“Anna! Apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin melompat ke bawah sana? Jangan bodoh!” seru Jessica memanggil Anna yang sedang memanjat pagar balkonnya.
Tidak mendapat jawaban dari remaja itu, terutama setelah melihat Anna sudah berhasil duduk di atas pagar balkon, Jessica yang saat itu sedang memiting Joseph Thiago —tunangannya— setelah berhasil memenangkan perkelahian di antara mereka, mau tidak mau melepaskan apitan tangannya dari leher Joseph dan berlari dengan tergesa untuk menarik Anna turun dari sana.
Ia menebak, Anna yang tampak putus asa itu berniat untuk bunuh diri dengan melompat dari atas pagar ke sisi luar balkon.
Jessica memang selalu merasa kesal pada Anna tiap kali melihat akting buruknya dalam semua kesempatan casting yang perusahaan mereka berikan. Ia juga sangat marah setelah melihat Joseph merangkul Anna di atas ranjangnya. Tapi dia juga tidak ingin Anna sampai mengakhiri hidupnya karena semua hal itu.
Jessica sebenarnya sangat menyayangi Anna yang dianggapnya memiliki potensi besar untuk menjadi seorang aktris top. Hanya saja gadis itu masih belum menemukan kepercayaan diri tiap kali berdiri di depan kamera, hingga Anna selalu terlihat lesu tiap kali pengambilan gambar dimulai.
“Anna…!” seruan panjang terlontar dari mulut Jessica saat melihat Anna akhirnya melompat dari pagar balkon tanpa memedulikannya. Ia terlambat.
“Tidaaaaakkkk… Anna…!”
“Anna...! Haaaahhh… haaaahhh… haaahhh…”
Pemandangan di hadapannya tiba-tiba berubah. Ia akhirnya sadar jika apa yang baru dilihatnya hanyalah sebuah mimpi buruk dari kilas balik usaha bunuh diri Anna Briel. Itu adalah pemandangan nyata yang dilihatnya terakhir kali sebelum tunangannya menikam dirinya dari belakang dan ingat jika dia harusnya sudah tewas di malam itu.
“Kakak…!”
Jessica mengalihkan pandangannya, menatap remaja yang berdiri dengan wajah khawatir di samping ranjangnya. Dia mengingat gadis itu sebagai Sherly Briel, adik kandung dari Anna Briel yang baru berusia 16 tahun —hanya satu tahun lebih muda dari Anna.
Ini bukan kali pertama mereka bertemu. Saat Jessica pertama kali terbangun 3 hari lalu, dia juga langsung bertatap muka dengan Sherly yang juga baru terbangun dari tidurnya setelah semalaman suntuk menjaga Anna di rumah sakit.
Sherly memiliki wajah cantik yang diwarisinya dari ibu mereka, sedangkan Anna lebih mirip dengan ayahnya. Sangat disayangkan, kedua bersaudari berpenampilan menarik itu tidak memiliki kepercayaan diri yang dibutuhkan semua orang untuk dapat menjalani kehidupan yang jauh lebih baik. Setidaknya itulah kesan pertama yang Jessica dapatkan ketika pertama kali bertemu keduanya.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” sahut Jessica, berusaha menirukan cara bicara Anna pada gadis itu.
“Apa kakak merasakan sakit? Kakak terlihat pucat.”
“Aku tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku.”
Jessica kemudian berpaling lagi ke arah lain saat merasa jika ada orang lain yang berada di ruangan itu selain mereka.
Kedua matanya melebar, terkejut akan keberadaan pria tua yang sedang berdiri di depan sofa —yang sebelumnya hendak menghampirinya saat terbangun dari mimpi buruk tadi.
‘Kakek? Kenapa dia ada di sini?’
“Beliau dan beberapa pria membawa Kakak kembali ke sini. Beliau juga sudah melunasi biaya perawatan Kakak,” kata Sherly setelah mengikuti ke mana arah Anna memandang.
Dari cara Sherly berbicara, juga sikapnya yang terlalu hormat saat menatap pria tua tersebut, Jessica tahu jika adik Anna Briel itu ingin agar dirinya mengucapkan terimakasih pada pria berusia 90 tahun itu.
