” tanya Azril menyadari sikap Safa yang tak baik.Safa pun langsung menoleh saat Azril menyentuh kedua bahunya dan air mata seolah kembali ditarik a
“Ish, ko kamu malah ketawa sih.” Safa memandang heran, memang ada yang salah dengan permintaannya.“Iya kamu, aku pikir mau meminta rumah padahal aku udah serius atau mungkin mau meminta untuk menikah lagi,” kekeh Azril meledek.“Hmm, jadi kamu berniat untuk menikah lagi?” Tatapan Safa berubah nyalang yang akhirnya menjewer telinga Azril dengan keras.Azril pun meringis dan mengaduh ampun. Ia hanya bercanda dan tidak sedikit pun berniat untuk menikah lagi. Berhasil naik pelaminan saja butuh perjuangan, bagaimana jika nambah lagi, tidak akan sanggup rasanya.“Tidak mungkin, Sayang. Aku hanya ingin bersamamu sampai surga,” kata Azril tersenyum sembari memegangi telinganya yang ngilu. Pengang rasanya jeweran Safa.“Aku hanya bercanda, tidak usah cemberut begitu.”Azril membujuk istrinya, lalu menangkup kedua pipinya dengan mengusap lembut. Tidak sama sekali bermaksud merubah mood Safa.“Nanti aku sampaikan sama Amih untuk berbicara Bahasa Indonesia saja, tetapi nanti kamu juga bisa belaj
Amarah pria itu memuncak hingga ubun-ubun. Apinya meluap di dada dan ingin segera dikeluarkan. Langkahnya begitu cepat, memandang tajam kepada seseorang yang memerhatikannya.“Maaf, Pak, ada yang bisa kami bantu?” sapanya sopan.“Saya ingin bertemu dengan seseorang yang bernama Muntasir Azril.” Faqih menatap serius sang resepsionis di hadapan.“Maaf, Bapak siapanya Pak Azril?” Wanita itu harus teliti mengenai tamu yang hendak menemui para karyawan.Faqih jengah sekali, perusahaannya terlalu banyak peraturan. Namun, tidak boleh kalap agar bisa menemui pria sialan itu.“Saya rekannya. Cepat, katakan di mana ruangan Pak Azril yang terhormat.” Faqih berbicara tegas penuh penekanan.Wanita itu merasa takut. Baru kali ini menerima tamu yang keras kepala dan tidak sopan santun sesuka hati.“Mohon maaf, Pak, kebetulan Pak Azril tidak ada di kantor dikarenakan sedang cuti.”Kedua tangan Faqih sudah mengepal kuat. Ingin sekali mengumpat keras di hadapan wanita tersebut. Ia sudah sabar dan menah
“Ayah!” Safa mengerjap saat tak sengaja berpapasan dengan sang ayah. Tanpa izin, wanita itu langsung merengkuh kuat tubuhnya. Hampir tiga hari tidak bertemu dan rasa rindu sudah menumpuk di dalam dada. “Ayah kenapa tidak bilang kalo mau datang?”“Sudah kubilang kuasanya pindah padaku,” timpal Azril yang berada tak jauh darinya.Safa yang kesal hanya melirik, lalu memandang ayah seolah menganggap tidak ada orang. Sedangkan Marlan, terkekeh senang melihat sikap kedua sejoli itu yang tak ingat umur.“Ayah sudah kirim pesan, tetapi kamunya tidak balas.” Marlan mencubit hidung Safa.Wanita itu mengernyit, seingatnya tidak ada pesan masuk. Di saat saling diam, Azril pun mengajak ayah masuk karena tidak sopan membiarkan ayah mertua terlalu lama berdiri.Kemudian Safa sibuk bermanjaan pada ayahnya, tak peduli dengan sekitar sekalipun diperhatikan oleh mertua atau suaminya sendiri.“Ayah baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya penuh khawatir.“Alhamdulillah, kalo nggak baik. Ayah nggak mungkin ada di