Satu minggu sudah sejak kejutan menyakitkan itu di rumah sakit, dan pertemuan kami dengan Elkan, belum ada perkembangan yang berarti. Semua masih berjalan seperti sebelumnyan. Entah kenapa Mas Yuda juga tampak biasa saja. "Mas, apa sudah ada kabar dari sahabatmu itu?" Mas Yuda sedang memasang kancing kemejanya di depan kaca. "Elkan, maksudmu? "Iya." Mas Yuda membalikkan tubuhnya. Saat ini kami saling berhadapan. "Tenang saja. Aku yakin Elkan bisa membantu kita," sahutnya seraya melingkarkan lengannya di pinggangku kala aku sedang memakaikan dasi dilehernya. Bagaimana mungkin suamiku ini bisa yakin? Sedangķan satu minggu ini belum ada kabar apapun dari sahabatnya itu. "Kamu jadi ke rumah kost hari ini?" Kami berjalan bersisian menuruni tangga. "Jadi, Mas. Hari ini barang-barang untuk kamar kost datang. Aku ingin memberi intruksi pada para pekerja." "Untuk Rumah kost aku serahkan semuanya padamu. Carilah beberapa pekerja untuk membantumu di sana." Aku terus mengikuti Mas Yuda
Para pekerja bangunan masih ada beberapa yang membantuku di sini. Tapi bagaimana jika mereka nanti telah selesai kontrak dengan Mas Yuda? Sepertinya aku harus memperkerjakan beberapa orang di sini. Mungkin aku bisa membuka lapangan pekerjaan pada beberapa warga di sini. Ya ampun, kenapa tidak Kak Lina saja yg bekerja denganku. Sebaiknya aku datangi saja kakak iparku itu. Semoga saja hari ini dia ada di rumah. Sekalian aku nengok ibu. Sudah lama aku tidak mengunjungi Ibu. Paling-paling kak Norma yang masih tidak suka padaku. Biarlah. Setelah semua urusan di rumah kost beres, dengan membawa buah tangan yang kubeli di supermarket terdekat, Aku berjalan menuju rumah Ibu yang berjarak hanya beberapa meter saja dari rumah kost. Tepatnya, rumah ibu ada di ujung jalan ini. "Assalamualaikum." Tak ada yang menyahut. Rumah ini nampak sepi. Apakah mereka sedang pergi? "Neng Salma? ... Cari siapa, Neng?" Pak Udin, tukang ojeg tetanggaku dulu tiba-tiba berhenti di dekatku. "Ini pada ke man
Aku kembali ke cafe ini. Tempat di mana Kak Lina bekerja. Namun tujuan utama aku ke sini bukan untuk bertemu Kak Lina, tapi memenuhi janji bertemu dengan laki -laki yang menghubungiku tadi. Sebenarnya aku sudah menolak, karena Elkan minta bertemu tanpa sepengetahuan Mas Yuda. Menurutnya ada yang harus dia sampaikan padaku. Walau keraguan merajai hati, tapi di sisi lain aku sangat berharap Elkan bisa membantuku menyelesakan masalah ini. Tak sulit menemukan Elkan di sini. Seperti biasa pria yang banyak digandrungi pada wanita itu tetap menjadi pusat perhatian para pengunjung cafe. Pria berbadan atletis itu telah melempar senyumnya padaku saat aku baru saja melangkah masuk ke dalam cafe ini. "Hai, Salma. Silakan duduk!" "Terima kasih. Maaf, Aku nggak bisa lama. Langsung saja pada inti pembicaraan!" "Wah, wah. Kenapa terburu-buru. Tunggu, aku pesankan makanan. Mau makan apa, humm?" "Tidak. Terimakasih." "Tapi aku lapar. Temani aku makan dulu sebentar!" ujarnya seraya membuka-buka
"Kamu jebak Aku, hah?" Wajah Elkan memucat melihatku bertolak pinggang di hadapannya. "B-bukan. Tenanglah Salma! Duduk dulu! Kita belum bicara." "Jika memang ada yang ingin kamu bicarakan. Langsung saja sama Mas Yuda." Aku meraih tasku dan bersiap untuk meninggalkan meja. "Salma, tunggu dulu, please ...!" Elkan mencekal pergelangan tanganku. "Lepas!" jeritku tertahan. "Oke, oke, Maaf!" Elkan melepaskan dan mengangkat kedua tangannya. Tanpa berkata-kata lagi Aku segera meninggalkan pria yang masih mematung menatap kepergianku. Dengan langkah lebar aku keluar dari cafe ini. Sungguh emosiku memuncak saat ini. Napasku memburu. Dadaku kembang kempis menahan amarah. Sungguh keterlaluan pria itu. Aku masih berdiri di sebrang cafe menunggu taksi online yang sudah aku pesan. Sedikit cemas karena hari sudah hampir sore. Aku harus segera tiba di rumah sebelum Mas Yuda pulang. Untuk kesekian kalinya merutuki diri ini. Kebodohan yang aku lakukan tadi bisa mengancam keutuhan rumah tangga