Walau sempat mendengus kesal pada sikap Sherly, Jessica akhirnya menegakkan tubuh, menatap mata Norman Wright lekat-lekat sebelum berbicara padanya.
“Untuk apa yang sudah Anda lakukan, saya mengucapkan terima kasih…,” ucap Jessica dengan lidah agak kaku, tidak terbiasa dengan gaya bicara Anna Briel yang ia rasa terlalu merendahkan diri sendiri —karena dia hampir tidak pernah mengucapkan kata terima kasih pada siapa pun, kecuali saat sedang menerima sebuah penghargaan.
Tapi Jessica harus melakukannya karena tidak ingin Sherly curiga lagi padanya. Tiga hari lalu, saat ia pertama kali terbangun dalam tubuh Anna, Sherly sempat kebingungan melihat tingkahnya yang aneh saat ia masih belum menyadari jika sedang berada dalam tubuh Anna.
‘Sial, aku tidak akan mau repot-repot bersikap dan berbicara seperti Anna andai Dewa gila itu tidak mengancam akan langsung mengirimku ke neraka.’
Ingat pada ancaman sang Dewa, Jessica tiba-tiba merasa kesal.
Norman Wright melangkahkan kakinya dengan bantuan tongkat di salah satu tangannya, berjalan perlahan menghampiri Anna.
Norman berdiri cukup lama di dekat Anna. Menatap dalam pada kedua mata gadis itu sembari tersenyum misterius, sebelum akhirnya mengangguk-angguk samar dan berbicara, “Kalau kau ingin berterima kasih, bungkukkan tubuhmu dan tundukkan kepalamu. Apa yang kau katakan dan bahasa tubuhmu sangat tidak cocok," ucap Norman sembari menatap kedua mata Anna yang menatap curiga padanya.
"Saya sungguh-sungguh berterima kasih," protes Jessica yang sebenarnya tahu jika apa yang Norman katakan itu benar. Dia sangat hebat berakting, jadi dia tahu itu. Hanya saja, untuk berakting sempurna di hadapan satu dari 3 orang yang paling di bencinya ini, Jessica merasa tidak nyaman untuk melakukannya.
Norman tersenyum getir mendengar jawaban itu. Ia mengangguk-angguk pelan lagi dan berbicara, "Kalau kau perlu bantuan, kau bisa menghubungiku. Aku sudah meninggalkan nomor kontak pada adikmu,” ucapnya, lalu tersenyum lembut. Senyuman yang menyiratkan pesan berbeda dibandingkan yang sebelumnya.
Kata-kata Norman tentu saja membuat Jessica heran sampai harus menggali ingatan Anna kembali, mencoba mencari tahu apa Anna pernah mengenal kakeknya hingga kakeknya terlihat peduli padanya seperti ini. Seingat Jessica, ini bukanlah kebiasaan kakeknya untuk mau berbicara dengan sembarang orang yang tidak dikenalnya, apalagi tersenyum seramah itu.
‘Mereka tidak saling mengenal. Aneh. Kenapa kakek terlihat begitu peduli? Dan senyumnya itu… dia bahkan tidak pernah tersenyum seperti itu padaku!’’
Walau merasa ada kejanggalan pada kakeknya, Jessica akhirnya menyahut “Terima kasih…” dengan sangat terpaksa.
Tidak mengatakan apapun lagi, Norman akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu.
‘Kenapa dia begitu perhatian pada Anna? Dan dia sampai mau ikut mengantarkanku ke sini?’
Jessica mengangkat kedua tangannya, melihat kuku-kuku di jemarinya yang bersih tanpa adanya pewarna kuku sama sekali. Dari situ dia tahu kalau jiwanya masih berada di dalam tubuh Anna, membuatnya semakin tidak mengerti kenapa Norman yang biasanya hampir tidak pernah peduli pada orang lain bisa bersikap seperti tadi.
'Tsk... Ku kira aku sedang berada di tubuh asliku dan dia sedang mencoba bersikap ramah padaku.'