POV SYIFA Hari ini aku akan ikut Pak Yuda meeting di salah satu hotel bintang lima. Wah, ini kesempatan emas untukku bisa menggoda pria tajir itu. Aku harus bisa mengajaknya ke kamar hotel. Aku akan mencari cara agar bisa mengajaknya ke salah satu kamar di sana. Sebuah lingeri dengan model yang menantang sudah aku persiapkan. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Kembali aku memeriksa penampilan di cermin. Seharusnya sejak awal aku tidak usah memakai hijab ini. Agar Pak Yuda bisa menikmati kecantikanku. Tapi sejak pertama bertemu dengannya aku sudah memakainya, walau hanya pura-pura. Tidak mungkin tiba-tiba aku lepas. Justru nanti Pak Yuda bisa berpikiran buruk padaku. Bosku itu bilang akan menjemputku di depan ruko, semua data yang dia perlukan sudah aku siapkan sejak kemarin di kantor. Sebuah mobil mercy hitam berhenti tepat di depanku. Kaca mobil depan terbuka. "Silakan, Non Syifa! Duduk di depan saja," teriak Pak Supir. Apa ? Duduk di dep
Pov Syifa"B-bapak di sini sendiri?" tanyaku pura-pura gugup. "Ya. Silakan saja kamu istirahat beberapa jam," sahutnya tanpa menoleh. Huh, Dasar laki-laki sombong! Semoga saja nanti dia menyusul ke kamarku. "Sini kuncinya, Pak!" ketusku pada Pak Supir setelah kami keluar dari restaurant. "Saya antar ke kamar saja, Non!" "Nggak usah! Mana kuncinya, cepetan!' bentakku. Dengan wajah ketakutan Pak supir itu menyerahkan kunci kamar yang sudah dibooking itu padaku. Kamar 1101. Gegas aku melangkah mencari kamar tersebut. Ternyata kamar ini begitu luas. Aku segara mengganti pakaianku dengan lingeri yang kubawa dari rumah. Dengan rambut panjangku yang tergerai indah, membuatku berdecak kagum melihat penampilan seksiku di cermin. Bagaimana caranya agar Pak Yuda bisa menemaniku di sini? Aku meraih ponselku dan mengirim sebuah pesan untuknya. [Pak, ternyata kamar hotelnya luas sekali. Bapak bisa lanjutkan pekerjaannya di sini sambil istirahat] Aku terus memandangi layar ponselku cukup
POV SYIFA "Jangan sekarang. Bapak sedang tidak bisa dikunjungi." Elkan memandang tajam padaku Sepertinya dia tak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Bagaimana ini? Dari tatapannya Elkan tampak mulai meragukanku. "owh ... oke, oke. Nanti aku cari waktu yang tepat untuk menemui Bapakku." Akhirnya aku menyerah. "Sekarang saja," ujarnya. "A-apaa? Sekarang? Harus gitu?" Elkan mengangguk cepat. "Lebih cepat, lebih baik," tegasnya. Aku menghela napas dengan kasar. Semoga saja Bapak tidak berkata yang aneh-aneh nanti. Bisa-bisa gagal rencana aku nanti. "Ya, sudah. Ayo!" Tiba-tiba pria itu berdiri. "Ish, Aku kan belum makan. Laper, nih!" "Jangan alasan, Nona cantik! Aku tau kamu sudah makan." Pria itu kemudian melangkah lebih dulu ke area parkir mobil. Sial! Tau dari mana dia kalau aku sengaja mengulur-ulur waktu? Kuayunkan kaki mengikuti langkah pria tampan di depanku ini. Lagi-lagi kami berdua menjadi pusat perhatian. Pengunjung yang kami lewati terus memandang kami,
Pov Syifa"Begini, Nak Elkan. Sebenarnya Bapak tidak mau meneruskan masalah ini ke jalur hukum. Karena Nak Yuda itu tidak sepenuhnya salah. Dia hanya menghindari mobil yang melaju kencang dari arah yang berlawanan. Karena panik, Bapak juga spontan ingin menghindari mobil Nak Yuda. Namun naas, mobil yang bapak bawa terguling dan kami menjadi korban. Nak Yuda selamat. Namun dia tetap bertanggung jawab pada kami semua. Seharusnya mobil yang ugal-ugalan itu yang bersalah. Namun sepertinya mobil itu kabur entah kemana." "Tapi tetap saja Pak Yuda bersalah, Pak. Dia yang menyebabkan meninggalnya Ibu dan adikku, dia juga yang menyebabkan Bapak kehilangan satu kaki. Kenapa Bapak tidak pernah memikirkan hal ini, sih?" pungkasku kesal. Terdengar Bapak menghela napas panjang. "Syifa, Berkali-kali Bapak katakan. Semua Itu adalah ketentuan Allah, Nak. Istighfar kamu, Syifa ...!"sahut bapak dengan suara bergetar. "Tapi Bapak sekarang sudah nggak bisa membiayai aku lagi. Bapak nggak bisa cari uan