“Kakak yakin kalau kakak baik-baik saja? Kakak sebaiknya berbaring lagi,” ucap Sherly, membuyarkan lamunan Jessica.
“Apa yang terjadi? Kenapa mereka yang membawaku ke sini?” Jessica bertanya balik, ingin mencocokkan ingatannya dengan kenyataan yang terjadi.
Jessica sebenarnya ingat jika ruangan di mana tubuh aslinya berada harusnya sudah hancur akibat ulah sang Dewa. Dia tahu kalau itu bukanlah mimpi. Semua yang dirasakannya saat itu benar-benar nyata. Tapi menurut sang Dewa, ia akan mengembalikan ruangan itu lagi seperti semula hingga pasti ada hal lain yang tidak diketahuinya.
“Kakak mengalami kejang dan pingsan saat pergi berkunjung ke ruangan bosnya kakak, Nona Wright.”
“Dia yang memberitahu hal itu padamu?”
“Iya, Kak. Tapi yang menggendong Kakak sampai ke sini sebenarnya Tuan Wright muda. Kakak tahu kan, dia CEO dari Wright Automotive.”
Jessica mengangguk pelan, tahu jika orang yang Sherly maksud adalah Elvin Wright, kakak angkatnya.
Sherly melanjutkan, “Untung saja Tuan Wright muda dan Tuan Wright saat itu sedang berada di sana.”
“Apa?! Jadi Kakek… Maksudku, Tuan Wright juga ada di sana?”
Sherly yang masih terlihat khawatir hanya mengangguk lalu berkata, “Kakak benar baik-baik saja? Sherly sangat khawatir saat datang tidak menemukan Kakak ada di sini.”
Jessica menatap wajah Sherly yang terlihat jelas sedang menahan tangis. Sudah lama ia tidak mendapatkan perhatian seperti ini dari seseorang, terutama semenjak ibunya meninggal.
Sebagai seorang dengan bakat akting yang sangat langka, Jessica bahkan bisa merasakan sikap orang yang baik secara tulus dan orang yang baik hanya karena ingin berada di sekitarnya untuk mendapat ketenaran —sikap terakhirlah yang selalu ditemuinya sepanjang kehidupannya sebagai Jessica Wright, bahkan sikap yang sama juga dirasakannya dari tunangannya sendiri.
Menepikan rasa penasarannya akan sikap kakeknya tadi, Jessica meraih pundak Sherly, menariknya lembut dan memeluknya. “Aku baik-baik saja.”
‘Jadi kau sangat menyayangi adikmu, Anna?’ Dari ingatan Anna yang baru saja melintas di benaknya, Jessica melihat bagaimana Anna selalu mengedepankan kepentingan adiknya ini dibandingkan kepentingannya sendiri. ‘Jangan khawatir, aku akan menjaganya untukmu.’
Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3
Di sebuah gedung 20 lantai… Elvin Wright duduk di belakang meja kerjanya, membiarkan komputer menyala sementara ia termenung saat mengenang kembali akan kejadian aneh yang dialaminya di ruang perawatan Jessica Wright —adik angkatnya— yang sedang terbaring koma. Sikap dan cara berbicara remaja bernama Anna Briel yang sempat berdebat dengannya disana —sebelum akhirnya kejang-kejang dan jatuh pingsan— membuat konsentrasinya dalam bekerja menurun selama beberapa jam belakangan ini. Elvin bahkan masih duduk termenung di kantornya walau hampir seluruh karyawan di kantor itu telah pulang. “Kakek juga merasakan sesuatu yang janggal dari dirinya, kan?” pikir Elvin, mengingat Norman Wright yang biasanya tidak pernah tertarik berinteraksi apalagi berhubungan dengan orang asing —kecuali sedang bertransaksi bisnis— malah meminta untuk tetap tinggal untuk melihat kondisi Anna sementara ia kembali ke kantornya. Saat itu Norman Wright sebenarnya berada tepat di belakang Elvin ketika mereka memergo
Karena sudah menjadi kebiasaan sejak masih berada di tubuh aslinya, Jessica —yang mulai saat ini akan disebut sebagai Anna— terbangun sebelum fajar menyingsing. Saat itu masih pukul 4 pagi dan dia tidak melihat Sherly lagi di sampingnya. “Dia bangun lebih pagi dariku?” Saat ia sedang bertanya-tanya, ingatan Anna muncul begitu saja dalam benaknya —seperti biasanya—, menggambarkan rutinitas Sherly yang memang sudah terbiasa bangun di pagi hari untuk pergi bekerja sambilan dan baru akan kembali lagi pada pukul 5.30. “Dia bekerja sebagai penyapu jalan setiap pagi? Astaga, apa dia tidak akan terkena masalah karena bekerja seperti itu di bawah umur?” Ingatan berikutnya adalah ingatan mengenai kebiasaan Anna. Di pagi hari, Anna biasanya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak untuk sarapannya, sarapan ayahnya, juga sarapan Sherly. Sementara ibunya —sama seperti Sherly— sudah berangkat sejak jam 4 pagi untuk bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah tangga. “Jadi
“Astaga! Bikin kaget saja!” umpat Anna kesal, melihat Dewa yang menghukumnya itu sudah berdiri di depan pintu rumah. “Mau pergi ke mana sepagi ini? Bukannya kau harus pergi ke sekolah?” “Kau sendiri, apa yang kau lakukan sepagi ini di depan rumah orang? Apa kau tidak sibuk? Bukannya kau Dewa?” Anna yang merasa kesal setelah dikejutkan sang Dewa, balik bertanya dengan tatapan marah. “Kau tidak berhak mengetahui pekerjaanku.” “Kau juga tidak ber— Aaaaaahhhhh…! Kau f**k! Aaaaaaahhhh…” Anna merasakan sengatan listrik kecil di dalam tubuhnya tiap kali berniat berbicara kasar pada sang Dewa. Tahu penyebabnya, ia pun dengan sangat terpaksa menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat kasar lagi walau sebenarnya sangat ingin menghamburkan semua kalimat kasar yang ada dalam benaknya pada sosok yang sangat dibencinya itu. “Masih berani berbicara kasar padaku?” “...T-tidak.” “Cuma itu?” “Apa lagi yang harus kukatakan?!” “Belajarlah meminta maaf jika kau sudah melakukan kesalahan.” “Sal
Tidak seperti yang Silvia inginkan, Anna justru tertawa terkekeh. Ekspresi cerah dan tenangnya masih tidak berubah. “Kau menanyakan pertanyaan aneh. Sekarang aku akan bertanya padamu. Kalau aku diam dan tidak menganggapimu yang sedang berbicara padaku, apa kau tidak akan marah? Bukankah itu tidak sopan?” “Kau—” “Kalau aku salah, tolong katakan di mana kesalahanku. Ayo kita membahasnya baik-baik.” Merasa jika Anna sedang membuatnya terlihat bodoh, Silvia yang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sepanjang hidupnya, secara refleks maju mendekat, berniat untuk menyerang Anna secara fisik. “Duduk semua. Kelas akan segera dimulai.” Suara berat seorang pria menghentikan niat Silvia, juga anggota gengnya yang sudah merapat mengelilingi Anna di sekitar mejanya. Pria berusia akhir 30an itu, yang merupakan guru kelas pagi mereka, kemudian menatap ke arah kerumunan di mana Silvia dan para gengnya sedang mengepung meja Anna, lalu mengernyitkan alis dan menegur mereka, “Apa yang kal
Mengikuti kebiasaan ‘Anna’ sepulang sekolah, Anna langsung pergi ke gedung yang dikhususkan untuk para anggota klub yang menjalani kegiatan ekstrakurikuler. Karena jam pelajaran murid-murid kelas dua biasanya selalu berakhir lebih cepat 45 menit dibandingkan kelas tiga, Sherly yang sudah dibiayai ibu mereka untuk ikut salah satu klub biasanya akan berada di sana sambil menunggu jam pelajaran Anna berakhir sebelum pulang bersama ke rumah mereka. Tapi Sherly bukan sekedar mengikuti kegiatan klub musik hanya untuk mengisi waktu luang atau memanfaatkan kesempatan bersosialisasi yang ibunya berikan. Sherly sebenarnya sangat berbakat dalam bernyanyi dan sangat menyukai musik hingga ia tidak pernah absen sekalipun dari kegiatan klub, walau ia sebenarnya merasa tidak nyaman berada di antara para murid yang tergabung dalam klub musiknya, hanya karena statusnya yang berasal dari keluarga miskin. Kembali pada bakat bernyanyi Sherly tadi, karena itu juga ‘Anna’ rela menyisihkan sebagian besar p
‘Oh, astaga... Mereka ini...’ Entah kenapa Anna merasa sedikit malu karena terlalu banyak mengobrol —yang tidak mungkin akan dilakukannya andai berada dalam tubuh aslinya— dengan para murid sekolahan ini, yang memiliki rentang usia 13-14 tahun lebih muda dari usia aslinya. “Senang bisa mengobrol dengan Kakak,” ucap salah satu siswi, yang hanya dibalas Anna dengan senyuman kaku. Dirinya yang dulu biasanya tidak mau membuang waktu untuk mengobrol bersama para junior yang berusia jauh lebih muda karena menganggap jika berbicara pada mereka tidak akan menambah pengetahuannya sama sekali. Jessica yang sangat haus akan pengetahuan baru biasanya selalu mencari lawan bicara yang ia nilai akan menambah wawasannya saja. “Ternyata Kak Anna menyenangkan juga ya diajak ngobrol,” ucap siswi lain. Anna berpaling pada siswi itu sembari memaksa tersenyum ramah. “Benarkah?” “Iya… Habisnya Kakak biasanya cuma duduk diam saja. Seperti tidak ingin diajak berbicara,” sahut siswi itu, menanggapi pertan
Bukan hal mudah untuk meyakinkan operator CCTV agar bersedia menunjukkan rekaman dari kamera pengawas sekolah. Bukan karena hal itu terlarang, namun lebih pada siapa orang yang memintanya. Andai yang meminta adalah siswa lain, mungkin operator akan mengizinkan dengan mudah. Karena yang memintanya hanyalah Anna ‘si anak beasiswa’, maka operator yang bertugas langsung mengabaikannya. Siapa yang tidak mengenal Anna dan Sherly Briel di sekolah para anak orang kaya ini? Hanya kedua siswi itulah batu di antara ratusan berlian yang bertaburan di SMA paling bergengsi ini. Karena itulah tidak ada yang tidak mengenali mereka, sekaligus memedulikan mereka jika sedang dalam masalah. “Adikku… Adik saya kemungkinan sudah diculik. Saya cuma ingin memeriksa rekaman CCTV saja,” Anna berusaha meyakinkan operator yang sebenarnya terlihat lebih muda dari usia dirinya yang asli jika berada dalam tubuhnya sendiri, hingga hampir saja ia bicara agak ketus padanya. Melihat Anna bersikukuh dengan permintaan
Begitu tiba di sisi luar gerbang sekolah, Anna langsung melihat Sherly yang sedang duduk dengan kepala tertunduk di antara Silvia dan anggota gengnya. Anna sama sekali tidak pernah menyangka jika Silvia akan membawa Sherly pergi bersama mereka karena sepengetahuannya —tentu saja dari ingatan ‘Anna’— Silvia tidak pernah mau mengganggu Sherly. Silvia takut jika William yang disukainya itu akan semakin membencinya karena sudah mengganggu teman sekelasnya, karena William sudah pernah mengatakan pada Silvia jika dia tidak suka gadis perusuh seperti dirinya saat Sherly menyatakan perasaannya dulu. “Akhirnya kau datang juga. Kau pasti kebingungan mencarinya, kan? Yah…, andai dia punya ponsel, aku pasti akan mengirim pesan padamu. Kalian miskin sekali sih, sampai ponsel saja dia tidak punya?” ejek Silvia yang sudah berdiri sejak melihat kemunculan Anna yang sudah ditunggunya di tempat itu hampir satu jam lamanya. Anna yang masih mengatur napas setelah berlari tanpa henti dari lantai 4 gedu